Enam
14 Maret 2018
Pembahasan tes pelajaran pak Nicol diadakan dadakan. Penambahan nilai, sekaligus memperbaiki nilai semester. {kalaupun bapak itu bilang dibuat dadakan, tapi masih dalam minggu ini, 'kan? Oke, i got it!"
Ulang pelajaran beliau setiap jam delapan malam. Ingat Sura!
Bel istirahat berbunyi sejak dua menit lalu. Tapi kelas sudah sepi saja, hanya ada Sura dan Puspita.
Buku-buku yang bertebaran di atas meja Sura bereskan sebelum beranjak menuju ruang TU, tempat yang ia jadikan markas selama jam istirahat.
Karna Sura sedang mengecek arloji, dia tidak memperhatikan kalau Puspita yang tadinya berdiri di depan pintu kelas balik berjalan ke dalam kelas, dan tanpa sengaja bahu keduanya bertubrukan ringan.
"Eh, maaf, maaf," ucap Sura spontan. Puspita mengangguk, tapi matanya menatap jeli Sura. "Oke, kalau gitu gue ke luar dulu, ya," pamitnya.
"Eh tunggu," Puspita menarik tangan Sura, menghalangi gadis itu pergi.
Sedikit banyak Sura tahu Puspita adalah orang yang kadang-kadang suka nyablak, jadi dia tidak heran dicegat begini. "Tanya aja, kalau memang lo mau nanya," Sura buka suara lagi ketika Puspita mengerutkan kening tampak menimbang-nimbang.
"Kenapa sih si Della dapat pacar yang ganteng? Padahal kalau soal tampang masih menangan gue. Lah gue malah dapat cowok yang pas-pas'an. Lo tahu nggak penyebabnya?"
Sejurus kemudian mata Sura menatap ke arah mana saja asal tidak ke mata Puspita. Sura masih tercengang atas alasan di balik dicegatnya ia oleh Puspita.
"Sura? Lo tahu kagak, sih?"
"Kalau soal itu, emm... gimana ya. Della anaknya manis kok ter—"
"Tapi masih lebih oke gue Sura!" jelas Puspita jengkel. Sura berdeham, dia mengangguk saja, tapi setuju juga kalau tampang Puspita memang lumayan.
"Cantik itu relatif Puspita, mungkin cowok yang lo sebut sebagai pacarnya Della lebih merasa nyaman sama dia ketimbang cewek lain yang lebih wow. Terkadang sikap juga bisa mengalahkan paras."
Puspita mengangguk-angguk, "Oh, jadi ini masalah kenyamanan sama sikap, ya? Bisa sih bisa." Puspita benar-benar terlihat berpikir keras hingga Sura tak tega meninggalkan gadis itu sendiri di kelas demi ke ruang TU.
"Tapi gue bukan cewek jahat kok. Gue juga gak bertingkah aneh-aneh anaknya. Setidaknya gue paket yang cukup lengkap. Tapi kenapa gue ngga dapet yang kayak Della punya, ya? Kenapa tuh Sura gue begini?"
Lagi-lagi Sura diam-diam geleng kepala. Bener deh si Puspita suka nyablak anaknya. "Tenang aja. Nggak usah kecewa, lo pasti dapet kok Pus, bahkan bisa jadi yang lebih baik. Tapi nanti, bukan sekarang. Ada saatnya. Lebih baik lo nungguin orang itu sambil berbenah diri lebih baik lagi."
Puspita mengangguk semangat, raut resah dan iri yang tadinya merundung gadis itu perlahan sirna. "Thank's deh Sura. Gue ngerti dikit banyak lah sekara—"
BRAKK!
"Astaga! Apaan sih lo Lion?!" teriak Puspita tanpa sadar sangkin terkejut.
Meja guru yang terjungkirbalik akibat tingkah Lion mengundang banyak minat dari siswa-siswi yang sedang berlalu-lalang.
"Lo!" telunjuk Lion hampir mengenai pangkal hidung Sura. "Udah puas lo? Seneng 'kan lo?!"
"Stop Liontin," ujar Sura tenang. Sura berusaha membuat perempuan itu mengerti kalau orang-orang sudah banyak berkerubung di pintu kelas mereka demi melihat adegan yang Liontin ciptakan.
Tanpa aba-aba Liontin dengan perasaan marah asal menarik ujung rambut sebelah kiri Sura. Meski sakit Sura berusaha tidak membalas, toh Liontin juga langsung melepas dan beralih menunjuk-nunjuknya lagi.
"Apa masukin gue ke ruang konseling itu buat lo bahagia? Apa itu jangan-jangan hobi lo?!" Liontin kini tertawa remeh, namun tatapan matanya menusuk-nusuk.
"Trimakasih atas pujiannya Liontin." Sura menepis telunjuk Liontin yang menodongnya. "Jangan pergi lo!" bentak Liontin marah.
Sura melihat kemerahan menjalar di pergelangan tangannya, akibat Lion yang menahannya kasar. "Mau lo apa Lion? Gue berusaha menjaga apa yang menjadi privasi. Tapi lo sepertinya nggak ngerti-ngerti juga. Silahkan, omongin semua apa yang ada di isi kepala lo. Tapi tanggung rasa malu itu sendiri."
"Heh! Beraninya lo Sura! Lo pikir ngelaporin gue udah hebat banget? Udah berjasa?"
"So sorry Liontin. Bukan sembarang orang yang masuk ruang konseling, cuma mereka yang melewati toleransi. Itu juga demi kebaikan lo." Tidak ada yang bersuara selain Sura dan Liontin. Mereka yang menonton adegan barusan sudah diusir oleh murid-murid kelas Sura.
Jadi para penonton berganti menjadi teman sekelas. Pintu kelas juga sudah ditutup rapat oleh mereka.
"Lo nggak ngerti apa-apa. Harusnya lo nggak ikut campur!" balasnya masih dalam nada kemarahan dan depresi. "Itu hal biasa Sura! Kita cuman kissing!"
"Hal biasa? Oke, itu biasa buat lo. Selamat Liontin, selamat. Tapi jangan nanti lo salahin cinta kalau lo udah kenapa-kenapa. Atau jangan sebut lo mau melakukan segala hal dengan mengatasnamakan cinta. Stop it!
"Cetak tebal di otak lo Lion, itu bukan cinta, tapi napsu! Apalagi yang kalian lakukan itu bukan berdasar spontanitas, tapi direncanakan! Bayangin, kita udah pulang dari jam berapa semalam, dan lo malah balik ke sekolah ketika sekolah sepi demi kissing? Apa itu nggak berbahaya?"
Air mata Liontin mengalir, beberapa poni panjangnya lengket di permukaan pipi yang mengalirkan air asin. "Tapi nggak dengan cara ngelaporin ke guru!!" teriak Liontin tidak terima.
"Jadi ke siapa Lion? Gue hanya lapor ke satu guru pembimbing. Bukan semua orang, gue udah bilang dari awal kan kalau gue menjaga privasi? Tapi lo yang mulai Lion, lo yang beberin semua ini," jelas Sura dengan desahan tertahan dan perasaan lelah.
Sura ikut duduk di lantai menghadap Lion. "Gue marah, gue takut, dan gue kecewa sama perbuatan lo semalam Lion. Dasar tindakan gue ini karna gue nggak mau lo sampai kenapa-kenapa. Kalau hal buruk itu terjadi, mau sampai nangis darah pun nggak bakal jadi baik kayak semula."
"Tapi dia yang ngertiin gue," cicit Lion. Sura mengerutkan kening, wajahnya keras. "Itu juga kalimat yang dibilang junior kita dulu Lion, tapi apa? Junior itu malah hamil di luar nikah, 'kan? Kalau memang dia ngertiin dia nggak bakal ngerusakin."
Beberapa anak perempuan ikutan menangis, tapi tidak seheboh tangis Lion. Mereka entah mengapa bisa turut merasakan sakit jika hal-hal buruk itu sampai kejadian.
Sementara anak laki-laki sibuk menjaga jendela kayu kelas yang dipaksa buka oleh siswa lain dari luar. Sebab orang di luar sana penasarannya bukan main.
"Lo pasti bisa Lion. Lo tegar, lo kuat, dan lo cantik. Tapi nggak semestinya kecantikan lo dimanfaatin."
Kalau memang dia cinta, pasti bisa menjaga cintanya. Menanamkan kepercayaan mulai dari hal remeh sekalipun.
Sura menatap tulisan yang baru ia tambah barusan di potongan HVS-nya. Membiarkan garis putus-putus melingkupi tulisan itu.
Lalu dengan lemah Sura menambah kalimat-kalimat terakhir sebelum menutup kertas dalam lipatan dan menyimpannya.
Note: Kenapa perbuatan gue selalu disalahpahami?
Sura tidak berambisi menjadi pahlawan kesiangan. Sura mau menolong, itu saja. Kenapa tidak ada yang mau mengerti?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top