Empat

Bus yang mereka tumpangi berhenti tidak tepat di rumah Panji. Mereka harus berjalan sekitar setengah kilometer lebih sedikit. Diketahui bahwa Panji baru-baru ini pindah rumah, itu artinya teman Panji yang sudah pernah berkunjung ke rumah cowok itu adalah berkunjung ke alamat rumah yang lama.

Sura berjalan di tengah-tengah teman yang lain. Tidak ada yang mengajaknya berbicara. Tapi Sura tidak satu-satunya yang hanya diam dan berjalan sendiri, ada beberapa melakukan hal sama.

Tuk...

Kepala Sura berputar mencari asal bunyi di antara percakapan teman-temannya. Bunyi itu berbeda, bunyi lemparan batu. Meskipun Sura menyumpal earphone di telinga, itu tidak mengganggu pendengaran. Karna Sura tidak memutar lagu, hanya sekedar memakai saja.

Suara terbahak-bahak dari arah belakang menarik atensi Sura. Ia melambatkan langkahnya, berusaha menyikapi tingkah orang-orang itu.

Sura menetapkan batas toleransi.

Tuk...

Beberapa anak perempuan yang berjalan bergerombol menoleh ke tempat sama di mana Sura menaruh perhatian. Sebagian mengaduh tertahan, sebagian tertawa, dan sebagian melarang.

"WOI!"

Tak terduga walau Wasta berjalan di depan tapi ia menyentak tiga sekawan yang selalu kompak melakukan apapun. Baik Kurnia, Ares, dan Gunan bukannya berhenti, tapi semakin menjadi.

Mereka bersama-sama mengambil batu kecil dari pinggir jalan lalu melempar lagi seorang laki-laki yang sudah berumur, berpakaian kumuh, dan berbicara sendiri. Seorang bapak yang mengidap gangguan jiwa.

Tuk! Tuk! Tuk!

Habis.

Batas toleransi Sura habis.

Sebelum Sura bergerak Wasta dengan mata elangnya berjalan mendekati tiga sekawan yang malah asik menjadi pusat perhatian teman-teman sekelas.

Lekas-lekas Sura menarik ujung lengan seragam Wasta. Dia tidak gentar ketika mata nyalang Wasta justru jatuh padanya. "Nggak usah. Gue aja."

Wasta tersenyum sinis, "Silahkan, entah pertunjukan apa lagi yang mau lo buat." Sura tidak tertantang untuk menanggapi kalimat sarkas itu, dia justru meraih tangan Wasta yang masih terkepal.

Tindakan tak terduganya membuat Wasta terkejut, dan itu menguntungkan Sura, jadi ia mudah saja membuka kepalan tangan Wasta.

Emosi meledak-ledak Sura tidak ia gamblangkan dengan teriakan keras, atau ucapan kasar. Tapi mata Sura memerah, ia marah, juga frustasi. Tangan Sura menunjuk tegas bapak yang akhirnya terduduk karna batu yang dilempar itu mengenai kakinya.

"Entah gue harus sedih atau senang begitu tahu kalau apa yang lo bertiga buat bakal lo tuai. Jangan salahkan siapa-siapa kalau suatu saat nanti lo yang dilempari batu. Camkan!" Aura yang tepat menggambarkan bagaimana ekspresi Sura saat ini adalah menyeramkan. Bahkan Wasta tanpa sadar mengambil satu langkah mundur.

Berbanding dengan dua teman kompakan yang lain, Ares malah terbahak, tertawaan yang dibuat-buat, menyakitkan telinga. "Who cares?" balasnya berani. Bibir Sura menipis, kepala dan punggungnya semakin menegak.

"Selamat. Karna punishment bakal dijatuhkan ke elo."

"Lo santai aja ketua kelas! Kita cuma becanda, kalau tadi emang serius, kepala bapak itu yang kita lemparin batu."

Beruntung cuaca berangin mampu meredakan sedikit keinginan Sura berteriak lantang, "Alasan lo nggak masuk di akal Ares Bartajaya! Lo sama bapak itu sama berharganya di mata Tuhan! Jangan sekali-kali lo anggap manusia stress itu bahan bercandaan lo. Lo pikir bapak itu pernah nyangka kalau suatu saat nanti dia bakal jadi orang gila jalan-jalan sambil ngomong sendiri! Pernah?! Hal kayak gitu nggak pernah terlintas di benaknya!

"Orang gila nggak harus lo perlakukan gila, lo perlakukan brutal! Lo bisa simpati sama orang lumpuh, orang buta, orang bisu, tapi kenapa lo perlakukan penderita gangguan jiwa beda? Lo jadikan dia bahan tertawaan lo!

"Gimana perasaan Tuhan ngeliat manusia ciptaanNya diperlakukan gini? Bahkan Tuhan sendiri nggak melakukan hal sama yang kayak lo lakuin, Res! Coba deh lo pikir, atau lo dekatin orang lumpuh karna kecelakaan, atau sejak lahir. Apa pernah mereka mau diciptain kayak begitu? Atau pernah dalam pikirannya terbersit menghabiskan masa hidup dengan kaki cacat? Pernah? Itu sama aja kayak orang stres Res! Mereka nggak kuat nerima kenyataan, dan bisa aja lo kayak bapak itu suatu saat nanti. Siap lo?"

Wasta sudah ingin menarik Sura menjauh dari Ares dan teman-temannya. Tapi Sura menghindar sebelum laki-laki itu melaksanakan niatnya. "Gue kasih lo kemungkinan terburuk yang bisa aja terjadi. Orangtua lo Res. Orangtua yang lo banggain suatu saat nanti sama kayak bapak di sana."

"Diam lo, diam! Tutup mulut lo Sura. Lo nggak ada hak!"

Wasta menangkap lagi pergelangan tangan Sura, sebelum Ares kelepasan dan menyerang gadis itu. Sura tidak mengelak kali ini, tapi dia bertahan di tempat ketika Wasta mencoba menariknya.

Sura tertawa masam, "Dan sama. Jangan pernah berpikir lo punya hak untuk nyakitin bapak itu. Dan bukan hanya beliau, tapi orang stres manapun."

Memantapkan hati Sura mengambil batu kecil di dekat kakinya, lalu melempar ke arah kaki Ares. "Itu yang lo bilang nggak sakit, Res? Meskipun bukan fisik lo yang sakit karna lemparan gue, tapi harga diri lo sakit 'kan gue lempar kayak gini? Sama Res, lo menyakiti harga diri bapak itu, bahkan di saat dia nggak mengganggu lo. Dia cuman jalan sambil ngomong sendiri, please, lo nggak terganggu sama itu Res," jelas Sura frustasi.

"Gue nggak tahu pelajaran hidup apa yang udah lo tarik selama tujuh belas tahun lo bernapas."

Dengan itu Sura berbalik, bahu yang ia tegapkan kini melemah, tanpa ia sadari Wasta masih menggenggam pergelangannya selama lima detik setelah ia berbalik.

Anak-anak perempuan yang tadinya berjalan membentuk beberapa kelompok, kini sama-sama berjalan ke arah bapak yang masih memegangi kakinya. Sura menarik napas, mengeluarkan perasaan sesak perlahan. Ia terenyuh ketika teman-teman yang lain menunjukkan kepedulian pada sosok itu.

Sayup-sayup ia mendengar percakapan tiga sekawan. "Gue nggak lagi-lagi ngelakuin ini Res. Gue kagak mau sodara, bokap mokab atau bahkan gue sendiri malah jadi orang gila."

"Udah dosa gue Gun. Gimana dong? Gue juga kagak mau ya nuai perbuatan nggak enak gini suatu saat nanti. Gara-gara ajakan lo nih Res!"

"Nyalahin lagi lo pada! Udah dari tadi perut gue melilit gara-gara dingomongin pedes, malah mau lo tambahin lagi Kur!"

"Ya jadi gimana, Res? Yok lah minta maaf ke bapaknya. Biarpun gue takut malah diserang balik nanti."

Sura memejamkan mata sebentar. Perlahan dia angkat kaki, sudah cukup baginya mendengar hal itu.

"Tenang aja lo. Kita kan bertiga. Kita minta maafnya pas anak-anak udah pigi aja. Gengsi gue."

12 Maret 2018

Selama orang gila diperlakukan gila, dia nggak akan pernah sembuh. Orang stres bukan hanya butuh obat penenang, tapi kasih sayang. Jangan pandang mereka sampah, Sura. Mereka itu masih milik Tuhan.

Banyak pelajaran hidup hari ini. Mengerti dan tetap sadari, supaya tujuh belas tahun lo hidup di dunia ini nggak berakhir percuma.

Note: Ares pasti berubah. Anak itu cuman butuh banyak belajar.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top