20. Sembunyi-Sembunyi

*

*

20. Sembunyi-Sembunyi

My Precious: Aku masakin aja.

Indra tersenyum lebar ketika tawaran makan malam nanti dibalas begitu indah oleh Citra, kekasih barunya.

Indra: Mau masak apa?

My Precious: Mas mau makan apa?

Indra membenarkan poisis duduknya.

Indra: Makan kamu aja udah kenyang.

Indra kembali terkikik saat Citra membalas dengan emoticon malu. Semalam mereka tidak melakukan apa-apa. Mereka hanya tidur berdampingan dengan posisi tubuh yang memeluk. Harus diakui oleh Indra bahwa tidur dalam posisi seperti itu membuatnya sulit untuk memejamkan mata. Ada hasrat yang harus ia tahan dengan amat sangat.

Saat ini mereka ada di satu tempat, tapi di ruang yang berbeda, dan saling berbalas pesan karena kedua temannya sedang berada di ruangan Citra. Irwan dan Arya sedang merapikan dokumen yang akan diketik oleh Citra. Mereka berdua setor laporan pekerjaan dua hari yang lalu kepada Citra. Indra hanya tidak mau melihat mata curiga kedua temannya. Jadi, sebisa mungkin dia harus sembunyi dari mereka.

Indra yang hendak membalas chat Citra terpaksa urung karena pintu ruangannya terbuka dengan tiba-tiba. Karina berdiri di ambang pintu dengan raut muka kesal. Dia menoleh ke arah Citra, lalu menutup pintu ruangan Indra.

"Ada perlu apa?"

"Udah nggak melarikan diri lagi?"

"Bukan urusanmu."

Karina menghempaskan pantat ke kursi, lalu bersedekap. "Kamu tahu aku nungguin kamu sampai jam berapa?"

"Aku nggak sempet ngasih kabar ke kamu karena tiba-tiba dapat telepon customer untuk ketemuan."

Karina mencondongkan tubuh. "Kamu tega, ya, Ndra?"

"Aku malas bahas ini!"

Karina seolah-olah menangkap sebuah peluang yang harus ia masuki. Dia berdiri, kemudian mendekat ke kursi Indra. Satu tangannya menumpu di meja kerja Indra. "Aku nggak akan mengecewakanmu lagi, Ndra." Tangan satunya yang bebas memainkan rambut Indra.

Indra berusaha mengelak, tetapi Karina tetap kukuh dengan tingkahnya.

"Aku janji, Ndra. Kali ini aku kembali padamu sepenuhnya." Tubuh Karina membungkuk. "Ndra, beri aku kesempatan ...." Bibirnya begitu dekat dengan pipi Indra.

Sementara di luar, Arya menarik lengan Irwan. "Wan, udah biarin mereka."

"Lepasin. Aku nggak mau Indra balik sama wanita itu. Kamu sendiri tahu gimana gilanya Indra waktu ditinggal wanita berengsek itu!"

Citra hanya bisa diam mematung melihat perselisihan kedua sahabat Indra. Otaknya hanya memuntahkan kata cemburu berkali-kali, sebesar itukah cinta Indra.

Irwan masih bertekad untuk membuka pintu itu dengan paksa lalu mengusir Karina, sedangkan Arya juga masih dengan kekuatannya mencegah Irwan. Entah setan apa yang merasuki Citra, dia menarik lengan Arya.

"Biarin aja, Mas. Kalian jangan berkelahi."

"Kamu dengar, kan? Lepas, Ya."

Dengan berat hati, Arya melepas tarikan tangannya. Irwan langsung membuka pintu ruang kerja Indra. Ketiga orang yang berada di depan pintu Indra mematung saat mendapati bibir Karina menyentuh bibir Indra. Dua insan di ruangan itu begitu terkejut ketika menjadi tontonan orang banyak. Karina langsung menegakkan badan, sedangkan mata Indra langsung tertuju kepada Citra.

"Cih, kamu jadi balik sama dia?" Irwan begitu jijik melihat pemadangan itu.

Indra yang begitu panik melihat ekspresi pucat Citra langsung berdiri. "Jangan berasumsi!" Dia menarik lengan Karina. "Aku mau kamu keluar dari sini!"

Karina masih berkelit. "Ndra, dengarin aku! Aku mau balik sama kamu!"

Indra menyeret tubuh Karina, melewati Irwan, Arya, lalu berhenti di hadapan Citra. "Tapi aku enggak! Aku sudah punya penggantimu! Dan yang perlu kamu tahu, aku sama sekali nggak merindukan ciumanmu!" Dia menggeret Karina hingga keluar rumah.

Citra hanya tertunduk, sedangkan Arya dan Irwan langsung menjatuhkan pandangan ke Citra.

***

Indra: Cit, kamu balik kan?

Indra yang baru saja menyelesaikan salat Isya sedang harap-harap cemas menunggu balasan. Pasalnya, Arya dan Irwan pulang pukul tujuh malam. Mereka berdua ngobrol panjang lebar membahas Karina dan Citra, dan memberikan petuah yang tidak akan digubris oleh Indra. Citra terpaksa harus berpura-pura pulang sehingga membuat Indra cemas.

Indra: Kamu di mana? Aku samperin, ya? Atau lagi belanja?

Masih tidak ada jawaban atau tanda-tanda dibaca. Indra memutuskan keluar dari kamar, berjalan ke ruang tengah, tetapi langkahnya terhenti saat mendengar suara pintu terbuka.

"Siapa?"

Sosok wanita bermata bulat itu muncul hingga membuat senyuman Indra mengembang lebar. Dia berjalan mendekat, lalu meraih kantong belanjaan Citra.

"Aku kirain kamu marah."

"Kalau nggak denger penjelasan Mas Indra tadi, pasti aku nggak mau balik."

"Udah salat?" Citra menggeleng. "Salat dulu, gih. Di kamarku ada mukenah yang baru aku beli. Oh iya, aku juga beliin kamu dress, moga aja cukup."

"Buat apa, Mas?"

"Kamu nggak nginep?"

Wajah Citra memerah. "Aku langsung pulang aja."

"Nginep aja."

"Nanti Mas Irwan dan Arya ...."

"Mereka besok langsung ke lokasi, nggak pakai ngantor. Aku besok juga harus berangkat pagi, ada meeting sama customer." Mulut Citra membentuk bulatan. "Salat dulu, aku keluarin belanjaan ini."

Citra tersenyum dan melakukan perintah Indra dengan hati yang berbunga. Indra mengeluarkan barang belanjaan Citra. Lima belas menit berlalu, Citra sudah kembali ke dapur dengan tubuh bersih dan wangi. Indra duduk di kursi sambil memperhatikan Citra memilah-milah bahan makanan.

"Aku bantuin apa?"

"Nggak usah. Mas duduk aja."

"Aku mau bantuin."

"Aku udah biasa gini sama suamiku."

"Cit!"

Gerakan tangan Citra terhenti. "Maaf."

"Cit! Jangan pernah kayak gitu di depanku. Kamu nggak salah apa-apa, kamu cukup mengubah topik pembicaraan kalau aku cemburu."

Tubuh Citra hampir melemas mendengar peringatan yang begitu halus itu. Seandainya Catra bisa seperti ini.

Dahi Indra berkerut saat mendapati mata bulat itu berkaca-kaca. "Hei." Dia berdiri, lalu menangkup wajah itu. "Kok, jadi nangis lagi."

Citra meletakkan pisau dan kentang yang sempat ia pegang. Kedua tangannya melingkar ke pinggang Indra begitu erat. Indra menikmati pelukan itu dengan membalasnya.

"Ternyata kamu manja, ya."

Citra hanya tertawa lirih. "Aku benar-benar butuh Mas Indra."

Indra meregangkan pelukan, lalu mengangkat dagu Citra agar pandangan wanita itu tertuju kepadanya. "Kamu yakin?"

Citra mengangguk. "Aku takut kalau Mas Indra balik sama Mbak Karina."

Indra terkekeh. "Justru aku takut kalau pilihanmu berubah."

Citra terdiam, tetapi matanya terlihat begitu meyakinkan. Indra dapat menangkap bara cinta yang terpancar dari mata itu. Dia menundukkan kepala, mendekatkan bibirnya ke bibir Citra dan mengecupnya sebentar.

"Kamu nggak akan berubah, kan?" tanya Indra sekali lagi.

Citra mengangguk mantap.

"Jadi?"

Tangan Citra masih melingkar dan semakin erat. Kepalanya sekali lagi mengangguk. Tanpa pikir panjang, Indra mengangkat tubuh Citra dan mendudukkannya di atas meja dapur. Bibirnya langsung memagut bibir Citra dan bermain-main di sana. Kedua tangannya bergerilya menelusuri setiap lekuk tubuh wanita itu. Malam ini hasratnya berbalas, malam ini api itu semakin membara.

Tanpa mereka sadari, ada sepasang bola mata yang mengintai mereka dari luar sana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top