Part 7

2020.10.07 [00.01]

GOODBYE
by Inas Sya

"Bunga yang indah tak selalu aman untuk dipetik. Mereka bisa melukai bila merasa terancam."

Now playing | Killing Me - iKON

***

"Vano ... sudah tidur?" Hera-ibu Devan-membuka pintu kamar anaknya dengan pelan. Ia baru saja pulang dari kantornya padahal jam di dinding telah menunjukkan pukul 21.57 WIB.

Wanita beranak satu itu tersenyum melihat putranya tertidur pulas dengan lampu kamar yang masih menyala. Ia menekan saklar, membuat ruangan pribadi Devan gelap seketika. Hera melangkah mundur, perlahan menutup pintu kamar anaknya.

Tanpa beliau tahu, Devan masih terjaga. Pria yang baru saja menjadi Ketua OSIS dua bulan lalu itu membuka matanya sedikit, mengintip. Dia menghembuskan napas lega setelah ibunya pergi.

Dilihatnya jam tangan yang ia kenakan lalu berkata, "Papa pasti lembur lagi."

Devan menganggukkan kepala. Dia segera beranjak dari tempat tidurnya dan duduk di kursi belajar. Tangannya terulur membuka laptop miliknya. Devan membiarkan lampu mati, tak mau tiba-tiba ibunya datang karena mengira ia belum tidur.

Ini sudah menjadi kebiasaan untuknya, kedua orang tua yang selalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ayah Devan, Aldine Gautama, adalah seorang pengusaha yang selalu menghabiskan waktunya di kantor. Kadang pulang saat tengah malam dan langsung berangkat di pagi buta. Sedangkan Hera, ibunya, ialah seorang dokter di rumah sakit ternama.

Menjadi anak tunggal tidaklah mudah bagi Devan. Ia terbiasa tinggal seorang diri sejak kecil. Terkadang ditemani Rendi bila pamannya itu tidak sedang bertugas. Tapi hal tersebut tak menjadi masalah besar bagi Devan. Ia tahu apa yang Gautama dan Hera lakukan demi kebaikannya sendiri. Meski keduanya sama-sama sibuk, Devan tahu mereka sangat menyayanginya.

Devan menyalakan laptop. Ia menggosokkan kedua tangan. "Oke, apa yang bakal gue cari pertama kali?" gumamnya pada diri sendiri.

Ia memasukkan flashdisk berwarna hitam miliknya, menghubungkannya dengan laptop. Flashdisk itu khusus digunakan untuk menyimpan semua agenda, kegiatan, dan data lain milik OSIS. Devan yakin ia nanti akan menemukan informasi tentang Nizar, korban pembunuhan di sekolahnya. Terlebih lagi Nizar pernah menjabat sebagai Ketua OSIS sebelum dirinya menggantikan pria itu.

"Nama lengkapnya Nizaro Maheswara. Ayahnya bernama Raden Maheswara, seorang pejabat negara, dan ibunya adalah Maharani Putri, pemilik butik Rama." Devan mengangguk-angguk. "Ini salah satu butik terkenal."

"Raden Maheswara adalah salah satu donatur di SMA Andromeda. Kak Nizar juga dikenal sebagai salah satu murid teladan dengan prestasi yang gak biasa. Dia juga sering membawa nama baik sekolah dengan memenangkan berbagai perlombaan dalam bidang sains."

Ibu jari Devan menekan mouse, membuat layar laptopnya menampilkan sebuah foto pemuda dengan piala di tangannya. Wajah Nizar terlihat sangat cerah. Prestasi yang didapatkannya selalu membanggakan sekolah.

"Gak jauh beda sama gue," gumam Devan. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi, berpikir keras. "Gak ada catatan buruk tentang Kak Nizar. Tapi, kenapa dia yang jadi korban? Apa motif pelaku sebenarnya?"

"Dua bulan lalu Kak Nizar lengser dari posisinya sebagai Ketua OSIS. Selama masa jabatannya itu, dia selalu tanggung jawab. Gak pernah lalai sama tugasnya juga." Devan geleng-geleng tak percaya. Ia tak menemukan apapun yang bisa memberikan penerangan terhadap pikirannya.

"Oke, coba gue cari tahu apa aja yang dilakukan dia sebelum terbunuh," ujar Devan. Ia meregangkan tangannya, lantas jarinya lincah bergerak menekan tombol.

"Paman pernah bilang sepertinya ada yang menghubungi Kak Nizar untuk ke sekolah. Karena Kak Nizar gak mungkin datang ke sana malam-malam tanpa alasan. Tapi, gak ada pesan atau riwayat panggilan yang ditemukan di ponselnya. Mungkin ada yang sudah menghapusnya?" Devan berhenti menggerakkan jarinya. Ia terdiam sejenak saat menyadari sesuatu.

"Paman gak mungkin ngasih tahu gue bukti-bukti dari kasus itu secara gamblang. Artinya, dia bohong waktu bilang gak menemukan apapun di ponsel Kak Nizar?" Pria itu mengangguk yakin, Rendi pasti membohonginya sehingga dia tak bisa ikut campur dengan kasus ini.

"Coba kita lihat, apa gue bisa nemuin apa yang ada di ponsel Kak Nizar?" gumam Devan pada dirinya sendiri. Ia mengotak-atik laptop sampai satu jam berlalu.

Hingga akhirnya Devan bisa menemukan salinan riwayat panggilan dan pesan masuk yang diterima oleh Nizar. Ia menguap lebar, lalu merentangkan kedua tangannya. Ini tidak sulit, Devan terkadang melakukan hal yang sama saat dirinya masih menjadi anggota OSIS untuk mencari tahu siapa saja murid yang membentuk geng dan melakukan tindakan buruk di sekolah.

"Tidak ada yang aneh dari riwayat panggilannya." Ia menatap layar dengan mata menyipit, kini beralih melihat pesan yang diterima ponsel Nizar.

Mata Devan membulat melihat sebuah nomor tanpa nama ada di barisan paling atas dalam daftar pesan yang diterima. "Apa ini?"

Dia menekannya, membaca pesan yang dikirim tepat pada hari di mana Nizar dibunuh, tepatnya saat malam.

Tatapan Devan beralih pada ponsel yang tergeletak di samping laptopnya. "Dugaan gue selama ini ternyata bener."

Unknown

Tok! Tok! Tok!

Tepat pukul sebelas malam, kamu harus sudah ada di sana. SMA Andromeda, kelas XI MIPA 1. Ingat, tepat pukul sebelas malam. Terlambat atau tidak datang? Lakukanlah, maka aku akan mendatangimu sendiri dan membuatmu kehilangan semuanya, termasuk kehidupanmu.

"Ini pesan yang sama," ujar Devan lirih. Dia memperhatikan layar laptop yang menampilkan pesan dari ponsel Nizar, lalu beralih pada ponselnya sendiri. Kedua pesan yang diterima oleh Nizar dan Devan sama persis, nomor pengirimnya juga sama. Namun, Devan tahu nomor tersebut sudah tidak aktif lagi. Percuma bila dirinya mencoba untuk melacak.

"Jadi, Kak Nizar datang ke sekolah setelah dapat pesan ini?" Tidak ada kesimpulan lain di pikiran Devan, ia yakin dengan hal itu.

"Tapi, kenapa gue juga dapet pesan yang sama?"

Ini semua masih menjadi misteri bagi Devan. Ia memang menerima pesan aneh itu saat malam hari, tepat di malam Nizar meninggal karena dibunuh. Tapi ia masih belum tahu mengapa dirinya menerima pesan itu.

"Apa pengirimnya salah kirim?" Devan menggeleng, menghilangkan pemikiran konyolnya. Tidak mungkin seorang pembunuh yang tak meninggalkan jejak selain bunga daisy di tangan korban menimbulkan kecerobohan dengan salah kirim pesan.

"Apa pengirim pesan ini memang dari si pembunuh?" Devan juga tidak tahu jawaban dari pertanyaannya sendiri. Ia memang yakin pengirimnya adalah pembunuh itu, namun ada sedikit keraguan. Mungkin saja pembunuh ini memiliki kaki tangan.

Ia meraih ponselnya, menghubungi seseorang. Devan akan bertanya pada Genta, mungkin saja pria itu juga menerima pesan yang sama sepertinya.

"Ngapain nelpon malem-malem?"

Devan berdecak mendengar kalimat pertama yang diucapkan Genta. "Gue mau tanya sesuatu sama lo."

Genta bergumam tak jelas di ponselnya. "Kenapa?"

"Lo dapet pesan di malam saat Kak Nizar meninggal, gak?" tanya Devan to the point.

Hening sejenak, mungkin Genta masih berpikir. Padahal tinggal jawab saja. Atau Genta malah tertidur?

"Gak tuh. Kenapa emangnya?"

Devan menghembuskan napas kasar. Genta tidak mendapatkan pesan tersebut, lantas kenapa dirinya justru mendapatkannya?

"Gue lihat dari ponselnya Kak Nizar, ada yang kirim pesan aneh gitu. Dan lagi, pesan itu dari nomor tak dikenal. Nomornya juga udah gak aktif, percuma kalau mau dilacak," ujar Devan menjelaskan.

"Lo yakin?"

Devan mengangguk, padahal Genta tidak bisa melihatnya. "Nanti gue kirim salinan pesannya ke lo, sama Karen juga. Kemungkinan pesan itu yang bikin Kak Nizar datang ke sekolah." Devan sebenarnya berniat mengakhiri panggilan, namun ia teringat sesuatu saat menyebut nama Karen. "Ah, ya. Ada yang bikin gue penasaran juga sama satu hal."

"Apaan?"

"Kenapa lo mau bantu Karen gitu aja? Gue mau bantu dia karena gue adalah Ketua OSIS. Tapi, lo seakan gak punya alasan." Devan melirik layar laptopnya.

Dan alasan bahwa gue menerima pesan yang sama dengan Kak Nizar.

"Gue gak punya alasan."

"Otak gue lebih pinter dari lo, Ta."

Genta tertawa. Ia berdehem seakan ingin memberitahukan sebuah rahasia besar pada Devan. "Gue bantuin dia karena Karen itu cewek cantik, udah gitu aja. Genta itu, kan, orangnya baik hati, tidak sombong, dan-"

"Gue matiin sekarang, bye!"

Devan langsung mematikan panggilan mereka. Ia tak habis pikir dengan lelucon yang dibuat Genta. Dikiranya Genta memang memiliki alasan kuat untuk membantu Karen mencari tahu siapa yang telah mengirim surat anonim itu, tapi ternyata Genta memberikan alasan konyol.

Namun, Devan tahu Genta berbohong. Dia tak mungkin membantu Karen tanpa alasan. Ada beberapa hal yang menjadi rahasia bagi setiap orang. Dan Devan rasa, alasan Genta membantu Karen adalah sebuah rahasia bagi pria itu.

"Sikapnya udah aneh sejak pertama kali ketemu," gumam Devan.

Ia tak bisa menyangkalnya, Devan mulai mencurigai keterlibatan Genta dengan kasus ini.

***

To be continued ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top