Sembilan

Menurut himbauan langsung dari kepala sekolah, bahwa sebelum penyuluhan berlangsung satu jam lagi maka mereka dibebaskan dari proses belajar. Tapi bukan berarti bebas meninggalkan area sekolah.

Kepala sekolah hanya sedang berbaik hati, memberi satu jam ditambah jam istirahat sebagai waktu refreshing di tengah padatnya jadwal siswa-siswi tingkat akhir.

Kalau bukan di waktu istirahat Sura segan untuk mendatangi ruang TU. Jadi dari pada pergi ke kantin atau malah menetap di kelas selama satu jam Sura memilih berkeliling beberapa area sekolah.

Sebenarnya Sura sempat ragu ketika menginjakkan kaki di ruang indoor Volley, sebab pikirnya ruang ini pasti pada diisi oleh kebanyakan anak laki-laki. Atau setidaknya pikir Sura tempat ini sedang ramai.

Nyatanya tidak.

Jadi Sura tidak merasa kikuk untuk melangkah lebih dalam lagi. Ada tribun sederhana di sisi kanan-kiri. Sura jarang sekali masuk ke ruangan ini, jadi dia naik ke tribun. Dari tempat itu Sura mencoba membayangkan pertandingan volley yang sedang berlangsung, dan dia tengah menonton.

Katakanlah, Poor Sura. Dan dia tidak akan keberatan.

Suara yang mulanya bisik-bisik kontan membuat Sura terduduk tanpa sadar. Ia terlalu terkejut menyadari bahwa ada orang lain yang masuk ke ruangan ini.

Kedua laki-laki itu masih di ujung pintu, sejurus kemudian mereka menutup pintu rapat-rapat dan berbincang di sana. Sura tetap diam di tempat, dia bingung harus berbuat apa, berdiam dirikah? Atau unjuk diri pada kedua laki-laki yang ternyata teman satu kelasnya?

"Lo emang udah ditolak berapa kali, Jer?"

"Elah, kan gue udah pernah cerita! Masa lo lupain sih?" ketus Jericho. Ia jengkel, sangat.

"Yahkan otak gue nggak nyimpen curhatan doang kali Jer," sahut Birham kalem. "Jadi berapa kali udah? Tiga? Enam? Sembilan?" dia sambung bertanya.

Jericho meletakkan telapak tangan lebarnya ke wajah Birham tiba-tiba, membuat Birham risih bercampur kesal. "Yakali nggak sampe sembilan kali, Ham. Omongan lo emang rada-rada ya, jadi bingung gue kenapa mau aja cerita ke elo."

"Iya deh serah lo dah. Yang penting berapa kalipun lo nembak si Nirwa, tetep aja ditolak," balas Birham, dan Jericho tertamplak kalimat itu.

Di seberang, di tribun yang seharusnya terlihat jelas oleh kedua laki-laki itu bahwa seorang perempuan sedang menelan saliva berat. Sura baru tahu kalau Jericho naksir Nirwana.

Kalau dilihat-lihat Sura bisa merasakan keserasian antara Jericho dan Nirwana si gadis yang hobi sekali pelajaran matematika.

"Dijaga omongan lo Ham. Nyelekit elah. Lagian si Nirwa kan emang nggak dikasih pacaran sebelum tamat SMA."

"Iya, iya, gue tahu Jer. Udah bosen malah gue dengernya dari mulut lo." Tepat ketika Birham selesai menjawab, Jericho mendadak memiting leher Birham. Jericho keki ke teman sialan yang malah dia jadikan pula sebagai tempat curhat.

Birham yang lehernya dipiting Jericho berucap ampun-ampun sambil menepuk tangan Jericho yang mengunci pergerakannya untuk memberontak. Sejurus kemudian Jericho membebaskan Birham.

"Sialan lo," Birham menjauh, dia menunduk karna terbatuk-batuk, sedang Jericho terkekeh. Di saat itulah mereka melihat Sura duduk di tribun sedang menatap ke arah mereka juga.

"Skakmat Jer. Ada Sura noh," Birham mengerling tengil. Lain dari praduga Birham, Jericho malah menarik ujung belakang kerah Birham, mereka bersama-sama mendatangi Sura.

Sura yang didatangi tentu kikuk. Namun kemudian merasa lucu melihat interaksi kedua sahabat itu. Apa cowok modelan bertemennya kayak gitu?

"H-hai ketua kelas," sapa Birham gagap mulanya. Jericho memutar bola mata, karna dia tahu Birham diam-diam kagum pada sang ketua kelas. Sura mengangguk, lalu menarik sebelah alisnya sedikit.

"Gue langsung aja ke intinya. Lo udah denger pembicaraan kita dua tadi, 'kan? Selow aja, gue nggak keberatan kok, kalau emang lo nggak sengaja dengar."

Sura diam-diam tersenyum geli. Jericho bilang dia mau langsung ke inti kan? Tapi kenapa ini malah ada kalimat pembuka?

"Jadi gue mau minta pendapat."

Nah, itu baru inti! "Tentang Nirwana?" Jericho menggeleng tegas, "Bukan soal dia doang, karna kalau dia mah udah perfect banget buat gue yang juga perfect." Birham di samping Jericho mual-mual mendengarnya.

"Jadi gini. Gue udah ditolak empat kali sama Nirwana, dengan alasan dia ngga boleh pacaran sebelum tamat SMA. Dan lagi gue nembak dia tiap semester sejak kita di tingkat satu. Tapinya, semester lalu gue nggak confess lagi ke dia, karna gue udah mikir masak-masak kalau bakal ditolak dengan alasan yang sama. Tapi ya, gue percaya kok sama alasannya itu, Nirwana nggak pernah nerima anak cowok manapun. Dan gue juga ngerasa kalau feeling kita berdua sama sebenarnya."

"Jadi intinya?"

"Nah intinya, gue takut kalau Nirwana mikir gue nggak serius ke dia lagi gara-gara gak nembak semester lalu. Dia juga ngeliat beberapa kali gue digebet cewek. Tapi serius, gue nolak mereka semua lah. Cinta gue buat Nirwana Sani Jundiarta seorang."

"Mau lo sekarang?"

"Gue mau minta pendapat lo sekarang ketua kelas. Kalau gue nembak dia beberapa hari lagi gimana? Diterima kagak? Terus gue harus bilang apa ke dia buat ngejelasin semua? Tapi sebenernya gue juga ngasih perhatian-perhatian kecil ke dia kok. Kalau lo mau nanya kenapa nggak ngasih perhatian besar, jawaban gue adalah, gue nggak mau Nirwa lepas kontrol sama janjinya ke ortu dan malah kita jadi backstreet."

Birham menganga. Tak menyangka kalau Jericho curhat sejelas dan sepercaya diri itu pada Sura.

"Jangan ditembak sekarang kalau dia bilang sebelum tamat SMA. Setidaknya lo harus sabar dikit lagi sampai ujian akhir selesai. Ortu Nirwa mungkin nggak mau anaknya gagal fokus belajar dan malah sibuk pacaran. Nirwana sejauh ini gue lihat bertanggungjawab kok, gue rasa dia bisa menyikapi apa yang udah dia bilang ke elo.

"Gue cewek. Dan kalau gue tahu orang yang gue suka nembak gue dengan kata-kata yang diajarin orang lain, yang ada gue malah kecewa.

"Cukup bilang hal mendalam yang tertanam di hati lo, yang memang bertumbuh special teruntuk dia seorang. Sebagian besar cewek bakalan puas. Dan memang sesederhana itu."

Lantas Birham bertepuk tangan gembira, lalu mengambil ponsel dan membuka aplikasi Memo.

Jericho mengangguk mantap, dia menepuk-nepuk dada. "Gue mikirin kata-kata lo kok malah makin gugup ya, Sura?" Sura tersenyum tipis menanggapinya.

"AH ELO." Birham terkejut bukan main, nyaris saja ponselnya jatuh kalau dia tidak tangkas menjaganya. "Hampir aja lo gue suruh ganti rugi," balas Birham tak senang.

"Lagian, bikin quotes lagi lo. Udah itu isinya kata-kata Sura semua," kata Jericho yang tanpa sadar hampir membongkar satu dari beberapa rahasia Birham.

"Eh?" Kening Sura mengerut dalam. "Nggak apa ketua kelas. Bukan apa-apa," buru-buru Birham menjawab.

"Tapi Sura, gimana kalau selesai SMA dia malah lanjut pendidikan ke tempat yang jauh dari sini, jadi kita nggak sama-sama?"

"Dia mau jadi guru matematika ya?" Sura terkekeh geli sesudah bertanya, dan bukan hanya dia, tapi mereka bertiga.

"Udah pasti itu mah," jawab Birham, tawanya menjadi. Cekatan Jericho menjitak kepala Birham, "Calon cewek gue itu. Jangan ngejek lo."

"Kalau kata gue sih, sejauh apapun jarak menjadi rintang, kalau memang dia cintamu dan lo cintanya, gimanapun pasti tetap menyatu."

Kedua laki-laki itu bertepuk tangan heboh, sesekali bersiul, "Catet lagi noh Ham," Jericho menaik-turunkan alisnya, tersenyum jahil.

"Sebahagia lo dah Jer."

I9 Maret 2018

Huaaaa!

Nggak semua, nggak ternyata, :))

Thank's Lord, Sura lega. Terima kasih sekali.

¨ Awalnya memang karna gue dibutuhkan. Tapi nggak masalah selama seorang Sura bisa melakukan hal yang lebih baik lagi.

Sesederhana itu.
Seorang Jericho Hutama jatuh hati pada Nirwana Sani Jundiarta sesederhana itu.

Dan begitupun gue. Menolong dengan cara yang sesederhana itu, tapi berakhir besar --> demi sebuah perubahan, pemulihan. --> Butuh pengorbanan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top