Part 9
2020.10.09 [21.50]
GOODBYE
by Inas Sya
"Tiap langkah yang kamu ambil kini selalu diawasi."
Now playing | Take — Jus2
***
Dibandingkan menjadi hujan yang selalu diibaratkan sebagai pengantar kesedihan dan penggambaran bagi manusia yang hidup dengan sejuta keluhan, Karen merasakan hal yang berbeda. Di kala gerimis datang membasahi bumi dan seisinya, ia selalu mencoba untuk mendapatkan setetes air awan itu. Mencoba untuk memejamkan mata dan berkata bahwa ia ingin menjadi hujan.
Bagi Karen sendiri, hujan bukanlah tajuk untuk mengungkapkan segala sedih dan kenangan hingga akhirnya berlabel pada hidup manusia yang rapuh. Justru kebalikannya, Karen menyukai hujan karena tetes air itu tidak sendirian. Ada berjuta-juta titik yang ditumpahkan dari sang awan, bersamaan jatuh dan meresap ke dalam bumi. Mereka tidak sendirian.
Berbeda halnya dengan Karen. Daripada mengibaratkan dirinya sebagai hujan, Karen lebih merasa bahwa matahari merupakan hal yang cocok untuk menggambarkan dirinya. Satu-satunya benda langit yang terlihat di pagi, siang, dan, sore. Selalu menyendiri, tak seperti bulan bintang yang berdampingan di malam yang sama. Senantiasa digambarkan dengan senyum cerah seolah sinarnya tak pernah membawa kesedihan.
Padahal banyak orang tak selalu memahami kehadirannya. Sama seperti Karen, meski raganya ada, tapi tampak kasat mata. Tak pernah satu hari pun langit kehilangan mataharinya. Justru hal itu yang selalu membuat banyak orang seakan lebih excited saat hujan turun.
Tak sedikit orang yang ingin merasakan derasnya hujan jatuh dari awan hingga mampu menghasilkan aroma tanah yang mendamaikan pikiran.
Tak sedikit orang yang ingin merasakan panasnya matahari tersalurkan melewati pundi-pundi udara hingga mampu membakar kulit.
Bukankah kalimat pertama lebih sering dijumpai?
Maka kini Karen telah memilih. Dibandingkan pengibaratan dirinya dengan hujan yang dikatakan sebagai tajuk kesedihan, ia merasa lebih cocok dengan matahari dengan kesendiriannya.
Begitulah Karen. Tepat saat dirinya sedang merenung memerhatikan mentari pagi menyapa dunia seorang diri, ia tersenyum. Di pelukannya ada Bong-Bong, anjing peliharaan yang katanya menjadi teman sehidup semati Karen. Tapi, itu terdengar berlebihan.
"Hei, Bong-Bong."
Guk!
Karen tertawa kecil. Menyahut panggilannya saja sudah membuat ia senang. Namun perlahan lengkungan bibir yang tak selalu ia tunjukkan luntur saat melihat seorang pria berada di depan rumahnya.
***
Karen menatap datar Aldian. Pria yang mengaku sebagai teman satu sekolahnya itu datang lagi. Bahkan kini tidak sendirian, Aldian membawa satu buket bunga mawar yang wanginya saja mampu membuat hidung Karen gatal. Tubuhnya dibalut kaos hitam polos dengan jaket abu-abu yang menutupinya, menonjolkan penampilan menarik yang selalu membuat banyak gadis klepek-klepek.
Tapi, tidak dengan Karenina Daisy.
"Ngapain lagi lo?" ketus Karen. Ia menatap Aldian tak suka. Bila ditanya hal apa yang Karen benci di dunia ini, ia akan menjawab dua hal. Satu, orang asing. Dua, orang yang sok kenal.
Aldian menarik kedua sudut bibir. "Ini buat lo." Ia menyerahkan buket di tangannya, membuat Karen mengerutkan kening aneh.
Dia tak pernah berada dalam posisi ini, bahkan dalam mimpinya sekalipun. Sikap Aldian padanya sangat aneh, kentara sedang melakukan metode pendekatan untuk bisa menjalin hubungan. Padahal ia baru pernah melihat orang seperti Aldian kemarin. Bila ditinjau ulang, sudah bukan aneh lagi. Aldian seakan menjadi orang gila yang tiba-tiba datang ke rumah seorang gadis—yang tidak mengenalnya—dengan membawa senyum manis yang sayangnya kemarin langsung diusir begitu saja. Tapi kini justru kembali lagi dengan tampilan yang sama—bonus buket bunga mawar—tanpa rasa malu.
Apa yang Aldian mau sebenarnya?
Karen membiarkan tangan Aldian tetap terulur di depannya. "Apa mau lo?"
Lengkungan di bibir Aldian luntur. Pria itu menatap bunga mawar yang masih berada di pelukannya, lalu menarik kembali tangannya. Dia tersenyum dalam diam. Hingga akhirnya suasana berubah hening sampai Karen melihat bibir Aldian berubah datar.
"Gue mohon, untuk kali ini lo jangan sok jual mahal," desisnya tajam.
Pria itu mengeratkan genggamannya pada buket. Ia tahu setiap pergerakannya sedang diawasi. Bahkan mungkin saja orang dengan segala pakaian hitam seakan hendak pergi melayat itu kini tengah menatapnya intens, seolah tak membiarkan ia salah mengambil langkah. Karen memundurkan kakinya, menatap Aldian terkejut. Pasokan udaranya seakan menipis, entah kenapa degup jantung yang ia punya berpacu dalam tempo yang cepat.
"Maksud lo apa?"
Aldian beralih menatap Karen, tersirat dalam bola mata bening itu bahwa ia tidak ingin melakukan semua ini. Dia menyerahkan buket di tangannya, menggenggam jemari Karen. Tatapannya bahkan memelas lalu mengatakan, "Please. Bantu gue, Ren. Gue gak mau mati."
Karen menarik tangannya refleks, membuat buket mawar yang dibawa Aldian terjatuh. "Pergi lo."
Tidak bisa dipungkiri, kini ada rasa takut yang menyelinap masuk hingga nyaris menguasai pasokan rasa di dalam tubuhnya. Suaranya bahkan tercekat seolah tak mampu mengucap banyak kata penyusun kalimat. Terlebih saat dirinya mengingat surat anonim yang ia terima kemarin.
Bertepatan dengan saat itu, sebuah mobil melintas di depan rumah Karen lalu terhenti di sana. Karen melihat Devan dan Genta keluar dari dalamnya. Devan menutup pintu mobil, berbalik menatap Karen dan Aldian lalu melambaikan tangan. Sedangkan Genta menyugar rambut kecokelatan asli miliknya di depan kaca spion mobil Devan, lalu menjentikkan jari dan melakukan kedip mata seolah baru saja melihat orang terganteng sedunia.
Karen ingat mereka akan berkumpul di rumahnya untuk membahas terkait surat yang Karen terima kemarin. Meskipun Rendi sudah melarang ketiganya untuk ikut campur, mereka tak mengindahkan kalimat polisi yang ditugaskan dalam kasus pembunuhan Nizar itu.
"Loh, Aldian?" Devan baru menyadari ada manusia di sana selain Karen. Dia tak terkejut bila melihat seorang playboy seperti Aldian berada di rumah teman perempuannya.
Namun, ini Karen. Gadis yang dikatakan mirip mayat hidup dengan kulit putih pucat yang tak memiliki ekspresi wajah itu telah ditandai sebagai gadis paling dihindari oleh para manusia playboy di SMA Andromeda.
Aldian tersenyum kaku. Sebagai salah satu warga SMA Andromeda, ia mengenal Devan. Devan pasti juga mengenalnya, minimal kenal sebagai kapten basket di sekolah mereka.
"Ngapain di sini?" tanya Devan bingung. Ia menatap bergantian Aldian dan Karen. Sementara bola mata Genta menangkap buket bunga mawar di atas lantai, ia mengangguk mengerti.
"Lagi pdkt, Van. Masa gitu aja gak tahu," sahut Genta. Devan mengikuti telunjuk Genta yang mengarah pada buket.
Dia lalu tersenyum menggoda. "Cie Karen. Belum juga seminggu sebagai murid baru, udah ada yang incar." Aldian menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, ia jadi canggung. Padahal sudah jelas dirinya ditolak untuk pertama kali setelah melihat buket bunga yang dibawanya tergeletak membisu di atas lantai.
Karen hanya diam, seakan tak mengerti bahasa apa yang digunakan Devan. Genta menunduk, mengambil buket bunga itu dan mengamit tangan Karen lalu meletakkannya di sana. "Kasihan bunganya tiduran di lantai, apalagi yang kasih tuh bunga."
Sebagai cowok yang memiliki tingkat kepekaan tinggi—apalagi saat meluncurkan ribuan kalimat maut untuk menggaet banyak gadis, Aldian tahu Genta sedang menyindirnya.
"Sorry, nih, Al. Gue sama Genta mau apelin Karen dulu, ada misi penting. Lo bisa pergi sekarang, gak?" usir Devan halus. Bahkan dia menampilkan senyum terbaiknya.
Bukan apa, Devan memang tak suka dengan Aldian dari awal. Selain karena pria itu seringkali mempermainkan hati para wanita, Aldian juga memiliki popularitas tinggi di sekolah. Devan agak berat hati merelakan banyak siswi yang lebih memilih mengidolakan kapten basket dibandingkan ketua OSIS.
Aldian membalasnya dengan senyum kaku, lalu memundurkan langkah untuk pamit. Selepas ia pergi, baru Devan bisa bernapas lega.
"Enek gue di deket dia," ujarnya seketika.
"Kegantengan lo berkurang, kan?" Genta tertawa melihat ekspresi muram Devan. Dia juga sadar diri saat tadi melihat tampang Aldian. Tingkat percaya diri setelah ngaca di spion mobil Devan menjadi berkurang 99% setelah bertemu dengan seorang playboy berparas tampan seperti Aldian.
Tatapan Devan beralih pada Karen yang sedari tadi hanya diam. Memang selalu seperti itu, Devan jadi terbiasa dengan wajah tanpa ekspresi milik Karen.
"Kita mulai pertemuan kedua ini?" ujarnya sok serius. Genta mengangguk, sedangkan Karen membuka pintunya lebar lalu berlalu begitu saja masuk ke dalam tanpa mengucap sepatah kata pun.
Genta mendekatkan dirinya pada Devan lalu berbisik, "Maklum, dia gak tahu caranya menjadi tuan rumah yang baik."
Devan mengangguk setuju.
***
To be continued....
Buat yang penasaran sama kegantengan Aldian Gandara :v
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top