Part 28
2020.10.28 [14.52]
Selamat hari Sumpah Pemuda!!!🥳
Gimana kabarnya?
Semoga baik fisik dan hatinya ya, yeorobun. Siapa yang kangen cerita ini update? Kayaknya gak banyak, apalagi aku update tiap hari, gak ngaret kayak lapak sebelah, hm.
So, jeongmal mianhae. Beneran minta maaf ini, buat pembaca yang nungguin lapak sebelah update sampai lumutan. Janji deh, aku update setelah cerita ini tamat. Gak lama kok, dua hari ke depan udah ending. Semoga sesuai dengan ekspetasi kalian, hihi.
Jangan lupa juga buat klik tanda bintang di pojokan sana, gratis kok. Dukung aku terus buat bisa meneruskan cerita ini, aku nulis sambil guling-gulingan di kasur loh. Suer, gak bohong. Satu hari harus update satu part itu susahnya kayak mau move on dari mantan. Apalagi aku tipe orang yang gak suka kasih kepastian, eh, maksudnya kepastian untuk update lebih cepet.
Ada yang udah kangen sama Krystal–Daniel sampai kangennya melebihi kangen sama mantan? Cukup kangen sama ceritaku aja, jangan sama mantan. Gak guna, hihi. Oke, back to topic.
Yang udah kangen, bisa baca ulang dulu kisah mereka di lapak sebelah. Barangkali kalian kelupaan sama alur karena terlalu lama menunggu kepastian, hiks. Nantikan kelanjutan mereka lagi awal bulan depan, oke? Oke, sip!👍
Jangan lupa klik video di atas sana👆, sepertinya cocok untuk menggambarkan bagaimana Emma.
Yuk, fokus ke Genta–Karen dulu^^
GOODBYE
by Inas Sya
"Cinta memang bisa menjadi dendam kesumat bila tak mendapat balasan. Tapi, obsesi yang tak tercapai bisa lebih mematikan."
Now playing | Lathi – Weird Genius ft. Sara Fajira
***
Emma mengangkat tangan, melipatnya di depan dada. Bibir merah menyala itu hanya terangkat miring, melihat bagaimana Genta berdiri di depannya menghalangi pisau lipat yang ditujukan ke arah Emma sendiri. Ia tak takut dengan tindakan yang akan dilakukan Karen, wajar putrinya marah besar dan kecewa melihat Emma sebagai ibu kandung menjadi seorang pembunuh.
Ia tak keberatan bila Karen melukai bahkan membalas semua perbuatan yang dilakukannya selama ini, Emma tak akan melawan balik. Dia lebih memilih sang putri membunuhnya daripada orang lain yang melakukan hal itu.
"Genta, tangan lo ..." Tangan Karen gemetar, ia tak bermaksud melukai Genta. Pisau yang dipegangnya terjatuh begitu saja, darah Genta tertempel di sana, ada pula yang terjatuh mengotori lantai putih rumah pria itu. "G—gue gak sengaja."
Genta mendekati Karen yang hanya mampu menggelengkan kepala sembari terus melihat telapak tangannya. Memang rasanya perih, sangat perih hingga ia ingin meringis kesakitan. Namun, itu hanya akan membuat Karen tambah merasa bersalah.
Brak!
"Jangan bergerak!" Genta dan Karen menoleh terkejut melihat kedatangan Rendi beserta polisi lain.
Ada Devan juga di sana, matanya melebar mendapati rumah Genta yang berantakan, apalagi darah menetes dari telapak tangan temannya itu. Beralihlah tatapan Devan pada seorang wanita yang berdiri dengan senyum lebar.
Mata itu saling bertemu tatap, Arnold tak percaya mantan tunangan sekaligus sahabatnya yang telah lama menghilang sejak ia membatalkan pernikahan ada di sana. Lebih terkejut lagi saat pandangannya beralih pada Karen, gadis yang diceritakan Rendi sangat mirip dengan Emma.
Emma mengangkat tangan, menepukkannya dengan keras. Ia seakan bahagia meski polisi menodongkan pistol ke arahnya. "Tepat waktu sekali," ujarnya. Emma beralih pada Karen yang bingung dengan kelakuannya. "Kini kamu bertemu orang yang selalu membuatmu penasaran, Nak. Dia ada di sini. Ayahmu ada di sini, di ruangan yang sama denganmu. Sayang sekali, kita bertiga harus dipertemukan dalam kondisi yang tak terbayangkan."
"Apa?"
Bukan hanya Karen yang terkejut, semua orang dalam ruangan itu terbelalak tak percaya. Bahkan Rendi sendiri tak menyadari bahwa Karen adalah anak dari Arnold, ia sangka motif Emma melakukan semua ini hanya untuk balas dendam pada mantan tunangan yang membatalkan pernikahan akibat menyukai gadis lain. Berbeda halnya dengan Genta yang telah tahu sejak Emma menceritakan kisah tentangnya, Mentari, dan Arnold.
Genta mengepalkan tangan menatap kepala sekolah barunya. Bila saja malam itu Arnold tak mabuk berat, hal seperti ini tak akan terjadi. Bila saja Arnold tak pernah mengenal ibunya, Mentari pasti masih hidup dan sedang bersama dengannya sekarang.
"Apa maksudmu, Emma?" Arnold menggeleng. "Aku tidak pernah tahu kamu memiliki anak dariku."
Emma berdecih. "Gak pernah tahu? Itu karena kamu gak pernah peduli sama aku. Kamu gak ingat apa yang kita lakukan saat kamu mabuk berat setelah bertunangan?" Wanita itu menggelengkan kepala. "Kamu mungkin gak ingat, tapi aku gak akan melupakan semua yang pernah kamu lakukan sampai membuatku harus merawat anak kita seorang diri."
"Kenapa?" Arnold berkata lirih, mendekatlah ia pada Emma. "Kenapa kamu lakuin semua ini? Kamu beda sama Emma yang aku kenal dari dulu. Emma yang aku kenal gak akan pernah punya pemikiran untuk menjadi seorang pembunuh."
Sudut bibir itu terangkat sinis. "Apa yang kamu tahu tentangku, Arnold? Kamu gak pernah memahami siapa aku sebenarnya. Apa yang aku lakuin selama ini gak akan terjadi jika kamu gak batalin pernikahan kita. Aku gak akan membunuh siapapun jika kamu sadar bagaimana perasaanku. Aku gak akan punya pemikiran jahat jika kamu mau melupakan ibu dari anak ini!" Emma menunjuk Genta yang berdiri di sampingnya. Karen hanya mampu menutup mulut, menahan tangis.
Arnold menggeleng lagi, jaraknya hanya tersisa satu meter dari posisi Emma. "Kamu gak pernah menyukaiku, Emma. Kamu hanya terobsesi dan gak mau kehilangan."
Emma tertawa keras, ditatapnya mantan tunangannya itu dengan pandangan merendahkan. "Kamu kira semua perasaanmu pada Mentari juga bukan obsesi?" Ia beralih mendekati Arnold, menepuk pundaknya, lalu berbisik, "Kita sama, Sayang. Sama-sama terobsesi pada seseorang. Kamu tidak menyadarinya?"
Rendi tak tahan dengan drama ini, ia harus segera mengakhirinya sebelum Emma bertindak lebih jauh lagi. Ia melepaskan tembakan ke atas, lalu kembali menodongkannya. "Angkat tangan atau saya akan melepaskan tembakan lagi."
Emma menatap malas pada polisi muda itu. Dia merogoh saku jaket hitamnya, mengeluarkan pistol dari sana. Rendi dan polisi lain memasang sikap waspada. Tersangka pembunuhan yang ada di depan mereka membawa senjata.
"Mau bermain-main denganku, Rendi?" tanya Emma tanpa takut. Diarahkannya pistol yang ia pegang ke depan, tepat di dahi Arnold.
"Jangan bergerak!" teriak Arnold. "Devan, kamu mundur dulu," titahnya tegas pada sang keponakan. Devan menurut, ia tak pernah berada pada situasi menegangkan seperti ini. Harapannya, tak akan ada yang terluka.
Rendi memberi kode pada rekannya untuk mengepung tersangka. Tak bisa dibiarkan bila seperti ini, tak boleh ada korban lagi. Genta yang ada di pinggir Emma melihat sekeliling, berusaha mencari cara untuk menghentikan aksi wanita itu.
Berbeda halnya dengan Karen yang hanya bisa menahan tangis menutup mulut melihat apa yang sedang dilakukan sang ibu. Ia tak pernah percaya bila Emma yang dikenalnya akan melakukan hal ini. Dadanya terasa sangat sesak, perih sekali sampai rasa kepercayaan yang hanya dia berikan pada Emma menguap begitu saja tanpa sisa.
Arnold juga tak mampu berbuat banyak, terdiam di posisi menatap sahabat kecilnya tak percaya. Dulu ia dan Emma sangat dekat, bahkan Arnold sudah menganggapnya seperti adik sendiri. Tak ia sangka, Emma menaruh rasa suka sejak kecil padanya. Memang tak heran lagi bila ia terus di samping wanita itu sejak lama dan senantiasa melindungi Emma dari bully-an teman sekolah mereka.
Yang Arnold tahu, Emma bukan sosok wanita yang ada di hadapannya. Emma sangat pendiam, bahkan tak pernah memiliki dendam di hatinya saat semua orang merisak dirinya. Tak pernah sekalipun Emma bertingkah brutal, dia orang yang tak memedulikan anggapan orang lain tentang dirinya sendiri. Bahkan Arnold kerap kali merasa kagum, seolah Emma adalah wanita paling baik yang ia kenal.
Tapi, nyatanya ia memang tak mengenal dengan baik sifat sahabat kecilnya itu. Meski selalu bersama sejak kecil, Arnold tak pernah paham dengan pemikiran Emma. Dia wanita yang sulit ditebak.
Arnold menatap Emma dengan pandangan kecewa, mungkin merasa bersalah juga karena yang dilakukan Emma selama ini disebabkan oleh tindakannya sendiri di masa lalu. "Maaf," ujar kepala SMA Andromeda itu lirih.
Emma merasakan matanya berkaca-kaca, gemuruh sengatan seolah mengalir di dalam dirinya hingga mampu membuat pistol yang ia pegang hampir terjatuh.
"Kamu gak pantas meminta maaf, Arnold." Ia memaksakan senyumnya. "Dendamku akan berakhir di sini."
Di luar dugaan, Emma justru membalikkan arah pistolnya pada dahinya sendiri. Ia memejamkan mata, bersiap menarik pelatuk untuk bunuh diri.
DOR!
Bersamaan bunyi tembakan yang terdengar itu, Karen menjerit keras, "Mama!"
***
To be continued....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top