13. Laju Hati
*
*
*
13. Laju Hati
Kesibukan di kantor kecil itu mulai tampak. Sudah hampir dua minggu ini mereka disibukkan dengan rencana pekerjaan yang baru masuk. Saat ini, Indra berdiri di depan Arya, Irwan, dan Citra sambil menulis di papan putih sekaligus mengatur jadwal pekerjaan yang baru. Satu tangan Indra memegang beberapa koloni kertas yang masih rapi, mulut dan matanya tak berhenti bekerja. Rapat itu berlangsung dengan intens sekali. Wajah mereka terlihat serius dan menulis di masing-masing agenda yang dibawa.
"Yang terakhir ada produk makanan baru untuk pengajuan label PIRT. Citra, kamu coba handle yang ini. Dia masih belum punya surat izin laboratorium. Buatin surat pengajuan setelah itu laporkan ke saya."
Citra mengangguk dan menulis semua yang diperintahkan Indra.
Arya menoleh ke arah Citra. "Kalau nggak paham kamu bisa telpon Rara. Tahu nomornya, kan?"
"Saya save nomornya, kok."
Indra meletakkan koloni kertas itu ke atas meja. "Sampai di sini ada yang ditanyakan?"
Mereka saling memandang, lalu menggeleng.
"Oke, kita akhiri rapat hari ini. Besok kita mulai kerja."
Arya dan Irwan merapikan barang-barang mereka. Citra dengan cekatan merapikan miliknya, lalu berdiri.
"Mau ke mana?" tanya Indra.
"Ng ... mau buatin kopi."
"Kamu duduk aja biar kit—"
"Aku es kopi Luwak, ya," potong Arya.
"Aku kopi anget."
Indra hanya bengong karena perkataannya diinterupsi oleh kedua temannya.
"Mas Indra mau apa?"
"Nescafe aja satu. Anget," jawabnya sambil mengembuskan napas.
Citra pergi dari ruangan itu. Irwan berpindah duduk ke sofa empuk di depan meja kerja. Dia mulai menyalakan rokok, Indra langsung berdiri dan merebut rokok itu sebelum dinyalakan. Irwan hanya melongo.
"Waras, Ndra?" tanya Arya.
Indra berdaham dan kembali duduk. "Mulai sekarang kalau ngerokok di luar."
"Kenapa? Kamu sendi ... tunggu ... udah dua minggu ini kamu ngerokok selalu di luar. Bahkan di ruanganmu sendiri." Arya menaikkan satu alis.
Irwan mulai menangkap kecurigaan. Dia melipat tangan dan menunggu jawaban Indra.
Indra yang merasa diawasi memasang tatapan sinis. "Nggak usah mikir yang aneh-aneh. Kalian belum tahu kalau Citra punya penyakit asma?"
Keduanya menggeleng.
"Hanya karena itu, bukan karena yang lainnya."
"Yakin?" Irwan masih belum percaya.
"Kamu maunya jawabannya apa?"
"Terus kenapa pas Rara hamil kamu nggak repons kayak gitu?"
Indra memutar bola mata. "Dia udah kebiasa."
"Aneh," gumam Irwan.
Arya hanya terkekeh sambil geleng-geleng.
Terdengar suara gagang pintu, Indra langsung bangkit dan menghampiri pintu itu, lalu membukanya lebar-lebar. Arya dan Irwan hanya saling memandang saat Citra muncul dari balik pintu. Wanita itu membawa nampan yang berisi empat gelas.
"Biar saya aja." Indra mengambil alih, lalu memberikan segelas es teh milik Citra, lalu meletakkan nampan itu di atas meja.
"Makasih," ucap Citra.
Irwan menahan rasa tidak percaya dengan embusan napas kasar, lalu dia mengambil minumannya.
"Aku nanti ke Rara, mau lihat bayinya. Kalian kapan?" Arya mengalihkan suasana aneh itu.
"Kita berangkat bareng," jawab Indra sambil meminum kopinya dan mengecek ponsel.
"Aku sama istriku nanti."
"Janjian di sana aja," ujar Irwan. "Aku juga bawa istri sama anak-anak."
Indra berteriak kegirangan saat melihat sebuah email dari ponselnya. Dia langsung menunjukkan layar ponselnya kepada Irwan dan Arya. Kedua temannya langsung berteriak girang dan mengucap syukur. Citra yang tidak tahu hanya melongo di samping Indra.
"Akhirnya! Nggak sia-sia aku ngasih amplop itu ke kamu!" pekik Irwan.
Indra menoleh ke Citra, lalu menggenggem kedua tangan wanita itu. "Proyek bijih besi jatuh ke tangan kita!"
"Alhamdulillah!"
"Gimana kalau kita rayakan di rumah Rara hari ini!"
"Ide bagus itu!"
Tanpa Irwan dan Arya sadari, tangan Indra masih menggenggam tanga Citra dan wanita itu mulai sibuk dengan detak jantungnya dan tangan yang mulai berkeringat.
***
Terlihat beberapa mobil terparkir di depan rumah yang begitu sederhana. Indra memarkirkan mobilnya tepat di depan mobil Arya. Dia keluar bersama Citra sambil membawa kantong plastik berisi makanan.
"Biar aku bantu bawa, Mas."
"Nggak usah ini berat." Indra berjalan lebih dahulu.
Terlihat dari luar tiga anak kecil berlari-larian di depan halaman rumah Rara. Teman-temannya pasti sudah datang terlebih dahulu. Bibir Citra menyunggingkan senyum ketika melihat anak-anak kecil itu bermain lari-larian. Andai saja rumah tangganya dipenuhi langkah kaki kecil seperti ini, pasti harinya tak akan sepi.
"Assalammualaikum!"
Suara Indra membuyarkan lamunan Citra sehingga dia bergegas masuk.
"Hai, Citra!"
Citra masuk, lalu memeluk Rara dengan hangat.
"Makin cakep aja!"
Entah kenapa saat Rara berkata seperti itu, hati Indra berdebar-debar tak keruan.
"Kenalin, ini istrinya Irwan, Meme namanya." Citra menyalami wanita bermata sipit itu saat Rara mengenalkannya. "Ini Listia, istrinya Arya." Wanita berhijab itu membalas uluran tangan Citra.
"Beuh ... gitu banget. Ada temennya bawa makanan nggak ada yang gubris," potong Indra.
"Pacar kamu, Ndra?" celetuk Dimas, istri Rara, sambil menggendong bayi.
Sontak seluruh orang yang ada di ruangan itu menoleh ke arah Dimas.
"Salah, ya?"
"Aduh ... honey, bunny, sweety-ku ... kan udah aku ceritain." Rara tersenyum lebar dengan mata mendelik.
"Oh ... sorry, Mbak."
"Nggak apa-apa."
"Dia karyawan baru. Bukan pacar baru!" Rara memberi penekanan pada akhir kalimat.
"Ra, aku ke dapur, ya," sela Meme. "Ayo, Lis, bantu nyiapin makanan yang dibawa Indra."
Suasana canggung itu kembali mencair setelah Meme dan Listia ke dapur. Irwan dan Arya membantu Indra membawa kantung makanan. Rumah Rara yang kecil itu terlihat begitu ramai dan penuh sesak dengan kehadiran teman-temannya.
Makan malam pun terasa begitu hangat. Mereka membahas proses persalinan Rara yang penuh dramatis karena tinglah lebay Rara. Lalu, membahas kebiasaan saat masa-masa kuliah dulu. Terkadang Meme dan Listia menambahi kebiasaan buruk para suami mereka yang masih berlangsung hingga sekarang. Mereka tertawa begitu lepas. Terlihat Meme kewalahan dengan anak bungsunya yang suka berlarian ke sana kemari. Citra yang sudah menyelesaikan makanan terlebih dahulu mendekati anak lelaki bermata sipit itu.
"Makan sama Tante, yuk."
"Oh nggak usah, Mbak. Nanti ngerepotin. Dia emang nggak bisa diem."
Citra tersenyum lebar. "Nggak apa-apa, aku udah selesai."
"Udah nggak apa-apa, Ma," ujar Irwan.
Citra meraih tangan anak itu, lalu membawanya ke halaman depan sambil membawa piring berisi makanan. Samar, Indra tersenyum melihat tingkah lembut Citra. Rara yang membaca ekspresi itu langsung angkat bicara.
"Ingat, Ndra. Dia istri orang."
Indra memalingkan wajah dan kembali memakan makanannya.
"Kita sebagai teman hanya nggak mau kamu kecewa lagi," tambah Irwan.
"Baiknya cepet cari orang lain," tambah Arya.
Indra menandaskan segelas minuman bersoda, lalu melihat temannya satu per satu. "Terima kasih untuk nasihat kalian. Sampai detik ini, aku nggak tahu caranya mengontrol laju hatiku." Mata itu memandang begitu serius.
Irwan, Arya, dan Rara langsung pucat pasi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top