Dua puluh dua

Meriah. Satu kata itu menggambarkan suasana yang sedang terjadi. Bahkan Sura ikut merekahkan senyum. Ulasan di bibirnya mengguratkan kebahagian serta kesedihan.

Bahagia telah selesai menempuh Ujian Nasional, dan sedih kala tiba waktunya untuk berpisah.

Setelah membereskan alat tulis, Sura langsung menggendong ransel. Tak bisa dipungkiri, Sura terkekeh geli. Candaan yang saling dilempar teman-teman ternyata ampuh menggelitik perut.

Setelahnya Sura berpura-pura sibuk bermain ponsel, padahal yang tengah ia lakukan adalah mengabadikan ekspresi demi ekspresi teman sekelasnya ke dalam foto.

"Ketua kelas!"

Astaga!

Jantung Sura berdetak lebih cepat, matanya membulat panik. Ya ampun, Sura takut ketahuan! Dilesakkannya ponsel itu ke dalam saku rok secara kasar, lalu tanpa sadar menelan saliva paksa.

Tubuhnya sedikit bergetar ketika berucap, "Iya? A-ada apa Dhini?"

Hidung Dhini kembang-kempis, gadis itu tadi berlari ketika menyambangi Sura yang berada di sudut ruangan. "Gue ... gue mau bilang makasih," katanya cepat sambil memilin jemari, gugup.

"Makasih untuk?"

Ekspresi polos dan bingung milik Sura mengundang senyum lebar Dhini. Gadis itu kini lebih rileks begitu mendengar seutas kalimat Sura.

Kegembiraan Dhini yang meluap-luap membuat dia tak lagi sungkan untuk memeluk Sura. "Makasih banyakkk!" serunya ceria dengan mata menyipit efek tersenyum lebar.

Sura balas mendekap Dhini dengan suka hati. Tapi, entah ini hanya perasaan Sura atau memang benar terjadi, kalau atmosfir di sekitarnya agak berubah.

Begitu Dhini melepas pelukan, Sura masih berekspresi seperti orang linglung, dia tidak benar-benar mengerti apa yang sedang terjadi.

"Trimakasih udah masukin gue ke ruang konseling, Sura. Jujur, gue benci lo waktu itu, gue merasa lo depak ke ruang konseling hanya karna hal yang menurut gue sepele. Tapi sekarang gue sadar, lo ngasih yang terbaik ke gue."

Sura tidak tahu harus merespon seperti apa, dan tidak juga tahu harus berekspresi bagaimana. Dia terdiam dengan bola mata yang bergetar.

Dhini masih ingin berucap lagi sebenarnya, tapi seseorang menyerobot pembicaraan. "Sekarang giliran gue dulu ya Dhin, sorry," Pama berucap tidak enak diakhir kata, sebab dia tidak sengaja menyenggol Dhini agak kuat, habis Pama takut tidak kebagian giliran.

Tarikan napas panjang Sura ambil, dia pikir Pama hendak bikin ricuh dengan Dhini.Untunglah dugaannya salah.

"Ketua kelas, gue minta maaf, juga bertrimakasih. Rupanya di ruang konseling itu enak ya!"

Cengiran Pama menular pada Sura, "Enak gimana?"

"Yaa enak, jadinya uang jajan gue enggak terkuras di kantin," jawabnya sambil tertawa. "Halah, suka yang gratisan," timbrung Ares pura-pura sinis.

"Kayak lo enggak! Ngaca dong! Yang paling banyak ngembat makanan siape kalau bukan elo," dumel Pama.

Mereka semua tertawa. "Tahu gitu gue udah dari lama masuk ruang konseling!" sahut Gerald penuh cengiran. "Lo kurang gercep sih masukin gue ke sana," tambah Gerald lagi mengundang sindiran dari Ares, "Dengerin tuh, kata-kata dari siswa yang galak minta ampun waktu dimasukin ke ruang konseling."

Mau tidak mau Gita jadi ikut tersinggung dikarenakan kalimat barusan. "Sura maaf ya, gue juga nilai lo buruk banget waktu itu," ujar Gita tidak enak, nadanya penuh penyesalan.

"Enggak apa-apa Gita. Emosi lo lagi terguncang waktu itu," balas Sura menenangkan.

Birham tidak tahan untuk tidak nimbrung, "Kalau gue jadi elo ya Sura, gue udah minta dipindahin ke kelas lain," sungut Birham, padahal dia tidak pernah menjalani apa yang dilalui Sura. Tapi kurang lebih Birham bisa membayangkannya, dan sungguh, Birham jadi kesal ketika membayangkannya.

Sura dihindari, mereka pikir Sura bagaikan api yang membakar ketika disentuh. Dan mereka semua ketakutan. Tapi itu hanyalah pemikiran dangkal. Dan sekarang semua sudah terbukti, apa yang dilakukan Sura terbukti tujuannya.

Tapi itu tetap saja mengesalkan hati Birham, sebab begini loh, Udah tiga tahun terlewati tapi kita semua sadar sama kebaikan lo di saat-saat terkahir? Astaga, kemana aja otak gue waktu itu?

Namun Birham tidak tahu, kalau bagi Sura semua itu tak masalah. Yang terpenting adalah, harga yang telah dibayarnya selama ini tidak sia-sia. Lagi pula, dengan adanya semua ini Sura terbentuk menjadi pribadi yang kokoh.

"Lo juga bisa bertahan kayak yang gue lakuin selama ini kok Birham," kata Sura sepenuh hati. Sura bukan ingin membesarkan hati Birham, tapi Sura mengucapkan sebuah kenyataan. Kalau semua orang punya potensi itu kalau ia bertekad melakukannya.

"Tamplakan lo waktu itu nyakiti hati tahu gak? Tapi lambat laun gue sadar, kalau gue terlalu egois, gue enggak mau tahu, dan cuma bertumpu di satu sisi tanpa mau mandang yang lain. Setelah teguran lo waktu itu gue masih enggak banyak berubah Sura, tapi saat gue bener-bener merhatiin gimana bertanggungjawabnya elo ke kita semua, gue jadi malu, dan bulatin tekad buat keluar dari zona nyaman gue."

Sura terharu sekali. Dia sama sekali tidak menyangka kalau teman-teman sudah merencanakan ini untuknya. Satu per satu dari mereka secara bergilir melakukan confess pada Sura.

Oh, sungguh! Bahkan sebersit pun Sura tidak pernah membayangkan hal manis ini diterimanya.

Setelah lewat giliran Yane kini Liontin buka suara. "Lo itu lebih dari ketua kelas Sura. Lo seperti saudara sulung di kelas ini buat kita semua. Cara lo bertindak memang bikin hati kejut-kejutan, tapi itulah Sura. Sura yang kami kenal."

Air mata Sura meluruh. Dia sudah tidak bisa lagi menahan perasaan membuncah di hati, maka dari itu Sura tidak lagi perduli kalau dia diejek nangis saat ini di depan teman-temannya.

Tapi nyatanya tidak, tidak ada yang mengejek. Justru Rego datang menghampirinya dengan senyum lembut yang menenangkan, Rego kemudian memberikannya sebungkus tissue.

"Gue jahat banget ya ke elo. Di saat lo mau nolongin gue, gue malah berontak besar sama lo Sura. Gue tuh udah kayak anjing kejepit, yang pas lagi mau ditolongin eh malah menggigit," kata-kata Liontin terpotong karna Sura tertawa di sela-sela luruhan air mata, yang lain pun lantas nimbrung tertawa.

Kurnia geleng-geleng kepala, "Analogi elo bikin suasana haru jadi lucu. Ada-ada aja dah lo Lion," ujarnya, berdecak.

"Yah inilah gue apa adanya Kur," balas Liontin seraya tersenyum ringan.

Gunan menyikut Alfa yang ada di sebelahnya, sebab ini sudah masuk jatah sang bendahara untuk buka mulut. Yang disikut justru menggaruk kepalanya yang tak gatal, salah tingkah. "Ehm..., gue juga salah seorang yang turut bikin lo tertekan lewat kata-kata gue ketua kelas. Gue sadar kok kalau mulut gue persis kayak mulut pedes emak-emak tukang gosip.Tapi itu dulu, sekarang gue udah bisa memahami maksud lo waktu itu. Lewat ini juga gue bakalan belajar jadi laki-laki yang teliti, gak gampang dibodohi. Jadi maaf ya buat kesalahan gue waktu itu."

Sura menunduk, matanya sudah sembab sekali. Dia bukannya menangis terisak-isak, tapi air mata terus meluruh mulus di pipinya. Kalimat demi kalimat yang terlontar baginya begitu hidup hingga menggugah rasa terdalam Sura.

"Sura, trimakasih. Trimakasih sudah memandang Rego dengan tulus. Trimakasih udah masukin gue ke ruang konseling, berkat bantuan Sura, perlahan gue bisa membaur. Punya tempat untuk berbagi dan bermain. Ini berarti Sura. Sangat berarti buat gue," ungkap Rego jujur dengan nada hangat.

Oh astaga! Rego manis sekali ya ampun! Sura tersenyum lembut menanggapi, tapi tetap saja air matanya menetes satu-satu.

"Kalau gue sih, apa yah," ujar Jericho sambil cengar-cengir, sedang Birham memeletkan lidah tak mau membantu sahabatnya yang sedang kebingungan.

"Yaudah deh gue enggak usah main rahasia-rahasia lagi!"

Begitu ia selesai berucap teman-teman yang lain gempar memberondong Jericho untuk menjelaskan kalimat ambigu itu.

"Sura, thank's. Mungkin kalau lo enggak tegur gue, gue jadi gak bisa memperbaiki kesalahan yang pasti berakibat fatal. Makasih loh udah mau dengerin curcolan gue-"

"Itu memang curhat bukan curcol lagi, Jer!" potong Birham sengit seraya mendesah lelah yang dibuat-buat lebay.

Jericho tertawa lepas, tapi matanya bersinar-sinar, ada kebahagiaan terpancar kuat di sana.

"Udah jadian ya?" tanya Sura spontan, suaranya serak, tapi tidak terdengar jelek, justru lucu.

Ditanyai begitu, Nirwana yang tak jauh dari Jericho langsung memerah, bergerak salah tingkah.

"HAH?! DEMI APA? Kok gue gak tahu?" Birham terkaget, tentu saja! Bisa-bisanya si Jericho! Mentang-mentang udah jadian, jadi dia tidak diperlukan lagi, begitu?

"Wah sama siapaa?"

"Lo jadian Jer?"

"Kuy lah makan-makan kita kalau gitu."

Dan banyak lagi pertanyaan yang dilayangkan pada Jericho yang masih saja setia tersenyum lebar.

"Udah dulu deh, dipending dulu keponya. Giliran gue nih!" sungut Galuh.

"Yaudah gih tinggal ngomong aja kok," tanggap Puspita.

"Analogi ayam, anak ayam, sama telur ayam bakalan selalu gue inget Sura. Makasih karna enggak mandang gue sinis waktu itu, biarpun gue udah ngelakuin hal jahat sama Pama, Sinta. Tapi lo masih mau ngasih gue pelukan. Gue gak bakalan jadiin ortu gue sebagai alasan lagi. Biarpun sebenernya begitu, tapi enggak! Gue enggak mau bertumpu di titik yang sama. Makasih, ruang konseling cocok banget sama gue."

"Res! Giliran lo nih, jangan ngelak lo!" seru Dean sambil menarik kerah baju Ares, laki-laki itu hendak ngacir tadinya.

"Iya, iya, santai kayak di pantai dong, guys." Ares menarik napas panjang, lalu terjadilah, raut bermain-main hilang di wajah Ares, laki-laki itu menatap Sura serius.

"Gue malu buat ngakuin ini Sura. Sebelum gue ditampar sama kata-kata lo, attitude gue nihil. Iya lo bener, nyaris tujuh belas tahun gue terbuang sia-sia, karna dulu gue bebas ngelakuin apapun sekehendak gue. Fix gue malu sekarang." Ares menudungi kepalanya dengan topi sekolah yang kebetulan dari tadi ada di tangannya, dipakainya topi itu agar raut wajahnya jadi samar-samar dilihat Sura, pikirnya.

Tapi sungguh, itu tidak memengaruhi apapun, sebab Ares mengadu pandang pada Sura. Jadi wajah laki-laki itu tetap nampak jelas.

"Gue sempat ketakutan dibayangi kalimat lo itu. Kalau apa yang gue buat bakalan gue tabur, dan beginilah gue, sedang membenahi diri. Alasan gue waktu itu ngikut elo nyari Gita sama Gerald bukan karna di suruh pak Jaya, tapi itu kemauan gue sendiri. Gue mau melihat sekali lagi gimana lo membuat tujuh belas tahun lo berarti, berguna. Dan hasilnya bikin gue terkejut. Lo tahu enggak kenapa?"

Sura kontan menggeleng.

"Gue gak nyangka aja gitu. Emosi gue jadi kesulut liat reaksi itu anak bedua yang udah kita cari susah payah. Tapi di saat itulah gue sadar, gue pun ngelakuin hal yang sama parah juga ke elo. Sekarang kalau diinget, gue kekanakan banget ya? Gue belagu amat jadi orang, kagak ada keren-kerennya.

"Dan pas gue lihat lo lagi, gimana dewasanya elo menanggapi semua ini dan gue kayak WOW, keren banget nih orang. Gue tertampar sekali lagi, kalau arti cool yang selama ini gue pahami dan lakuin itu salah total. Berbanding jauh sama kerennya elo. Jadi ketua kelas, gue beruntung banget lo lempar kaki gue pakai batu dulu, jadi gue bisa ngerasa hal yang dirasain Bapak yang gue lemparin batu kakinya."

Begitu selesai Ares berbicara Panji langsung berseru, "Udah semua kan ini guys, yuk ah selebrasi corat-coretnya! Eh tapi, kalau yang gak bisa ikutan buat corat-coret gak apa loh ya, enggak dipaksa ini."

Teman-teman mulai bubar satu per satu menuju lapangan untuk selebrasi corat-coret, namun Tami yang sudah hampir melewati pintu kelas kini menyambangi Sura.

"Kenapa Tami?" Sura mengerut heran.

"Itu, Wasta tadi belum ikutan confess. Tuh anak baru balik dari ruang guru karna bantuin pengawas ujian tadi," Tami berucap jelas, jadi Wasta yang baru memasuki kelas bisa mendengarnya, lagi pula Tami terang-terangan menunjuk orang yang ia maksud.

Sura makin mengerutkan keningnya, sebab Tami ini bukan orang yang suka ikut campur. "Oh iya, gue udah temenan sama Rego, jadi jangan tanya kenapa gue enggak kayak biasa. Udah ya, gue keluar duluan."

Tami melambaikan tangan pada Sura dan pada Wasta, tak lupa gadis itu dengan tegas mengingatkan agar Wasta juga melakukan hal yang seperti mereka semua lakukan.

Duh, sebenarnya Wasta tidak ikutan confess juga tidak apa. Sebab entah gimana, tiba-tiba saja perasaan Sura tidak karuan. Lagi pula tinggal mereka berdua di dalam kelas ini.

Wasta benar-benar berjalan mendekati Sura yang mendadak merasakan tubuhnya beku. "Gue yang terakhir, ya?"

Sura mengangguk, tidak merespon lebih dari itu.

"Lo bantu gue luput dari jebakan itu, terima kasih Sura. Walaupun awalnya gue benar-benar terganggu dengan keterlibatan lo. Tapi sekarang ... gue benar-benar terjebak. Bisa lo tolongin gue sekali lagi?" suara laki-laki itu terdengar depresi dan tersesat bersamaan.

Sura panik! Lebih panik dari biasanya. "Kenapa bisa? Lo diapain? Wasta, ini serius 'kan? Astaga!!"

"Hei," ujar Wasta sambil menepuk bahu Sura sekali untuk menyadarkan gadis itu dari kepanikan.

"Sekarang kasih tahu lo kejebak gimana, biar gue bisa mikir gimana jalan keluarnya!"

"..."

"Wasta? Lo denger gue 'kan?"

"Iya."

"Terus apa lagi yang lo tunggu? Jelasin kronologisnya," pinta Sura dengan gurat kekhawatiran nyata.

Wasta tersenyum, tidak ada sebelah sudut yang terangkat seperti biasa, justru berganti dengan kedua sudut melengkung ke atas.

"Gue mau ngasih ini dulu sebelum jelasin kronologisnya," kata Wasta sembari menyerahkan sebuah potongan kertas HVS yang bagian depannya tergurat tinta.

Sejurus kemudian mata Sura menyipit, itu punyanya! Tapi kenapa bisa ada di Wasta?

Di rumah Sura punya kotak khusus potongan HVS. Jadi kertas-kertas itu tidak pernah dia buang, melainkan dikumpulkan, maka Sura menyadari kalau ada kertasnya yang menghilang, dan dia cari HVS itu terus-terusan.

"Dibaca, mana tahu itu bukan punya elo."

"Punya gue kok," balas Sura percaya diri.

Wasta mendesah khawatir, "Tapi dibaca lagi enggak salah 'kan?" Sura mengangguk ringan, dia mengusap permukaan kertas sebelum mulai membacanya.

15 Maret 2018

Lagu yang diputer sama Ferdian tadi asik. Gue kayaknya pernah denger lagu itu sebelumnya. Lagu The Neighbourhood, mungkin? Tapi nanti gue searching aja deh buat pastiin.

________________________

Kenapa terkadang orang harus melakukan apa yang tidak disukainya? Kenapa?

Sura needs the answer :(

Mata Sura menyipit, dia memandangi Wasta dengan sorot terkejut, kemudian menjatuhkan atensi pada kertas HVS itu lagi, berulangkali begitu hingga Wasta mulai jengah.

"Sura, mata lo enggak capek apa?"

Sura menggeleng kuat, badannya kaku lagi, sudah makin kaku saja hingga berucap pun rasanya sulit.

Wasta tertawa renyah.

Sura menatap Wasta shock. Kalau Wasta sering begini 'kan tampangnya makin berlipat keren, pikir Sura.

Hah? Astaga! Sura menepuk keningnya tanpa sadar seraya merutuk dalam hati.

Tapi kemudian, refleks ia memandangi lagi tulisan tegak bersambung Wasta di bagian paling bawah kertas, dan mengelusnya.

12 April 2018

Kalau gue jatuh hati sama lo, gue bakal dimasukin ke ruang konseling lagi?

"Wasta needs the answer," ujar Wasta mengikuti kalimat yang dilontarkan Sura dalam tulisannya pada tanggal lima belas tersebut.

Sura mengulum bibirnya, yang berefek pada rasa menggelitik di perut Wasta. "Sura," panggil Wasta.

"..."

"Bukan ruang konseling?"

Perlahan Sura menggeleng. Gelengan yang membuat perut Wasta semakin teraduk-aduk tak karuan.

"Di ruang hati lo? Selamanya?" desak Wasta frustasi.

Sorot mata Sura penuh misteri, namun permukaan wajahnya menghangat. Sura membuka mulut secara slow motion, "Se-la-ma-nya," jawab Sura tanpa suara.

Cukup! Itu cukup membuat Wasta melonjak excited dengan penuh kebanggan dan kesukaan hati. Mata laki-laki itu berbinar sekali, senyumnya merekah, makin merekah kala Sura tertawa lepas.

Orang-orang yang tadi ngakunya mau mengadakan selebrasi corat-coret di lapangan, nyatanya bersembunyi di balik jendela buat nguping sekalian ngintip. Dan lihatlah, kini mereka ternganga, kemudian histeris.

Siapa sih yang tidak terguncang melihat Confess cinta ala Wasta ini?

-The End-
20 Apr 2018

A/n:Yeayyyy!! Akhirnya dngan dipost'kan chapter ini, maka cerita Sura sudah selesai.
Terimakasih buat kalian semua yng sudah brsedia membaca. Oh iyaa guys, gini nih, aku tuh udah prepare project baru lagi. Short story juga kok, jadi nggak berat" amat,HEHE. Jangan lupa mampir ke cerita" aku yang lain yaa. Dan jngan juga sungkan untuk berkomentar teman-temans:))
Daah!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top