Lembar 09
Senin siang, Choi bersaudara kembali menginjakkan kaki mereka di Hankuk University. Namun begitu sampai, si bungsu Choi itu segera meninggalkan si sulung dengan hanya meninggalkan ranselnya.
Berjalan melewati kumpulan para Mahasiswa baru, pandangan Hansung menemukan seseorang yang menjadi tujuannya siang itu. Mempercepat langkahnya. Tangannya kirinya kemudian mampu menahan pergerakan Sejeong ketika gadis itu hendak memasuki kelas.
Sejeong terkejut, namun lebih terkejut lagi ketika yang menahan lengannya adalah Hansung.
"Senior?" Tampak canggung, Sejeong mencoba melepaskan lengannya dari cengkraman Hansung.
"Kita bicara sebentar."
Taehyung lantas menarik lengan Sejeong. Membawa gadis itu melewati orang-orang yang menatap mereka dengan tatapan yang berbeda-beda.
Memisahkan diri dari keramaian. Taehyung memojokkan Sejeong di dinding ketika mereka sudah menjangkau bagian belakang Kampus. Cengkraman itu terlepas dan Sejeong refleks mengusap lengannya dengan tatapan waswas.
"Apa yang ingin Senior katakan?"
"Pria yang waktu itu, kakakmu, kan?"
Sejeong tampak canggung. Merasa kurang baik untuk menatap lawan bicaranya hingga ia sampai lupa untuk menjawab pertanyaan yang baru saja di lontarkan oleh pemuda di hadapannya itu.
"Cepat jawab."
"Senior sudah tahu jawabannya," jawab Sejeong terkesan terpaksa.
"Tidak perlu takut, aku datang kesini bukan untuk menuntut ganti rugi padamu ... ada sesuatu yang ingin kutanyakan tentang kakakmu itu."
Sejeong memberanikan diri untuk menatap sang lawan bicara. "Apa ... yang ingin Senior tanyakan?"
Hansung sejenak memandang sekeliling dan hal itu membuat Sejeong semakin waswas, berpikir bahwa mungkin saja Hansung akan melakukan sesuatu yang buruk padanya setelah Namjoon mematahkan tangan pemuda itu sebelumnya.
Hansung kembali menjatuhkan pandangannya pada Sejeong dan menyandarkan tangan kirinya pada dinding tepat di samping kepala Sejeong. Siapapun yang melihat hal itu tentunya akan berpikir bahwa Hansung tengah ingin melakukan tindakan yang negatif kepada Mahasiswi baru itu. Namun pada kenyataannya pemuda itu hanya ingin bertanya, meski caranya terbilang cukup ekstrim.
"Kakakmu —"
"Tunggu sebentar," sergah Sejeong. Gadis itu lantas mencoba mendorong Hansung menjauh, namun sepertinya Sejeong terlalu kuat saat mendorong hingga Hansung sempat mundur dua langkah sebelum terjatuh ke belakang setelah kakinya tak sengaja tersandung.
"Argh!!!"
"Omo! Senior, maaf ..."
Sejeong panik dan segera menghampiri Hansung yang meringkuk sembari memegangi lengan kanannya. Gadis itu lantas menjatuhkan lututnya di balik punggung Hansung.
"Tubuhnya kecil, tapi kenapa tenaganya kuat sekali ... apa dia bukan manusia?" rutuk Hansung dalam hati. Dan jika seperti ini, kapan cederanya bisa sembuh?
"Senior, kau baik-baik saja?" tanya Sejeong dengan hati-hati setelah keduanya duduk di atas rumput hijau dan di bawah pohon yang cukup rindang.
"Kau sengaja melakukannya?"
Sejeong menggeleng dengan cepat. "Tidak ... aku tidak tahu jika akan seperti ini jadinya. Apa tangan Senior baik-baik saja?"
"Apanya yang baik-baik saja? Jika aku baik-baik saja, mana mungkin aku berteriak."
Sejeong sedikit kaget ketika suara Hansung tiba-tiba meninggi. Namun sungguh, ia tidak ada niatan sama sekali untuk mencelakai seniornya itu.
"Sudah, lupakan saja."
"Kalau begitu, aku sudah boleh pergi?"
Sejeong hendak beranjak dari tempatnya, namun Hansung kembali menahan tangannya.
Dengan malas Hansung berucap, "duduk! Siapa yang mengizinkanmu pergi?"
"Sebentar lagi kelasku akan di mulai."
"Siapa yang peduli? Bahkan kelasku sudah mulai sepuluh menit yang lalu. Cepat duduk!"
Sejeong menggaruk kepalanya dan kembali duduk. Mengusap pergelangan tangannya setelah Hansung melepaskannya.
"Sebenarnya apa yang ingin Senior tanyakan?"
Hansung memandang Sejeong dengan tatapan sinisnya, menunjukkan bahwa ia masih merasa kesal. Namun sekali lagi pemuda itu menunjukkan gelagat mencurigakan. Memandang ke sekeliling seperti sebelumnya dan kembali memandang Sejeong.
"Jika Senior tidak ingin bicara, aku akan pergi sekarang."
"Tato di punggung kakakmu itu, di mana dia membuatnya?"
Sejeong kaget. "Kenapa Senior menanyakan hal itu?"
"Aku ingin membuatnya, katakan di mana dia membuatnya."
"Aku tidak tahu."
"Dia kakakmu, mana mungkin kau tidak tahu."
"Aku benar-benar tidak tahu ..."
"Kalau begitu kau tanyakan dulu padanya."
"Dia memilikinya sejak kecil."
"Kau bilang tidak tahu?" Suara Hansung semakin meninggi, namun segera kembali normal setelahnya. "Katakan di mana dia membuatnya."
"Dia sudah memilikinya sejak kecil, mana aku tahu di mana dia membuatnya."
"Kalau begitu tanyakan pada kakakmu."
"Kenapa Senior ingin tahu?"
"Sudah kubilang aku ingin membuatnya ... sudahlah, hanya tinggal bertanya apa susahnya?"
"Senior bisa pergi ke seniman tato jika ingin membuatnya."
"Aku ingin yang seperti milik orang itu. Tanyakan atau aku tidak akan membiarkan hidupmu tenang selama kau berada di sini."
Sejeong mendengus sebal. "Baiklah, aku akan menanyakannya. Aku pergi sekarang." Gadis itu beranjak berdiri.
"Aku tunggu nanti malam."
Sejeong memalingkan wajahnya dan segera pergi. Tak ingin lagi peduli pada Hansung yang sudah membuatnya terlambat pergi ke kelas dan kemungkinan besar ia akan di usir dari kelasnya setelah ini.
Selesai kelas pertama, Seungcheol segera meninggalkan kelas untuk mencari keberadaan Hansung. Sedikit kesal ketika panggilannya beberapa kali sempat di abaikan oleh sang adik, hingga pandangannya menangkap sosok Hansung yang berjalan menyusuri halaman luas Kampus.
"Anak ini!" geram Seungcheol yang hanya berupa gumaman. Dia segera berlari menyusul si bungsu.
"Ya! Mau kemana lagi kau?"
Langkah Hansung segera terhenti ketika ia mendengar suara yang sangat familiar menyapanya. Dia berbalik dan menggaruk sudut matanya dengan raut wajah yang tak menunjukkan rasa bersalah sama sekali meski ia menyadari kekesalan di wajah sang kakak.
"Kenapa tidak masuk kelas? Kau ingin kuadukan pada ibu?"
"Bocah," cibir Hansung, tak menyadari bahwa ia juga sering mengancam Seungcheol dengan kata-kata itu.
"Dari mana kau?"
"Tidak dari mana-mana."
"Kalau begitu kenapa tidak masuk kelas?"
Hansung tiba-tiba memegangi perutnya dengan wajah yang mengernyit kesakitan.
"Apa ini?"
"Sebenarnya aku ingin pergi ke kelas. Tapi saat hampir sampai di pintu, perutku tiba-tiba sakit."
Seungcheol menatap jengah. "Kau pikir aku bocah? Bahkan seorang bocah pun tidak akan percaya padamu."
Hansung tersenyum lebar. "Hanya bolos sekali tidak akan berpengaruh pada nilaiku ... tidak usah berlebihan."
"Kau dari mana?"
"Eih ... setelah ini aku tidak akan bolos lagi."
Suara Seungcheol meninggi, "aku bertanya! Kau dari mana?"
Hansung menghela napasnya sebelum menjawab tanpa minat, "aku ada urusan."
"Urusan apa dan dengan siapa?"
"Aku bukan anak kecil dan kau bukan ibuku."
Suara Seungcheol kembali meninggi, "aku bilang ada urusan apa dan dengan siapa. Jawab saja!"
Hansung menggaruk keningnya, terlihat frustasi akibat tuntutan dari saudaranya.
"Katakan sekarang, atau kuadukan pada ibu sekarang juga."
"Choi Hansung-ssi," sebuah teguran yang kemudian mengalihkan perhatian Choi bersaudara dan menyelamatkan Hansung.
Dahi kedua pemuda itu mengernyit ketika mendapati pemuda asing datang mendekat dengan pembawaan yang tidak tahu diri.
"Siapa kau?" tegur Hansung.
"Perkenalkan, namaku Kim Byeongkwan. Tangan kanan dari Bos Rising Moon."
Choi bersaudara saling bertukar pandang dan kembali menatap pemuda bernama Kim Byeongkwan itu dengan tatapan tak percaya.
Hansung kemudian tersenyum remeh. "Tangan kanan? Katakan saja jika kau ini pesuruhnya?"
"Ya! Jaga ucapanmu."
Seungcheol menyahut, "berapa usiamu?"
"Itu tidak ada urusannya denganmu," acuh Byeongkwan.
"Katakan saja apa susahnya?"
"25," ucap Byeongkwan acuh.
"Berikan tanda pengenalmu."
"Untuk apa?"
"Berikan sekarang atau kau akan merasakan bagaimana rasanya mencium ubin di bawah kakimu."
Suara Byeongkwan lantas meninggi, "duapuluh, duapuluh ... untuk apa kalian menanyakan usiaku?"
"Bocah tengik!" gumam Hansung dan langsung menendang salah satu kaki Byeongkwan. Membuat pemuda itu memekik dan mengusap kakinya.
"Kenapa kau menendangku?"
"Bicara yang sopan dengan orang yang lebih tua darimu."
"Aish ... menyesal aku menjadi fansmu."
Seungcheol kembali menyahut, "ada perlu apa kau kemari?"
"Aku ada perlu dengan Hansung."
Hansung tiba-tiba memukul kepala Byeongkwan sembari berucap penuh penekanan, "bersikap sopanlah."
"Aigoo! Baiklah ... Kakak ke dua, aku ada keperluan denganmu," ucap Byeongkwan dengan kesal.
"Kenapa kau memanggilku 'kakak ke dua'?"
"Karena dia adalah kakak pertama," ucap Byeongkwan kembali sembari menunjuk ke arah Seungcheol.
"Begini dari awal pasti akan lebih baik," ucap Seungcheol.
Hansung menyahut, "ada perlu apa?"
Byeongkwan mengeluarkan sebuah amplop panjang dan tebal dari saku jaketnya lalu menyerahkannya pada Hansung.
"Apa ini?" Hansung menerimanya dan memberikannya pada Seungcheol.
"Uang kompensasi atas insiden minggu kemarin."
"Siapa yang memberikannya?"
"Bos Kim yang menyuruhku untuk memberikannya pada Kakak ke dua."
"Aish ... sudah, kembalikan saja."
"Tidak, tidak ... jika kalian menolak, Bos bisa membunuhku."
"Itu salahmu! Kau masih kecil tapi kenapa sudah bekerja di tempat seperti itu? Di mana orangtuamu?" Hansung justru memaki.
"Orangtuaku ada di rumah. Jika Kakak ke dua ingin bertemu, datang saja ke sana."
Hansung tersenyum tak percaya. "Bolehkah aku memukul kepalanya sekali lagi?"
Seungcheol berucap, "anggap saja ini sebagai ganti rugi."
"Benar apa kata Kakak pertama. Tapi ... kapan kira-kira Kakak ke dua akan kembali?"
"Bosmu yang menyuruhmu untuk bertanya?" tanya Seungcheol yang kemudian di angguki oleh Byeongkwan.
"Paling lambat satu bulan."
"Apa?" Byeongkwan memekik.
"Jangan muncul di hadapanku lagi atau aku akan memukul kepalamu," ucap Hansung yang kemudian pergi.
"Satu bulan terlalu lama. Bagaimana jika ada petarung yang menggantikan posisimu?"
"Jangan mengganggu adikku atau kupatahkan kakimu," gumam Seungcheol. Menggunakan amplop di tangannya untuk menepuk dada Byeongkwan sebelum menyusul sang adik dengan seulas senyum miring yang sempat ia berikan pada pemuda yang tampak seperti orang bodoh itu.
"Satu bulan terlalu lama. Hyeong ... pikirkanlah baik-baik," pekik Byeongkwan yang nyatanya terabaikan begitu saja ketika Choi bersaudara itu bahkan tak peduli padanya.
Selesai di tulis : 19.05.2020
Di publikasikan : 24.05.2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top