Part 4
2020.10.04 [00.01]
GOODBYE
by Inas Sya
"Apa ini? Kenapa gue justru curiga sama mereka berdua?"
Now playing | Surrender — Natalie Taylor
***
Karen mengulurkan tangan membuka gerbang rumahnya. Ia melangkah masuk, tak memedulikan sapaan dari Mang Ujang, satu-satunya satpam di situ. Merasa terbiasa dengan sikap anak majikannya, Mang Ujang tidak mempermasalahkan hal tersebut. Pria paruh baya berumur kepala lima itu kembali melanjutkan kegiatannya, ngopi.
Hal pertama yang menyambut Karen saat memasuki rumah adalah kegelapan. Tanpa merasa takut bahkan tak menyalakan lampu, Karen terus berjalan menaiki tangga. Suasana sepi dan sunyi tak menjadi masalah baginya. Rumah besar yang telah ia tinggali selama tujuh belas tahun ini seakan tak pernah dijamah oleh orang selain keluarga Karen sendiri.
Gadis itu berhenti di depan sebuah ruangan yang tertutup. Ia memejamkan mata, menghela napas panjang, dan berniat membukanya. Tangan Karen telah terangkat memutar kenop pintu. Saat terbuka sempurna, Karen tak menemukan siapa pun di dalamnya.
Ia tersenyum miris. "Mama kapan pulang?" gumamnya lirih. Karen kembali menarik pintu tersebut, membiarkannya tertutup. Ia bersandar, merasa semua harapannya tak akan pernah terwujud.
Mama gak akan pernah pulang.
Satu hal yang selalu Karen harapkan saat dia kembali dari sekolah, yaitu melihat ibunya ada di rumah. Namun, harapan Karen mungkin terlalu berlebihan, hingga Tuhan tak pernah mengabulkannya. Karen sendiri pernah ingin menyerah saja, ia tak sanggup menjalani kehidupannya seorang diri.
Ayolah, umurnya bahkan baru menginjak tujuh belas tahun. Dia belum dewasa, masih butuh dampingan orang tua untuk masa remajanya. Tapi kenyataannya, Karen tak bisa mendapat semua itu. Ia terbiasa hidup sendiri, mengatasi semua masalahnya tanpa ulur tangan orang lain, menjalani masa hidupnya tanpa ada gandengan bahkan dari keluarganya sendiri.
Karen pergi dari kamar ibunya itu, melangkah menuju ruangan paling ujung dengan pintu berwarna abu-abu. Berbeda dengan ruangan lain, kamar Karen didesain khusus dengan warna abu-abu. Ia sangat menyukai warna tersebut. Bukannya karena warna abu-abu menggambarkan kepribadian Karen, dia hanya suka saja.
Tangannya terampil mengeluarkan semua buku di dalam tas lalu meletakkannya di atas meja. Ia berdiri diam, mengamati secarik kertas tulis cetak yang didapatkannya saat berada di sekolah. Tatapannya menajam, Karen bahkan sampai menyipitkan mata berharap bisa tahu siapa yang mengirimkannya surat anonim gila seperti ini.
"Orang kurang kerjaan," cetusnya.
Ia menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Bola matanya masih terarah pada surat itu, tak ingin mengalihkan. Dalam benak Karen muncul banyak pertanyaan, namun tak ditemukan jawabannya. Sebenarnya, mengapa harus Karen yang mendapatkan surat ini?
"Ini gak mungkin buatan orang iseng," ujarnya bermonolog. Karen yakin hal itu. Lagipula, siapa yang berani iseng terhadapnya?
Jika kembali dipikirkan, rasanya aneh. Karen seolah ikut terlibat dari awal dengan kasus pembunuhan seniornya semenjak ia menjadi murid baru di SMA Andromeda. Padahal Karen tak mengenal Nizar, itu membuatnya bingung. Apa alasannya terlibat?
Karen hanyalah seorang remaja yang hidupnya kini berantakan. Dia sebatang kara, meski semua keperluannya diurus oleh kakak dari ibunya—Marry. Orang yang selalu Karen panggil Bibi Marry itu memiliki kepribadian yang buruk, membuat Karen lebih memilih untuk hidup seorang diri. Sedangkan Marry tinggal di luar Jakarta, bersama dengan keluarga besarnya yang lain. Ia tak memiliki siapa pun di pusat kota ini. Hanya Mang Ujang, yang telah setia menjadi satpam bahkan sebelum Karen dilahirkan ke dunia ini.
Rasanya tak adil bila Tuhan terus saja mendatangkan masalah di kehidupan Karen. Dia kesepian, dan sekarang harus menerima surat anonim gila yang merujuk pada kasus pembunuhan di sekolahnya.
"Sialan," gumamnya merutuk.
Bukan hanya itu, Karen merasa aneh dengan sikap pria yang baru saja ditemuinya pertama kali. Genta, entah kenapa Karen kesal dengan sikap sok kenalnya. Terlebih lagi cara bicara Genta membuat Karen merasa curiga padanya.
Gue bakal bantuin lo membersihkan nama dari tuduhan itu.
"Dia punya tujuan lain, itu pasti." Karen yakin dengan kesimpulannya.
Tidak mungkin ada orang yang baru ditemui langsung menawarkan bantuan, apalagi ini tentang kasus pembunuhan. Lagipula, seorang remaja seperti Genta harusnya tak perlu repot-repot melakukan hal itu. Yang didapatkannya hanya membuang waktu percuma. Terlebih lagi Genta tak memiliki alasan apapun untuk membantu Karen.
Di balik kata 'tanpa alasan' itu, Karen merasa Genta memiliki satu alasan kuat yang tidak boleh diketahuinya.
"Gak mungkin dia mau bantu gue gitu aja. Pasti ada maksud terselubung." Bukannya berpikiran buruk terhadap Genta. Setidaknya Karen harus waspada dengan pria itu.
Tatapan Karen teralihkan pada ponselnya yang menyala. Ia mengambil benda berbentuk pipih tersebut, melihat banyak chat masuk ke dalamnya. Biasanya notifikasi Karen selalu sepi, kini menjadi ramai. Rupanya ia telah dimasukkan ke dalam grup kelas dan angkatannya.
Gue juga sekelas sama lo.
Ingatan Karen berputar pada kejadian siang tadi di sekolah. Genta mengatakan bahwa dirinya ditempatkan pada kelas yang sama dengan Karen. Keduanya menjadi murid baru di sekolah yang sama, lalu menjadi teman sekelas.
"Itu hanya kebetulan?" tanya Karen tak yakin.
Sebuah chat dari nomor tak dikenal masuk ke dalam notifikasi. Karen membukanya. Ia menyipitkan mata, mencoba memastikan siapa yang telah mengirimkannya pesan. Kondisi kamarnya yang gelap sedikit membuat mata Karen sakit. Ia beranjak dari tempatnya, menyalakan lampu.
"Dia dapet nomor gue dari mana?" gumamnya heran.
+6281*********
Gue Genta. Orang baik hati yang tadi nawarin bantuan ke lo di sekolah.
Ibu jari Karen tak sengaja menekan ikon profil pria itu, membuat layar ponselnya menampilkan gambar seorang pria tengah selfie dengan dua jari tertaut di depan mata.
"Cowok narsis."
Tak lama kemudian, Karen kembali mendapat pesan dari nomor yang lain. Ia membukanya, kali ini keningnya terlipat samar.
+6282*********
Ini gue, Devan. Gue yang masukkin lo ke grup angkatan dan kasih nomor lo ke ketua kelas A1.
Besok Genta bakal ke rumah lo. Kita bertiga mulai menyelidikinya. Gue bakal kenalin kalian ke Paman Rendi, polisi yang menangani kasus ini.
"Dia tahu nomor gue dari mana?"
Karen melupakan Devan. Orang yang menyebutkan dirinya sebagai Ketua OSIS SMA Andromeda itu juga menawarkan bantuannya untuk membersihkan nama Karen dari tuduhan para siswa, sekaligus ingin mengungkap pelaku yang sebenarnya.
Tapi, Karen merasa hal tersebut berlebihan. Kenapa Devan harus merepotkan diri untuk membantunya? Padahal pria itu bisa saja duduk diam di rumah karena pamannya sendiri yang akan menangani kasus ini. Alasan Devan bahwa dia tidak mau menjadi Ketua OSIS yang buruk karena ada murid sekolah yang meninggal akibat dibunuh sungguh tak masuk akal bagi Karen.
Bola mata Karen melebar saat ia menyadari sesuatu.
Gimana caranya Devan tahu kalau gue sama Genta punya niat buat menelusuri kasus ini?
Dia denger semua percakapan Genta sama gue?
"Dia ngikutin gue?" Karen mengambil kesimpulan yang ia dapat.
Jika benar Devan akan merasa menjadi Ketua OSIS yang buruk bila tak berbuat apa-apa, pasti pria itu akan mencari tahu tentang saksi pertama yang menemukan korban. Terlebih lagi banyak murid lain di grup angkatan yang menuduh Karen terlibat. Jadi, apa yang sebenarnya Genta dan Devan sembunyikan?
Karen mengalihkan tatapannya pada surat anonim. "Apa ini? Kenapa gue justru curiga sama mereka berdua?"
***
To be continued ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top