14. Pilihan Indra

*
*
*
14. Pilihan Indra

Ini gila.

Iya, Indra memahami bahwa semua yang ia alami saat ini adalah gila. Namun, dia bisa apa ketika jantungnya berdetak sekali lagi. Ada beberapa alasan yang mungkin bisa membuat hatinya goyah. Perilaku lemah lembut Citra membuat hati yang gersang itu kembali disemai. Mata bulat bening itu membuat Indra hanyut hingga susah bernapas. Belum lagi senyuman indah yang memenuhi setiap saraf otaknya.

Sepertinya Citra membawa ilmu sihir tersendiri bagi Indra. Sudah beberapa kali temannya memperkanalkannya dengan wanita lain, tetapi mereka sama sekali tak bisa menggoyahkan hati Indra karena sejak awal Indra sudah membatasi dirinya ketika didekati wanita lain. Sedangkan dalam kasus ini, Indra terpaksa harus dekat dengan wanita lain sebagai rekan kerja. Hingga secara tidak sadar, Indra ikut menyelami kepribadian Citra. Mau tidak mau dia harus mengenal rekan kerjanya itu.

Nama Karina sudah tergantikan oleh Citra, sialnya lagi wanita itu istri orang. Ingin rasanya Indra mundur, tetapi tidak ada hal yang mustahil. Citra seolah memberikan kesempatan padanya untuk masuk. Indra yakin kalau pernikahan Citra sedang dalam keadaan tidak baik. Jadi, tidak ada salahnya dia mencoba sebuah peruntungan karena di otaknya tidak ada kata kalah.

Saat ini, Indra berada di ruang tengah bersama Citra yang sudah siap-siap untuk pulang. Dia sedang mengecek isi kamera yang akan ia gunakan untuk survei bijih besi. Kelihatannya sih, mengecek kamera, tetapi otaknya sudah mengakses beberapa cara untuk mengajak Citra ikut menemaninya malam ini.

"Aku pulang dulu, ya, Mas."

"Ng ... udah pesen ojek?"

"Ini mau pesen." Citra sudah menunjukkan layar yang menampilkan aplikasi ojek online.

"Mau ikut nggak?"

"Ke mana?"

"Survei bijih besi. Nanti jam 12 malam barangnya mau datang. Kalau mau, aku jemput jam 9 malam nanti."

Citra mulai berpikir, apakah Rara juga melakukan hal yang sama? Ikut kegiatan survei?

"Kok diem?"

Citra mengelus tengkuk. Sebenarnya ia ingin menolak.

"Kalau aku menyuruhmu sebagai bos, masih mau menolak?"

Bibir Citra tersenyum tipis. "Kalau begitu aku nggak jadi pulang aja, Mas."

"Nggak ganti baju dulu. Mandi-mandi gitu?"

Citra menggeleng. "Nggak enak sama tetangga."

Ah iya, Indra baru ingat kalau norma-norma itu masih ada. Dia meletakkan kamera ke dalam tas dan menutupnya, kemudian berlari ke kamar dan kembali membawa jaket kulit miliknya. "Kalau gitu pakai ini aja. Angin di sana gede, takutnya asmamu kambuh."

Gerakan Indra begitu alamiah ketika memasangkan jaketnya ke tubuh Citra. Sedangkan wanita itu hampir menahan napas saat aroma tubuh Indra menggelitiknya.

"Ayo." Dia mengulurkan tangan.

Citra terdiam.

Tanpa banyak bicara, Indra menarik tangan itu hingga tergenggam dengan sempurna. Masa bodoh dengan pemikiran Citra yang menganggapnya aneh. Dia tahu pasti Citra sedang bertanya-tanya tentang sikapnya ini. Kali ini, dia akan bersungguh-sungguh mendapatkan Citra. Apa pun rintangannya, dia tidak mau terluka lagi. Lagi pula, dia bisa menjamin bahwa Citra akan bahagia bila hidup dengannya. Ya ... Citra akan menjadi miliknya.

****

Malam menunjukkan pukul dua belas. Sedari tadi, Citra mengekori Indra yang keluar masuk dari kapal. Dia melihat Indra memotret kedalaman air, kondisi kapal, dan mengukur luas kapal. Tepat di jam dua belas malam, dua buah kontainer pembawa bijih besi datang. Indra meminta satu kantong besar untuk dibuka, difoto, lalu dicek kondisi bijih besi itu.

Proses pemindahan bijih besi dari kontainer ke kapal berjalan cukup lama. Indra yang berkonsentrasi dengan pekerjaannya sedikit lupa dengan kehadiran Citra. Sedangkan Citra sendiri sudah merasa lelah dan mengantuk. Dia ingin sekali berpamitan untuk istirahat di dalam mobil, tetapi enggan menyampaikan keinginanya. Mata bulat itu melihat Indra keluar masuk kapal dengan dada yang begitu hangat. Entah kenapa genggaman hangat di tangannya merambat hingga ke dada. Seolah-olah genggaman itu menghipnotisnya hingga ke pikiran bawah sadar; dia membutuhkan sosok hangat itu.

Angin malam berembus cukup kencang. Citra merapatkan jaket. Hari ini suaminya tidak menghubunginya lagi. Setelah komunikasi terakhir itu, Catra tidak meneleponnya lagi. Mereka hanya berbalas pesan singkat yang tidak begitu berarti lagi bagi Citra. Dia membutuhkan sosok yang hangat dan penuh perhatian. Sosok seperti seseorang yang berada di atas kapal itu, sosok seperti seseorang berambut Tritintin itu, sosok seperti pemilik wajah maskulin itu dan sosok yang akhir-akhir ini jarang merokok.

Beberapa menit kemudian, Citra merasakan sesak di pernapasannya. Dia cukup familier dengan kondisi seperti ini. Angin malam cukup berpengaruh besar dalam penyakit asamanya. Dari kejauhan, Indra menangkap sikap aneh Citra. Wanita itu sedikit membungkuk sambil memegang dadanya. Panggilan para pemikul komoditi itu tak digubris oleh Indra. Tanpa berpikir panjang, dia turun dari kapal dan mendekat.

"Citra?" Disibaknya rambut Citra. Indra langsung panik saat wajah Citra pucat pasi. "Asmamu kambuh?"

Citra tidak berkata-kata, dia hanya mengangguk dan memegang dadanya. Indra langsung membopong tubuh Citra tanpa meminta izin terlebih dahulu. "Berhenti sebentar, ada yang sakit!" teriaknya pada seluruh kru.

Indra berlari menuju parkiran mobil yang lumayan jauh. Dia harus membawa Citra ke rumah sakit.

"Aku ... nggak ... apa-apa, M ... mas."

"Aku antar ke rumah sakit."

Citra menggeleng sambil menarik baju bagian depan Indra.

Setelah sampai di parkiran, pria itu dengan sigap meletakkan Citra di kursi penumpang bagian belakang. "Bertahan."

Citra menarik lengan Indra ketika pria itu hendak menutup pintu. "Aku ... nggak ... apa-apa."

"Nggak, aku harus antar kamu ke rumah sakit."

Tangan Citra tetap memegang erat lengan Indra, sedangkan napasnya sudah begitu tersengal. Dia masih berusaha menormalkan napas, menghitung satu sampai tiga, dan mengembuskan napas seperti manusia normal lainnya.

"Lepas, Cit. Aku antar kamu ke rumah sakit."

Citra menggeleng. "Aku tahu keadaanku."

Indra yang masih panik itu hanya menatap Citra. Tangannya bergerak mengelap keringat yang keluar. Telinganya mendengar Citra bergumam bahwa bisa bernapas normal. "Please, Cit. jangan buat aku bingung."

Citra masih teguh dan terus berusaha hingga dua puluh menit berlalu, wajah yang pucat dan hampir membiru itu berangsur normal.

"Citra?"

Citra mengangguk. "I'm okay."

Indra menyibak rambut itu dan kembali mengelap keringat di wajah Citra. "Kamu yakin?"

Citra mengangguk. "Maaf, sudah bikin panik." Tangan Citra terlepas dari lengan Indra. Dia bersandar lelah sambil menutup mata. "Sebenarnya bisa ditolong pakai inhealer."

"Ada di mana? Biar aku ambilin."

"Udah nggak perlu, Mas." Dia menoleh ke arah Indra, lalu tersenyum. "Aku sedang mencoba terlepas dari inhealaer. Aku pengen sembuh."

Kini tubuh Indra melemas, lalu meraih kepala Citra dan menenggelamkannya ke dalam pelukan. Mata Citra langsung terbelalak, bulu kuduknya meremang, dan sesak itu berganti detak yang tak keruan.

"Aku yang hampir mati melihatmu seperti itu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top