11. Rasa Kagum
*
*
*
11. Rasa Kagum
"Lumayan dong kalau bisa dapat proyek itu."
Mata Indra masih menelusuri rak pasta gigi. "Lumayan. Karena mereka berani bayar banyak. Mereka nggak mau ada apa-apa di masalah pengiriman. Jadi, sebisa mungkin kita harus teliti, memeriksa keadaan kapal yang mengangkut, ketinggian air kalau bijih besi mulai diangkut dan masih banyak lagi, sih." Kini dahinya berkerut.
"Cari merek apa, Mas?"
"Em ...." Indra menggosok dahi.
Mata Citra ikut memilah deretan pasta gigi yang ada di sana. Kelopak matanya sedikit berbinar ketika menemukan psta gigi berwarna hijau yang selalu ia lihat ketika di kamar mandi. "Ini, kan?" Dia menyodorkan pasta gigi yang biasa dipakai Indra.
"Wah, iya bener."
Citra mengembangkan senyuman lebar. Indra hanya bisa menelan ludah dengan susah payah kemudian membuang pandangan dan meletakkan pasata gigi itu ke troli.
"Mas Indra cari apa lagi?"
Indra meneliti barang belanjaan yang tidak seberapa banyak. "Nggak ada. Kamu mau belanja apa?"
"Oh ... Mas Indra dulu aja. Belanjaanku banyak."
"Aku udah selesai."
"Kalau gitu aku antar ke kasir?"
Dahi Indra berkerut. "Kamu nggak belanja?"
Mata Citra bergulir ke kiri dan ke kanan. "Belanja, sih, tapi nggak enak kalau Mas Indra harus ikut keliling-keliling." Dia menunjukkan deretan gigi putihnya.
Indra terkekeh mendengarnya. "Nggak apa-apa, kok. Aku temani?"
Citra menipiskan bibir.
"Nggak boleh, ya?"
"Beneran nggak apa-apa, Mas?"
Indra hanya mengedikkan bahu dan berjalan mendahului Citra. Dia tidak perlu menjawab pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. Dia lebih senang menemani Citra belanja ketimbang mencari informasi tentang perusahaan yang mencari surveyor untuk komoditi bijih besi. Pekerjaan itu bisa dilakukan besok. Lagi pula, jam kerja juga sudah berakhir.
Citra mengembuskan naps berat. Jujur, dia merasa tidak enak jika berbelanja ditemani seorang pria yang bukan suaminya. Dia merasa seperti seorang perempuan yang sedang menjalin hubungan dengan pria lain. Tapi, mau bagaimana lagi. Atasannya benar-benar tipe pemaksa. Dia tidak enak jika harus menolak atasannya secara mentah-mentah.
Langkah Indra terhenti saat merasa Citra jauh di belakangnya. Dia berputar dan melihat wajah sendu wanita itu. "Ayo!"
Dengan terpaksa, Citra mengembangkan senyum dan melangkah mendekati bosnya.
Mereka berdua mulai mengelilingi supermarket tanpa bicara sepatah kata. Indra terus memandangi Citra yang sedang mengambil beberapa kebutuhan rumah tangga. Dia meneliti setiap merek yang dibeli Citra. Batinnya terus bergumama: oh, jadi dia selalu pakai merek ini. Sesekali kepalanya mengangguk lirih ketika Citra mengambil beberapa sabun pewangi pakaian. Dia akan mematri merek dan tipe sabun pewangi dalam otaknya untuk ia gunakan sendiri.
Citra kembali melongok ke troli dan meneliti barang belanjaannya kemudian dia menatap Indra yang sedang memperhatikannya. Indra langsung gelagapan ketika bola mata bundar itu berserobok dengan pandangannya.
"Beneran nggak apa-apa, nih, Mas?"
"Ah, oh nggak apa-apa. Udah selesai?"
Citra menggigit bibir bawahnya. "Masih ada, sih, sebenernya."
"Kalau gitu, ayo."
Citra kembali menurut dan kali ini ia melangkah menuju tempat bahan makanan. Dia melihat deretan harga minyak goreng yang terpampang di sana kemudian mengambil tiga minyak goreng sekaligus.
"Suka masak?"
"Ah?" Citra tertawa lirih. "Suka."
"Pasti sukanya gorengan, ya?"
"Oh ... bukan itu. Mas lihat harganya, nggak?"
Indra memiringkan kepala. "Oh ... jadi mumpung promo?"
"Bener banget. Kalau cewek emang kayak gini carinya yang promo. Apalagi kalau udah berumah tangga. Uang harus dihitung dengan hati-hati."
"Cocok jadi ibu-ibu rumah tangga."
Citra tersenyum masam. "Aku belum jadi ibu, Mas."
Indra menelan ludahnya. Sepertinya dia salah bicara.
"Nggak apa-apa kali, Mas. Aku nggak sesensitif itu. Memang sih, aku pengen banget punya anak, tapi ... belum waktunya mungkin."
"Iya bener, semua ada waktunya. Serahkan semua sama Allah. Percayakan semuanya dengan-Nya. Insyaa Allah semua yang kamu inginkan akan terwujud."
Citra menghela napas panjang. Kepalanya menunduk. "Sebenarnya ... aku udah lelah, Mas?"
Dahi Indra mengerut. "Lelah?"
Kepala Citra mengangguk. "Aku selalu meminta hal itu selama empat tahun." Bola mata Citra melihat ke atas. "Sepertinya ... Allah nggak mendengar semua itu."
Indra menumpukan kedua lengannya ke pegangan troli. "Kenapa kamu berpikir sejahat itu?"
Citra mengangkat kedua bahunya. "Karena sampai sekarang aku belum hamil juga."
"Sudahkah kamu minta bersungguh-sungguh?" Mata Citra melirik ragu mendengar hal itu dari Indra. "Memperbaiki ibadahmu?" Kini ia menggigit bibir bawahnya. "Aku yakin belum."
"Mungkin Mas bener. Aku belum bersungguh-sungguh meminta. Lagi pula, suamiku sepertinya melupakan Tuhannya—"
"Dan kamu mengikuti jejaknya."
Perkataan Indra kali ini seperti menampar Citra. Semua yang dikatakan Indra memang benar adanya. Dia mengikuti jalan suaminya yang salah. Seharusnya dia terus memperbaiki diri agar suaminya mengikuti jalan benar yang ia tempuh. Namun, dia malah ikut terjerumus dalam hal yang salah.
"Jangan pernah menyalahkan Allah sekalipun kamu sudah memperbaiki diri. Karena apa yang kamu inginkan belum tentu hal yang kamu butuhkan. Allah selalu memberikan yang terbaik untuk umatnya.
Lagi, Citra dibuat bungkam. Mata bulatnya memandang kagum pada sosok lelaki yang terlihat begitu dewasa, lebih dewasa dari Catra, suaminya. Umurnya sama dengan umur Catra. Mereka berpacaran sejak duduk di bangku SMA dan berakhir dengan sebuah pernikahan yang indah. Iya, indah di awal. Bayangan tentang kehidupan pernikahan penuh tawa hanya omong kosong belaka. Bagi Citra, masa pacaranlah yang lebih menyenangkan dan menikah bukanlah akhir dari sebuah hubungan.
Setelah berputa-putar, mengobrol dari hati ke hati, dan memenuhi troli dengan barang belanjaan, sampailah mereka pada perpisahan. Ada sebuah keengganan yang besar dalam diri Indra saat kakinya sudah menyentuh pintu keluar. Matanya memperhatikan rambut tebal itu tertiup angin malam.
"Mobilnya parkir di mana?"
Satu tangan Indra yang tidak memegang kantong plastik belanjaan menunjuk ke arah belakang. "Mau bareng?"
"Oh, enggak, Mas. Aku mau pesen ojek dulu. Aku kirain parkir di depan situ. Kok, Mas keluar dari sini."
Indra mirip seperti orang linglung. Dia baru ingat kalau mobilnya parkir di basemen. Tubuhnya berputar ke belakang, lalu kembali lagi menghadap Citra. Wanita itu menaikkan satu alis.
"Mau makan bakso?"
Citra tersenyum lembut. "Makasih, Mas. Makan di rumah aja." Dia merasa tidak enak sendiri dengan bosnya.
"Mau temenin aku makan bakso?"
"Ng ... ini sudah malam, Mas. Aku makan di rumah saja. Makasih."
Kesadaran Indra seperti dipaksa naik ke permukaan. Dia terkekeh lirih sambil mengacak rambut. "Oke, nggak papa. Aku balik dulu."
Sampai di sinilah pertemuan paling intim yang terjadi di antara mereka. Berbincang dari hati ke hati dan saling menyelami satu per satu. Tanpa mereka sadari, malam ini, pertemuan ini, adalah pemantik nyala api yang akan terjadi dalam hidup mereka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top