12. Jarak

*
*
*
12. Jarak

Tidak ada rindu jika jarak tak terbentuk, begitu kata para pujangga roman picisan mengartikan sebuah kerinduan. Jarak dan rindu, Citra hampir tidak mengenal hal itu selama tiga tahun ini. Baginya, jarak tetaplah jarak, bukan suatu hal yang menimbulkan rindu atau hal magis lainnya.

Sudah tiga tahun ini pernikahannya dengan Catra terpisah oleh jarak. Catra yang bertugas di pertambangan mengaharuskannya untuk pulang selama dua minggu dalam kurun waktu tiga bulan bekerja di sana. Sebagai seorang istri, dia bisa apa saat sang suami memutuskan untuk menerima pekerjaan itu.

"Kalau begitu aku ikut, Yang," ucap Citra kala itu.

"Udahlah, Yang, jangan kayak anak kecil. Aku di sana kerja. Lagian kalau kamu ikut di sana, biaya hidup akan bertambah. Kamu di sini aja, di rumah kita sendiri."

"Tapi rumah ini bisa kita kontrakkan buat nutup kehidupan di sana, Yang."

Catra menghela napas panjang. "Kamu tahu, kan, risiko rumah kalau dikontrakkan?"

Citra memalingkan wajah, tetapi tangan Catra meraih dagu itu.

"Yang, aku janji aku nggak akan macam-macam. Sumpah!"

Mata Citra berkaca-kaca dan mulutnya tetap bungkam.

"Ngertiin aku, Yang. Aku pengen ngejar jenjang karier ini."

Citra mengembuskan napas panjang ketika ingatan hari itu berputar lagi. Hal itu lebih menyakitkan dari patah hati. Cara Catra seperti itu membuatnya berpikir bahwa suaminya sudah mulai bosan dengannya mengingat hubungan mereka sudah terjalin begitu lama.

Setelah meletakkan barang belanjaan pada tempatnya, Citra mulai menyalakan kompor dan memasak makanan untuk makan malamnya sendiri. Hampir tiga minggu, Citra memasak untuk dirinya sendiri karena Catra sudah kembali bertugas. Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi Citra untuk memasak. Sepiring tempe goreng dengan sambal sudah tersaji cantik dan siap disantap.

Ketika akan memakan masakannya, ponselnya berdering. Nama Sayang tertera di sana.

"Hai," sapa Citra ketika sambungan video call berlangsung.

Terlihat seorang pria berhidung merah dan rambut awut-awutan muncul dalam layar ponsel Citra.

"Kamu sakit, Yang?"

"Sinusku kambuh." Catra mengucek hidung.

Citra tersenyum tipis. "Kayaknya kita perlu dirukyah, deh. Aku sakit asma, kamu sakit sinus nggak mau dioperasi pula."

Catra terkekeh. "Selama nggak ganggu-ganggu banget, aku nggak mau."

"Tapi kata dokter harus dioperasi, lho."

"Kamu kata dokter juga harus bawa inhaler ke mana-mana."

"Aku, kan, pengen kayak orang normal lainnya, Yang."

"Aku juga kayak gitu."

Citra memasang tampang cemberut. Suaminya selalu tidak mau mengalah ketika beragumen dan berakhir dengan kejengkelan.

"Masak apa, Yang?"

Citra menyorot kameranya ke arah tempe yang sudah dicampur sambal.

"Wuih ... enak, nih."

"Sini, dong."

"Kalau aku ke sana minta jatah sekalian."

"Gombal!" Wajah Citra memerah.

"Tunggu dua bulan lagi, ya, Sayang."

Citra hanya mengembuskan napas.

"Gimana kerjaan? Lancar?"

"Lancar."

"Nggak capek?"

"Lumayan."

"Kenapa mesti kerja, sih, Yang?"

"Habis kamu nggak ngijinin aku ikut kamu."

"Aku di sini kerja, Yang."

"Ya udah, aku ikut kerja juga."

"Aku nggak mau kamu capek."

"Lebih capek hidup sendiri, Yang!"

"Mulai dah."

"Kamu yang mulai kali!"

"Udahlah, aku tutup. Nite."

Citra meremas ponsel yang meredup itu, lalu digeletakkannya dengan kasar di atas meja makan. Dengan mata yang berkaca-kaca, dia mulai memakan masakannya hingga kedua pipinya menggelembung. Selalu dan selalu seperti ini. Bisa dihitung dengan tangan keakuran antara Citra dan Catra semenjak pernikahan terjalin. Mereka selalu beradu argumen dan selalu berakhir dengan Citra yang mengalah. Wanita itu cukup tersiksa dengan hubungan yang seperti ini. Namun, dia bisa berbuat apa? Dia telah memilih Catra sebagai suaminya, maka dia akan menjalani hal seperti ini hingga maut memisahkan.

Setelah menyelesaikan makan malam penuh rasa dongkol, Citra berjalan menuju kamar tanpa ingin membuka ponselnya lagi. Akan tetapi, sebuah notifikasi menggelitik jarinya untuk membuka layar ponsel.

Indra Admadja mengirimi Anda permintaan pertemanan.

Jemarinya langsung membuka notifikasi dari Facebook itu. Bosnya meminta pertemanan di Facebook. Tanpa, berpikir panjang, dia menerima pertemanan itu. Keinginan untuk mengisi baterai ponselnya pun diurungkan karena terbendung niatan untuk menjelajahi profil sang atasan.

Seluruh foto dan status di Facebook Indra berisi pekerjaan. Entah kenapa Citra ingin sekali tahu kehidupan percintaan sang atasan. Hampir satu jam Citra menjelajahi semua foto dan status, dia tidak menemukan jawaban atas rasa penasarannya. Matanya lelah, direntangkannya kedua tangan dan mata yang menatap langit-langit jendela.

"Dan kamu mengikuti jejaknya."

Kata-kata itu masih terngiang dengan jelas. Mengikuti jejaknya, jejak suaminya yang lupa dengan sang pencipta, yang selalu mendahulukan amarah. Citra kembali membuka layar ponsel, lalu mengirim pesan pada suaminya, sebuah pesan berisikan ucapan selamat tidur. Seharusnya dia sebagai istri bisa mengontrol egonya. Dia tidak boleh memiliki sifat sama kerasnya dengan sang suami.

Mata Citra mulai meredup, tetapi semua tertunda karena sebuah pesan WhatsApp masuk.

Bos: Thanks udah diconfirm.

Citra hanya memandangi pesan itu. Dia tengah mempertimbangkan untuk membalas pesan itu atau tidak.

Bos: Aku lagi di Dermaga Jamrud.

Sebuah foto pemandangan malam dengan kapal pesiar yang begitu besar dan bercahaya di tengahnya malam terpampang jelas. Citra bangkit dan masih memandangi foto itu.

Citra: Bukannya malam ini kosong, ya, Mas?

Citra dibuat terlonjak saat panggilan Indra masuk. Dia mengerutkan dahi. Kenapa dengan bosnya? Dia sengaja untuk tidak mengangkat panggilan itu.

Bos: Nggak boleh telpon, ya?

Citra menelan ludah. Sesuatu yang aneh merambat dalam dadanya.

Citra: Maaf, Mas. Nggak enak aja.

Bos: Harusnya aku yang minta maaf karena udah ganggu malam-malam.

Citra: Bukannya mengganggu, hanya saja seperti hal yang tabu kalau menerima telepon dari lelaki lain di malam hari.

Bos: Aku teman kerjamu, kan? Apanya yang tabu? Cuma ingin menjelaskan kondisi Dermaga saat malam hari.

Sontak, Citra menengkurapkan tubuhnya dan menenggelamkan wajah dengan selimut.

"Geer banget!" pekiknya.

Bos: Ya udah kalau gitu.

Kepala Citra kembali mendongak. Dia langsung menekan gambar video untuk menghubungi atasannya. Citra langsung tersenyum lima jari saat wajah Indra muncul di layar ponsel.

"Maaf, ya, Mas."

Terlihat Indra terkekeh sambil mengembuskan asap rokok. "Nggak apa-apa." Tangan Indra merapikan rambutnya sambil memberi kode kepada Citra. Citra yang tersadar langsung merapikan rambutnya.

"Apa yang aku bisa pelajari malam ini, Mas? Btw, Mas tadi nggak pulang dulu?"

"Aku pulang sebentar, mandi, terus dapat pesan dari teman, ngajak mantau muat barang sama sekalian ngobrol."

Mulut Citra membentuk bulatan. Indra memindah layar kamera menghadap kapal pesiar yang sedang mengangkut bahan-bahan logistik. Bahan-bahan itu ditaruh di sebuah jaring, lalu ditarik ke atas membuat katrol agar bisa naik ke kapal pesiar.

Perbincangan itu berlanjut lagi. Indra menjelaskan seluruh keadaan dan beberapa peraturan yang harus dipenuhi untuk memuat sesatu ke dalam kapal. Untuk orang yang dimabuk asmara, jarak bukanlah hal yang berarti karena mereka akan menerabas apa pun hingga jarak itu tak tercipta, dan begitu pun dengan rindu yang berganti menjadi sebuah gelora.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top