Sebelas

Buku daftar nilai menimbulkan debaman nyaring habis diadu dengan meja. Gerak non verbal dari guru olahraga menjadi alarm bagi Sura untuk berlekas-lekas.

Daftar nilai itu ditunjukkan sang guru pada Sura, tanpa Sura bisa memberi respon. "Kelas kalian perbaikan nilai untuk kedua kalinya. Tolong jangan ada yang nggak ikutin remedi ini Sura. Kumpulkan semua di lapangan indoor Volley," desisnya pelan pada Sura.

Tidak biasanya guru laki-laki olahraga bertopi itu emosian seperti sekarang ini, tapi bagi Sura beliau hanya sedang kelelahan, jadi ia dan teman-teman tidak perlu sakit hati.

"Siap?"

Suara pak Deka tidak pernah sekuat ini sebelumnya. Mereka saling lempar lirik satu sama lain, takut-takut.

"Siap pak," jawab mereka berbarengan. "Aditya," sebut pak Deka. Siswa bernama Aditya mengambil posisi, bola Volley sudah berada di tangannya. Pak Deka menjadikan teknik menyervis bola sebagai remedial bersama. Supaya cepat selesai katanya.

"Kaki! Posisi kaki kamu salah Birham!" sentakan dari sang guru membuat mereka yang belum mendapat gilir semakin ciut.

"Rego."

Kini semua mata tidak ada yang tidak menatap ke objek yang sama. Rego, seorang siswa yang terkucilkan hanya karna ia pernah mengulang di kelas sebelas. Alasannya mengulang kelas bukan karna ia anak ugal-ugalan, tapi kemampuan belajar dan olahraganya lemah—

"Rego!"

Wajah pias Rego makin membuat perasaan tidak tenang menyeruak di dada Sura. Sura bisa memaklumi kalau pak Deka sedang lelah atau tertimpa masalah, tapi jika bapak itu melemparkan kekesalannya pada Rego, beliau sudah salah.

"Bapak kemarin manggil kamu supaya kamu banyak belajar. Ini nyervis aja belum bener! Mau dapat nilai berapa kamu?!"

Tidak ada yang membela Rego, Sura pun tidak, ia hanya terdiam dan menyimak penuh perhatian. Lagi pula Sura melihat wujud ketegaran Rego, jadi ia tidak mau mengacaukan apa yang sedang Rego usahakan.

"Sudah-sudah, kamu nggak usah ngambil nilai lagi, duduk aja di sana," pak Deka secara tidak langsung mengusir cowok itu ke tribun.

Setelah gilirannya selesai, Sura beranjak ke tribun hendak beristirahat di sana ketimbang ikut nimbrung di antara anak perempuan lain yang sudah membentuk beberapa kelompok.

"Mau minum?" tawar Sura, membuka percakapan lebih dulu pada Rego. Mata Rego yang sibuk mengamat-amati ke arah teman-teman sekelas di sebrang sana menjadi buyar.

Ia menatap Sura lama sebelum berkata, "Pak Deka yang nyuruh?" Sura menggeleng, ia malah melempar pandangannya ke tempat Rego memberi atensi sebelumnya.

"Cuma kepengen ke sini, tanpa disuruh siapa-siapa," jelas Sura hendak melenyapkan kecurigaan lelaki itu. Dan memang benar, Sura berkata jujur.

Cowok yang biasanya dan sering dikatakan guru sulit berteman itu tampak lugu sekali di mata Sura. "Lo mau masukin gue ke ruang konseling?"

Mata Sura membulat, "Enggak Rego. Gue pengen duduk di sini, itu aja," Sura membuang napasnya perlahan.

"Tapi gue mau kok dimasukin ke sana."

"Hah?"

Mata cokelat jernih Rego tiba-tiba beralih cepat, "Sinta mau jatuh," ucapnya refleks, hingga Sura benar-benar harus memperhatikan sosok Sinta. Ah, sekarang Sura jadi tahu apa kelebihan Rego.

"Lo punya kelebihan Rego, punya kemampuan, lo harus tahu itu." Sura berucap serius, nada bicara yang tampak monoton itu punya arti tersirat dibaliknya. "Iya," jawabnya simpel. "Cara berjalan, gerak tangan, dan wajah Sinta menceminkan ketakutan," Rego menyerukan suara pikirannya itu pada Sura tanpa sadar.

"Iya, lo benar. Hmm... tapi cara pandang lo ke dia? Ke Sinta gimana?" Melihat ada ketersambungan di antara mereka membuat Sura semakin memancing Rego untuk lebih banyak berbicara.

"Bagi gue dia nggak salah. Bukan pencuri, dia bukan. Api yang sengaja disulut Galuh benar-benar buat Sinta terbakar. Pencuri mana yang nggak jual barang curiannya supaya dapet untung?"

Sura tertawa. Ia benar-benar tertawa, hingga Rego terperangah dan memikirkan ulang kalimatnya barusan.

"Tapi sayangnya temen-temen kita ngambil kesimpulan yang lain."

"Temen kita?"

"Yup teman kita," sahut Sura perlahan, ia baru saja melihat wajah Rego yang mulai mengeruh. "Sepertinya bukan," tutur Rego, mata lelaki itu berusaha tegar.

"Nggak ada yang bener-bener mau ngobrol sama gue. Gak ada juga yang mau ngajak gue belajar bareng, itu namanya temen kita?" nada putus asa bercampur tegar menyeruak kental.

Astaga! Bagaimana bisa Sura sejahat itu? Kenapa ia baru menyadari ini sekarang? "Maaf Rego." Rego tersenyum, raut sedih tidak ada lagi di sana, justru Sura yang bermuka mendung. "Nggak apa Sura. Lo bener-bener ngajak gue ngobrol sekarang. Jadi apa boleh gue masuk ruang konseling?"

Selain lugu, Rego benar-benar manis. Astaga! Mengapa bisa orang-orang malah antipati padanya? Hanya karna Rego pernah tinggal kelas? Dangkalnya pikiran itu!

Sura menelan salivanya susah payah, dia juga mengerjapkan matanya berulangkali. Sura tersentuh sekali!

"Rego, lo mau belajar bareng gue?" tawar Sura tulus. Rego terkejut, matanya membulat fokus, sedang mulut terbuka.

"Belajar bareng? Gue juga mau loh ikut belajar bareng, boleh?" Sura menoleh, ada Nirwana yang baru saja angkat bicara. Rego yang tadinya terkejut kini makin mematung di tempat.

Dan Sura makin dikagetkan dengan suara Wasta yang memecah, "Gue juga mesti ajarin elo cara main Volley yang bener. Itu sih kalau lo mau." Meski Sura merasa geli akibat kalimat baik-baik tapi malah diucapkan Wasta agak sinis. Ya, Wasta gengsian sepertinya.

Tapi keseluruhannya Sura malah ingin menangis sekarang, pelan-pelan ia menoleh dan mendapati Rego tersenyum senang. Laki-laki itu tidak mampu berkata apa-apa, dia menyambut keindahan ini dengan hati bersuka.

Tapi Sura tahu, tatapan itu, tatapan yang berusaha tegar ... tatapan Rego yang sedang menahan tangis.

21 Maret 2018

Dunia memang bisa sedemikian kejam bagi anak-anak yang 'berbeda'.


TBC.
20 Mar 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top