21. Kejutan

Senyum Indra mengembang saat melihat Ananta memandangi tubuh berbalut gaun putih di depan cermin besar. Seorang wanita berpakaian formal menerangkan setiap detail gaun yang dipakai Ananta. Mata Indra beralih ke deretan manekin berbalut baju pengantin. Otaknya membayangkan Citra mencoba baju itu satu per satu, lalu mereka melaksanakan resepsi pernikahan. Hubungan yang baru berjalan satu bulan itu terasa masih begitu hangat. Mereka bak pengantin baru yang selalu bergairah setiap saat.

Indra selalu menyempatkan bertemu dengan Citra, meskipun jadwalnya padat. Begitu juga pada hari ini, dia memaksa Citra datang untuk menemani Ananta mengepas baju pengantin. Indra sengaja datang terpisah dengan Citra agar ayahnya tidak curiga kalau Citra karyawannya. Dia memberi alasan kepada Panca kalau Citra datang terlambat karena ada pekerjaan padahal wanita itu berada tak jauh dari Bridal.

Bicara mengenai Panca, lelaki tua itu tak lagi mengomel seperti dahulu. Dia lebih tenang dan penuh dengan senyuman. Indra sedikit lega karena ayahnya tidak memburunya dengan pertanyaan konyol. Lelaki tua itu duduk agak jauh dari Indra. Dia sudah mengepas baju yang akan dipakai saat resepsi, sedangkan Arif yang baru saja berganti baju langsung duduk di sebelah Indra.

"Mas yakin Mbak Citra bakalan datang?"

"Dia ada di toko roti sebelah, kok."

Arif terkekeh. "Mas pinter juga, ya."

Indra hanya geleng kepala sambil terkekeh.

"Makasih udah dibantu, Mas. Aku nggak tahu gimana jadinya kalau Mas nggak ambil langkah cepat."

"Nggak usah dipikirin. Ayah ribet orangnya."

"Setelah nikahan, Mas buruan cari pengganti yang tepat. Mas tahu sendiri kalau menikah itu ibadah."

Indra menoleh, lalu tersenyum. "Tenang aja, habis kamu nikah, aku bakalan nyusul."

"Alhamdulillah. Berarti sekarang udah ada calonnya? Atau masih cari-cari?"

"Udah."

"Kenalin ke kita, Mas."

Indra tersenyum. Ananta memang ahli dalam memegang rahasia. Buktinya Arif tidak mengetahui hubungannya dengan Citra. "Ntar aja kalau kalian udah beres."

Ananta memutar tubuh, menghadap para lelaki yang duduk. "Cocok nggak?" Tangannya bergerak menyibak gaun bagian atas yang hampir menyentuh lantai.

Indra mengacungkan jempolnya, sedangkan Panca hanya megangguk-angguk. Arif berdiri, lalu mendekati kekasihnya.

"Kamu pakai baju apa pun cocok."

"Beuh ... ternyata kamu bisa gombal juga," celetuk Indra.

"Memangnya kamu nggak gitu sama Citra?" sindir Panca.

Indra hanya tersipu malu tanpa membalas perkataan Panca. Lelaki tua itu menangkap raut bahagia dari anaknya. Dia semakin yakin kalau Indra tidak menipunya. Panca berharap bahwa hubungan Indra dan Citra berjalan lancar.

"Wah ... Mbak Citra udah datang."

Ketiga pria yang ada di sana menoleh ke arah Citra. Wanita berambut sebahu itu tersenyum begitu cantik sambil membawa paper bag berisi kue.

"Assalammualaikum." Citra langsung menghampiri Panca dan mengecup punggung tangan pria tua itu. "Tadi mampir ke toko kue di sebelah. Maaf, cuma bisa bawain ini." Dia menyerahkan paper bag itu kepada Panca.

Lelaki tua itu tertawa bahagia. "Kamu cukup datang ke sini aja udah cukup."

Citra mendekati Ananta, lalu mereka saling berpelukan. "Cantik banget." Tangan Citra menelusuri gaun yang dipakai Ananta. "Cocok banget sama kamu."

"Makasih, Mbak. Tuh, dengerin Mas Indra. Aku emang cantik, jadi Arif nggak tukang gombal kayak Mas Indra!"

"Emang Mas Indra tukang gombal, Mbak?" tanya Arif

Citra mengangkat kedua bahu sambil menoleh ke Indra.

"Nggak perlu takut sama Indra!" celetuk Panca.

"Ayah ...."

Citra terkekeh. "Mas Indra nggak tukang gombal, kok, Yah. Tapi tukang cemburu."

Tawa mereka berempat berderai, begitu juga dengan asisten toko yang membantu Ananta mencoba gaun pengantin. Sedangkan Indra, dia hanya menggit bibir sambil memasang wajah gemas ke arah Citra. Kisah ini begitu romantis dan indah. Andai saja Citra tidak mempunyai Catra, mungkin dia bisa merasakan kebahagiaan tanpa rasa bersalah. Andai saja Indra bertemu Citra terlebih dahulu, mungkin dia sudah menikahi Citra tanpa harus berkubang dengan rasa sakit.

Sore ini Indra menghabiskan waktu dengan keluarganya. Setelah sekian purnama, hubungannya dengan sang ayah membaik. Kehadiran Citra memberi rona baru dalam kehidupan pria berumur 33 tahun ini. Dia menemukan sosok yang tepat dalam hidupnya. Dia akan melakukan apa pun untuk menjaga Citra agar tetap berada di sampingnya. Semua ini seperti mimpi. Indra ingin tetap berada dalam mimpi itu bersama Citra.

"Kamu yakin nggak tidur di tempatku?" tanya Indra

Saat ini mereka sedang dalam perjalanan pulang menuju rumah Citra. Mendengar perkataan itu Citra hanya tersenyum penuh curiga. Indra yang melihat itu hanya geleng kepala, dia meraih tangan Citra dan menggenggamnya.

"Aku nggak rela kamu tidur sendirian."

Citra tertawa lirih. "Seminggu ini nggak puas, Mas?"

"Maunya sampai kakek nenek nanti."

Citra menarik napas dalam-dalam. Andai saja saat ini dia tidak berstatus suami orang.

"Kita nggak selamanya seperti ini, Cit."

"Iya, Mas."

"Kamu yakin sama aku, kan?"

Citra menatap Indra. Hidup bersama pria lembut dan penuh perhatian seperti ini pasti membuatnya bahagia. "Aku nggak tahu bagaimana cara mengakhirinya, Mas."

Indra menoleh. "Kamu bisa mengandalkanku."

Hati Citra terasa begitu hangat. Dia seolah mempunyai sandaran karena selama ini Catra selalu menuntutnya untuk melakukan apa pun sendiri. "Emang Mas mau berurusan sama suamiku? Apa nggak sebaiknya aku sendiri aja?"

Indra menggeleng. "Enggak, Cit. Aku nggak mau kamu kebingungan sendiri. Kamu mau menerimaku berarti kamu tanggung jawabku. Kamu nggak perlu berusaha keras, biar aku aja."

Citra memeluk lengan Indra yang begitu kukuh. Aroma parfum maskulin bercampur keringat itu menjadi aroma terapi baru bagi Citra. Dia merasa begitu nyaman dan hangat. Indra mencium rambut Citra, menghirup aroma bunga yang begitu segar. Akhir-akhir ini aroma rambut Citra adalah pengantar tidur yang sempurna baginya.

Perjalanan menuju kompleks rumah Citra terasa begitu singkat. Mobil Indra berada tak jauh dari gerbang masuk kompleks perumahan.

"Kamu yakin nggak aku antar sampai rumah?"

Citra melepas sabuk pengaman. "Yakin, Mas. Aku nggak enak aja sama tetangga."

Indra mengelus lembut pipi Citra. Perlahan dia menarik wajah itu mendekat, lalu mengecup bibir Citra. Wanita itu membalas dengan lembut. Indra yang masih menginginkan bibir Citra mulai melumatnya dengan lembut. Citra mengikuti ritme yang dibuat Indra. Dia menikmati setiap sesapan dari mulut Indra. Sejenak mereka melepas hasrat. Napas mereka memburu ketika ciuman itu berakhir. Mata mereka memancarkan rona bahagia.

"Hati-hati," ucap Indra.

Citra mengangguk sambil membuka pintu. Genap sudah Citra meninggalkan Indra sendirian di dalam mobil. Wanita itu berjalan menelusuri kompleks perumahan yang lumayan ramai. Dia menyapa beberapa tetangga yang tengah duduk di depan rumah. Langkah kaki Citra terhenti tepat di depan rumah. Dia mencengkeram tas tangannya. Lampu di dalam rumah menyala. Citra ingat betul, dua hari yang lalu sebelum menginap di rumah Indra, dia mematikan lampu.

Perlahan dia melangkah. Dia mengelak pemikiran tidak masuk akal itu. Tangannya memegang kenop pintu, ternyata tidak dikunci. Dengan hati berdebar, dia membuka pintu.

"Kejutan!"

Perkiraan Citra benar, Catra pulang dengan tiba-tiba.Senyum Indra mengembang saat melihat Ananta memandangi tubuh berbalut gaun putih di depan cermin besar. Seorang wanita berpakaian formal menerangkan setiap detail gaun yang dipakai Ananta. Mata Indra beralih ke deretan manekin berbalut baju pengantin. Otaknya membayangkan Citra mencoba baju itu satu per satu, lalu mereka melaksanakan resepsi pernikahan. Hubungan yang baru berjalan satu bulan itu terasa masih begitu hangat. Mereka bak pengantin baru yang selalu bergairah setiap saat.

Indra selalu menyempatkan bertemu dengan Citra, meskipun jadwalnya padat. Begitu juga pada hari ini, dia memaksa Citra datang untuk menemani Ananta mengepas baju pengantin. Indra sengaja datang terpisah dengan Citra agar ayahnya tidak curiga kalau Citra karyawannya. Dia memberi alasan kepada Panca kalau Citra datang terlambat karena ada pekerjaan padahal wanita itu berada tak jauh dari Bridal.

Bicara mengenai Panca, lelaki tua itu tak lagi mengomel seperti dahulu. Dia lebih tenang dan penuh dengan senyuman. Indra sedikit lega karena ayahnya tidak memburunya dengan pertanyaan konyol. Lelaki tua itu duduk agak jauh dari Indra. Dia sudah mengepas baju yang akan dipakai saat resepsi, sedangkan Arif yang baru saja berganti baju langsung duduk di sebelah Indra.

"Mas yakin Mbak Citra bakalan datang?"

"Dia ada di toko roti sebelah, kok."

Arif terkekeh. "Mas pinter juga, ya."

Indra hanya geleng kepala sambil terkekeh.

"Makasih udah dibantu, Mas. Aku nggak tahu gimana jadinya kalau Mas nggak ambil langkah cepat."

"Nggak usah dipikirin. Ayah ribet orangnya."

"Setelah nikahan, Mas buruan cari pengganti yang tepat. Mas tahu sendiri kalau menikah itu ibadah."

Indra menoleh, lalu tersenyum. "Tenang aja, habis kamu nikah, aku bakalan nyusul."

"Alhamdulillah. Berarti sekarang udah ada calonnya? Atau masih cari-cari?"

"Udah."

"Kenalin ke kita, Mas."

Indra tersenyum. Ananta memang ahli dalam memegang rahasia. Buktinya Arif tidak mengetahui hubungannya dengan Citra. "Ntar aja kalau kalian udah beres."

Ananta memutar tubuh, menghadap para lelaki yang duduk. "Cocok nggak?" Tangannya bergerak menyibak gaun bagian atas yang hampir menyentuh lantai.

Indra mengacungkan jempolnya, sedangkan Panca hanya megangguk-angguk. Arif berdiri, lalu mendekati kekasihnya.

"Kamu pakai baju apa pun cocok."

"Beuh ... ternyata kamu bisa gombal juga," celetuk Indra.

"Memangnya kamu nggak gitu sama Citra?" sindir Panca.

Indra hanya tersipu malu tanpa membalas perkataan Panca. Lelaki tua itu menangkap raut bahagia dari anaknya. Dia semakin yakin kalau Indra tidak menipunya. Panca berharap bahwa hubungan Indra dan Citra berjalan lancar.

"Wah ... Mbak Citra udah datang."

Ketiga pria yang ada di sana menoleh ke arah Citra. Wanita berambut sebahu itu tersenyum begitu cantik sambil membawa paper bag berisi kue.

"Assalammualaikum." Citra langsung menghampiri Panca dan mengecup punggung tangan pria tua itu. "Tadi mampir ke toko kue di sebelah. Maaf, cuma bisa bawain ini." Dia menyerahkan paper bag itu kepada Panca.

Lelaki tua itu tertawa bahagia. "Kamu cukup datang ke sini aja udah cukup."

Citra mendekati Ananta, lalu mereka saling berpelukan. "Cantik banget." Tangan Citra menelusuri gaun yang dipakai Ananta. "Cocok banget sama kamu."

"Makasih, Mbak. Tuh, dengerin Mas Indra. Aku emang cantik, jadi Arif nggak tukang gombal kayak Mas Indra!"

"Emang Mas Indra tukang gombal, Mbak?" tanya Arif

Citra mengangkat kedua bahu sambil menoleh ke Indra.

"Nggak perlu takut sama Indra!" celetuk Panca.

"Ayah ...."

Citra terkekeh. "Mas Indra nggak tukang gombal, kok, Yah. Tapi tukang cemburu."

Tawa mereka berempat berderai, begitu juga dengan asisten toko yang membantu Ananta mencoba gaun pengantin. Sedangkan Indra, dia hanya menggit bibir sambil memasang wajah gemas ke arah Citra. Kisah ini begitu romantis dan indah. Andai saja Citra tidak mempunyai Catra, mungkin dia bisa merasakan kebahagiaan tanpa rasa bersalah. Andai saja Indra bertemu Citra terlebih dahulu, mungkin dia sudah menikahi Citra tanpa harus berkubang dengan rasa sakit.

Sore ini Indra menghabiskan waktu dengan keluarganya. Setelah sekian purnama, hubungannya dengan sang ayah membaik. Kehadiran Citra memberi rona baru dalam kehidupan pria berumur 33 tahun ini. Dia menemukan sosok yang tepat dalam hidupnya. Dia akan melakukan apa pun untuk menjaga Citra agar tetap berada di sampingnya. Semua ini seperti mimpi. Indra ingin tetap berada dalam mimpi itu bersama Citra.

"Kamu yakin nggak tidur di tempatku?" tanya Indra

Saat ini mereka sedang dalam perjalanan pulang menuju rumah Citra. Mendengar perkataan itu Citra hanya tersenyum penuh curiga. Indra yang melihat itu hanya geleng kepala, dia meraih tangan Citra dan menggenggamnya.

"Aku nggak rela kamu tidur sendirian."

Citra tertawa lirih. "Seminggu ini nggak puas, Mas?"

"Maunya sampai kakek nenek nanti."

Citra menarik napas dalam-dalam. Andai saja saat ini dia tidak berstatus suami orang.

"Kita nggak selamanya seperti ini, Cit."

"Iya, Mas."

"Kamu yakin sama aku, kan?"

Citra menatap Indra. Hidup bersama pria lembut dan penuh perhatian seperti ini pasti membuatnya bahagia. "Aku nggak tahu bagaimana cara mengakhirinya, Mas."

Indra menoleh. "Kamu bisa mengandalkanku."

Hati Citra terasa begitu hangat. Dia seolah mempunyai sandaran karena selama ini Catra selalu menuntutnya untuk melakukan apa pun sendiri. "Emang Mas mau berurusan sama suamiku? Apa nggak sebaiknya aku sendiri aja?"

Indra menggeleng. "Enggak, Cit. Aku nggak mau kamu kebingungan sendiri. Kamu mau menerimaku berarti kamu tanggung jawabku. Kamu nggak perlu berusaha keras, biar aku aja."

Citra memeluk lengan Indra yang begitu kukuh. Aroma parfum maskulin bercampur keringat itu menjadi aroma terapi baru bagi Citra. Dia merasa begitu nyaman dan hangat. Indra mencium rambut Citra, menghirup aroma bunga yang begitu segar. Akhir-akhir ini aroma rambut Citra adalah pengantar tidur yang sempurna baginya.

Perjalanan menuju kompleks rumah Citra terasa begitu singkat. Mobil Indra berada tak jauh dari gerbang masuk kompleks perumahan.

"Kamu yakin nggak aku antar sampai rumah?"

Citra melepas sabuk pengaman. "Yakin, Mas. Aku nggak enak aja sama tetangga."

Indra mengelus lembut pipi Citra. Perlahan dia menarik wajah itu mendekat, lalu mengecup bibir Citra. Wanita itu membalas dengan lembut. Indra yang masih menginginkan bibir Citra mulai melumatnya dengan lembut. Citra mengikuti ritme yang dibuat Indra. Dia menikmati setiap sesapan dari mulut Indra. Sejenak mereka melepas hasrat. Napas mereka memburu ketika ciuman itu berakhir. Mata mereka memancarkan rona bahagia.

"Hati-hati," ucap Indra.

Citra mengangguk sambil membuka pintu. Genap sudah Citra meninggalkan Indra sendirian di dalam mobil. Wanita itu berjalan menelusuri kompleks perumahan yang lumayan ramai. Dia menyapa beberapa tetangga yang tengah duduk di depan rumah. Langkah kaki Citra terhenti tepat di depan rumah. Dia mencengkeram tas tangannya. Lampu di dalam rumah menyala. Citra ingat betul, dua hari yang lalu sebelum menginap di rumah Indra, dia mematikan lampu.

Perlahan dia melangkah. Dia mengelak pemikiran tidak masuk akal itu. Tangannya memegang kenop pintu, ternyata tidak dikunci. Dengan hati berdebar, dia membuka pintu.

"Kejutan!"

Perkiraan Citra benar, Catra pulang dengan tiba-tiba.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top