Tujuh

15 Maret 2018

Lagu yang diputer sama Ferdian tadi asik. Gue kayaknya pernah denger lagu itu sebelumnya. Lagu The Neighbourhood, mungkin? Tapi nanti gue searching aja deh buat pastiin.

________________________

Kenapa terkadang orang harus melakukan apa yang tidak disukainya? Kenapa?

Sura needs the answer!

Sura menjadikan tangannya sebagai bantal di atas meja untuk menyandarkan kepala. Tapi tidak bertahan lama, karna dia masih kurang merasa nyaman dengan posisi itu.

Setelah bergerak gelisah di bangku berulangkali, maka Sura pun menyerah. Hari ini perasaan kantuk begitu kuat menyerangnya, tapi di jam istirahat yang sangat bisa dimanfaatkan untuk tidur sebentar, Sura malah tidak bisa mencari posisi enak.

Dengan agak kesal Sura bangkit berdiri, dia akan berjalan-jalan sebentar, mana tahu kantuknya bisa lenyap.

Mungkin karna ruang kelas yang sepi maka perasaan ngantuknya makin menjadi. Tapi kelas bukan berarti hanya di huni oleh Sura seorang tadi, ada sekitar lima anak lagi di dalam sana.

Namun, kelima murid itu sama-sama tipe murid pendiam. Mereka tidak menonjol, tapi bukan tipe nerd juga. Mereka hanya tidak mau mencari masalah alias gara-gara. Itu saja.

Sura memasang earphone ke telinga, lalu memutarnya acak, seperti biasa. Koridor sekolah tidak bisa dibilang ramai. Di jam istirahat seperti ini kantinlah yang ramai. Sedang koridor akan selalu ramai di pagi dan di siang hari, di mana bel pulang sekolah berkumandang.

Kali ini Sura tidak pergi ke ruang TU, dia hanya tidak ingin saja. Jadi Sura berjalan-jalan ke taman mini dekat ruang kepala sekolah. Cuaca yang sedang berangin menambah semangat Sura menuju taman.

Sayangnya tidak disediakan tempat duduk di sekitaran taman mini ini. Jadi Sura hanya bisa sebatas mengagumi kerapian susunan tanaman dengan berdiri saja, mengitari taman.

Perawat tanaman sekolah membalas senyuman Sura. Taman ini juga menjadi tempat Sura menghabiskan waktu istirahat setelah ruang TU. Jadi tidak heran kalau pekerja taman mengenalnya.

"Sura."

Kontan ia berbalik, mengarahkan pandangannya ke sumber suara. Dia, Tami. Jarang sekali gadis itu mendatangi Sura seperti ini, hingga Sura bertanya-tanya dalam hati.

Tami bukan hanya pendiam pada Sura saja. Tapi kepada semua teman sekelas ia begitu. Tami satu dari beberapa tipe pendiam yang tidak ingin cari masalah.

"Lo tahu kan kalau CCTV kelas kita rusak?"

Kening Sura berkerut, "Iya, tahu. Ada apa memang sama CCTV?" Sura bertanya bingung. Tami menghela napas panjang. Suara gadis itu memang sempat putus-putus, seperti orang kelelahan yang habis berlari. "Ini bukan soal CCTV," tukasnya cepat.

Sura makin tidak mengerti bercampur penasaran, "Lo memang sengaja nyari gue?"

Tami menggeleng cepat, kemudian mengangguk, lalu menggeleng lagi. "Ini penting. Mendesak. Gue mau ngomong serius."

Sura diam, memberi Tami kebebasan untuk mengutarakan maksud. Tami membuang napas dari mulut, cepat-cepat ia menarik Sura menjauh sedikit ke tempat di mana hanya mereka berdua saja yang bisa mendengar.

Sebab Tami kurang merasa nyaman berbicara ketika ia tahu sang pekerja taman bisa saja mendengar laporannya. "Gue liat seseorang nyuri ponsel. Ponselnya Galuh. Dan CCTV kita mati, 'kan? Jadi dia malah bebas ngelakuin niatnya tanpa takut ada bukti," jelas Tami buru-buru, tapi Sura bisa mengerti.

"Siapa pelakunya?"

Ekspresi yang ditampilkan Tami saat ini jelas sekali menunjukkan bahwa ia sangat berat mengatakannya. Sura berdeham, "Pelakunya satu kelas kita juga?"

Tami mengangguk berat, sedang Sura mengesah. "Siapa?" Sura melihat ke arah tangan Tami yang saling bertautan, ternyata gadis itu gemetaran sejak tadi. Sura meletakkan tangannya pada tautan telapak tangan Tami. "Siapa dia?"

"Sinta."

Sura menggeleng tak percaya. "Kenapa bisa?" Sura bahkan kesusahan menelan salivanya sekarang. "Bukannya tadi di kelas ada sekitaran lima orang lagi?" sambung Sura.

"Tadi setelah lo pergi, beberapa yang lain juga pergi. Terus Rego juga dipanggil sama guru olahraga. Sedangkan gue ke toilet, tapi sebelum sampe ke toilet gue balik lagi mau ngambil tissue, tahunya Sinta sendirian di sana, dan lagi pintu ditutup. Gue ngintip dia lewat pecahan jendela kayu itu."

"Udah dipastiin memang itu ponsel Galuh?"

Tami mengangguk, "Iya. Dia bongkar tas Galuh, terus nyelipin ponsel itu di balik White board. Terus gue langsung nyari elo, dan mungkin ponsel itu udah disimpan ke tempat lain.

"Karna gue tadi langsung lari tanpa perhitungan, jadi tong sampah depan kelas ketendang sama gue. Dan mungkin dia udah curiga," sambung Tami, wajahnya murung, dan... takut.

Sura menekan pelipis. Dia bingung kalau situasinya begini. "Lo siap jadi saksi?" Kontan Tami menggeleng. "Gue lapor ke elo karna gue nggak mau terekspos."

Nahkan Sura ada di posisi yang sulit. "Tapi gue nggak ada bukti, sedangkan lo adalah saksi Tami." Tami kekeuh menggeleng. "Gue nggak mau nyari masalah."

"Tapi Tami..."

"Nggak Sura. Gue memang nggak bisa mendiamkan ini. Sedangkan kemungkinan gue untuk tetap jaga kejadian ini sebagai rahasia di antara gue dan Sinta, besar. Tapi gue nggak milih itu. Please, gue udah turun tangan sejauh ini, dan gue nggak mau terlalu jauh lagi."

Secara profesional Sura menerima permintaan Tami. "Oke, kalau gitu kita harus nemuin di mana dia nyelipin ponsel Sinta."

Barulah Tami menghela napas, "Jadi Sinta bakal masuk ruang konseling?"

"Iya."

"Apa lo nggak capek terus-terusan masukin anak-anak ke sana? Atau kadar kebencian anak-anak semakin nambah ke elo? Mereka antipati. Tanpa diduga jadi target selanjutnya"

Kalimat itu membuat langkah Sura terhenti. Dia tidak bisa mengerti apakah kata-kata itu barusan saja menamparnya? Ataukah dia ini sudah kebal tamparan? Karna, tanpa dikatakan segamblang ini pun Sura bisa membaca reaksi orang-orang akan eksistensinya.

Mimik muka Sura terlihat pasrah. "Gue bukan orang jahat Tami, gue bukan si pelaku atau tersangkanya, tapi cara tanggapan orang-orang ke gue malah begitu. But, it's okay then."

Sura menepuk pundak Tami, menginstruksi gadis itu untuk lanjut melangkah lagi bersamanya, "Dan lagi, kali ini bukan gue yang masukin anak itu ke ruang konseling... tapi elo," sambungnya, kedua alis menaik menantang.

Wajah Tami pias, ditangkapnya pergelangan Sura hingga perjalanan mereka lagi-lagi terhambat. "Please, tapi lo kan udah janji supaya gue nggak terekspos!"

Kekehan ringan Sura mencairkan ketegangan Tami, "Gue bercanda tadi, santai aja." Mata Tami membeliak sebentar, lalu dilanjutkan tangannya mengelus dada, "Syukurlah," bisiknya untuk diri sendiri.

"Dan satu lagi, ruang konseling enggak seburuk itu Tami. Ruang konseling bukan neraka, percayalah."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top