Part 22
2020.10.22 [19.47]
GOODBYE
by Inas Sya
"Maka berhati-hatilah atas setiap perbuatanmu. Karma tak mengenal siapa, kapan, dan di mana."
Now playing | Hold On — Chord Overstreet
***
Bocah laki-laki itu memeluk lututnya erat. Bulir-bulir keringat sebesar biji jagung keluar dari pelipisnya. Ia menampilkan tatapan penuh ketakutan setelah sang ibu meninggalkannya seorang diri di bawah meja dengan penutup papan yang sayangnya bolong, membuatnya bisa melihat apa yang ada di hadapannya dengan jelas.
Wanita berbaju serba hitam dengan rambut terurai panjang memasuki kamarnya. Ia mendekati Mentari, nama ibu bocah yang masih bersembunyi meringkuk itu. Raut wajahnya dihiasi senyum miring yang tampak mengerikan, terlihat jelas Mentari berjalan mundur dengan tangan meraba benda di sekitarnya. Seolah-olah Mentari berusaha menemukan satu benda saja yang bisa menjadi pelindung untuk dirinya.
Tante jahat itu datang lagi. Hal buruk terus dipikirkan oleh si bocah kecil, ia adalah Genta. Meski akhir-akhir ini rumahnya sering dikunjungi oleh seorang wanita yang seumuran dengan ibunya, Genta tak pernah menyukai wanita itu dari awal kali mereka bertemu. Dia orang jahat, ibunya selalu menangis setelah bertemu dengannya, ketakutan dan akhirnya memeluk Genta dengan erat seakan tak ingin melepasnya.
Lalu kini, Genta merasakan ada hal tidak beres di rumahnya. Mentari menyuruh untuk bersembunyi di bawah meja, tak memperbolehkan Genta untuk keluar sebelum ia kembali lagi. Padahal Genta tahu betul bahwa wanita yang menemui ibunya tadi membawa sebuah pisau.
Lantas Genta hanya bisa diam, menuruti apa kata sang ibu. Jantungnya berdegup kencang, seakan ingin melompat keluar dari tempatnya saat melihat ibunya kian terpojok.
"Lo udah gue bilangin berapa kali?" Suara penuh intimidasi dengan intonasi yang rendah memenuhi ruangan. Wanita dengan baju serba hitam itu mendekati Mentari, berbisik keras seakan menegaskan, "Jangan pernah bermimpi untuk bisa menjadi miliknya."
Mentari menggeleng beberapa kali, wajahnya terlihat pias dan memucat. Tubuhnya gemetar merasakan tajamnya pisau membelai pipi sampai ke dagunya hingga ia perlu sedikit menengadah, takut tergores.
"Di mana anak lo?" Pertanyaan dari wanita itu terasa horor di telinga Mentari. Ia menggeleng keras.
"Jangan, jangan sakiti dia."
Mentari melihat jelas senyum miring itu tercetak di hadapannya. "Kenapa? Lo takut?" Ia tertawa keras, Genta makin meringkuk ke belakang, rasanya ngeri mendengar namanya disebut meski tidak secara langsung.
"Lo bisa lakukan apapun ke gue, tapi jangan anak gue. Gue mohon," lirih Mentari. Genta nyaris tak mendengarnya, namun hatinya teriris sakit melihat bagaimana ibunya perlahan meneteskan air mata dengan tangan yang saling menyatu.
"Oke, kalau itu yang lo mau." Dia memainkan pisau yang dipegangnya. "Lo tahu? Gue sebenarnya gak mau nyakitin lo, tapi harus ada yang tersakiti di sini untuk bisa meredakan semua rasa sakit yang gue rasakan."
Mentari mengerang keras, merasakan bagaimana ujung pisau tajam itu menusuk dadanya dalam sekali ayunan. Darah merembes keluar, berlomba-lomba mengotori daster putih yang ia kenakan. Tangannya gemetar menyentuh darah tersebut, tatapannya mengarah pada meja di sudut ruangan yang tertutup oleh sebilah papan. Ia tersenyum, menyadari bahwa Genta pasti menyaksikan dirinya mati. Matanya kian meredup hingga kakinya tak mampu lagi menumpu raga.
Wanita muda beranak satu itu terjatuh di lantai, tergeletak tak berdaya sembari meringis menahan sakit. Genta yang melihatnya hanya mampu menangis dengan tangan membekap mulutnya erat. Ia tak mau keluar, ketakutan yang menelisik masuk hingga menguasainya membuat Genta tak berani melakukan apapun. Dia semakin meringkuk, berusaha sekuat tenaga tidak mengeluarkan isak tangis.
"Setelah mati nanti, terus ingat nama gue dan Arnold." Dia mencabut pisau, Mentari menggigit bibir bawahnya kuat. Napasnya memburu dengan keringat yang kini membanjiri pelipis. "Bawa bunga ini juga, tanda bahwa dendam ini gak akan pernah berakhir bahkan setelah lo mati."
Diletakkannya bunga daisy putih di genggaman Mentari, hingga akhirnya terkotori oleh cairan merah kental. Ia menepuk-nepuk tangannya yang memakai sarung tangan hitam. Senyumnya pudar, ia mendekat dan berbisik, "Goodbye."
Kakinya melangkah mundur, pergi meninggalkan Mentari yang sekarat tanpa ada rasa bersalah terbesit di hatinya. Tanpa ia ketahui, Genta segera beranjak keluar, menghampiri sang ibu dengan pipi gembul yang berderai air mata.
Mentari meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, menyuruh Genta untuk tak menimbulkan suara. Ia takut anaknya menjadi sasaran wanita kejam itu. Ditariknya sudut bibir dengan lemah, raganya terasa sangat sakit.
"Bunda ...." Genta berbisik lirih, tak berhenti menangis hingga hidungnya mengeluarkan ingus. Ia memeluk Mentari kuat, tak tahu harus melakukan apa. Kebingungan melanda, namun Mentari mengulurkan tangan untuk menangkup wajah kecilnya.
"Ssttt ... jangan nangis. Masih ingat apa yang Bunda bilang, kan? Genta bukan cowok cengeng."
Genta menggeleng, masih menangis, apalagi saat melihat darah terus keluar mengotori daster milik ibunya. Ia takut dengan darah, tapi kini tergantikan dengan rasa takut bila harus kehilangan satu-satunya keluarga yang ia punya.
"Bunda jangan sakit," isaknya tersendat.
Mentari menggeleng. "Bunda tahu anak Bunda bisa mandiri. Ingat kata Bunda, ya. Genta anak yang kuat. Bunda bangga punya anak kayak Genta, Bunda gak pernah menyesal dengan semua ini. Jangan salahkan siapapun, ya, Nak."
Genta masih menangis, tangannya bahkan berusaha menghilangkan darah yang mengotori lengan ibunya, seakan ingin menghilangkan luka Mentari saat itu juga. "Bunda jangan ngomong gitu!"
Seulas senyum tipis terus bertahan di wajah Mentari. "Genta harus jadi anak yang pintar, banggain Bunda nanti. Genta harus ingat semua yang pernah Bunda katakan, ya?"
"Bunda!" Genta menjerit begitu Mentari mengeluh sakit dan napasnya tersendat.
"B—bunda sayang sama Genta. Genta anak terbaik untuk Bunda."
Genta menggelengkan kepala lantas berteriak keras melihat tangan Mentari yang menangkup wajahnya kini terjatuh lemas bersamaan dengan terpejamnya mata berbulu lentik itu. Ia mendekap tubuh sang ibu, tak peduli dengan darah akan mengotori wajah dan kaos bergambar superman yang membalut tubuh kecilnya.
Genta membuka mata cepat. Napasnya tak beraturan dengan bulir keringat dingin yang membanjiri pelipis. Ia mengusap wajah, mimpi buruk yang akhir-akhir ini menghantuinya membuat ia harus memutar kenangan kelam sepuluh tahun lalu.
Pria itu menyalakan lampu kecil di sampingnya, lalu menjadikan kedua lengan sebagai alas sembari menatap ke langit-langit. Kamarnya sangat berantakan, ada papan tulis kecil di sudut ruangan. Berbagai macam camilan dan bungkus bekas pop mie tergeletak begitu saja di atas meja penuh buku.
Kamar berukuran tak seberapa itu memiliki dinding dengan goresan cat berwarna abu-abu, khas kamar seorang pria pada umumnya. Sebuah gitar tergantung di sebelah lemari kayu, di bawahnya ada nakas kecil dengan bingkai foto seorang bocah dan wanita muda yang tersenyum lebar.
Gorden di sana terbuka, Genta lupa menutupnya karena langsung terlelap setelah merebahkan diri di atas kasur. Ia kelelahan sehabis pulang dari rumah Karen. Genta membiarkan cahaya bulan menerobos masuk ke dalam kamar gelap itu. Di samping gorden ada rak buku kecil lengkap dengan isinya, dominan ditempati buku-buku berukuran tebal. Tak tahu bila Genta benar-benar membacanya atau hanya dijadikan pajangan supaya terlihat seperti murid rajin. Namun, siapapun yang masuk ke dalam kamarnya pasti akan merasa risih. Bukannya dianggap rajin, justru mendapat julukan murid paling berantakan.
Genta menyentuh kalung panjang berbandul hati yang menggantung di leher, tersembunyi di balik kaosnya. Ia selalu memakai kalung tersebut di manapun dan kapanpun, seolah benda itu adalah jimatnya yang harus selalu mengikuti. Awalnya Genta malu mengenakan kalung dengan bandul hati, namun dia tak bisa melepasnya karena ini adalah benda yang sangat berharga bagi Genta sendiri. Maka dari itu, ia memutuskan untuk selalu menyembunyikannya di balik baju.
Dalam bandul berbentuk hati dengan bahan dari perak itu terukir huruf A&M, menunjukkan inisial nama milik ibu dan ayahnya. Hanya benda ini yang menjadi peninggalan kedua orang tua Genta. Mentari memberikannya tepat ketika Genta berumur tujuh tahun. Katanya, Genta lebih berhak memiliki kalung tersebut.
"Bun, Anta kangen," gumamnya. Tanpa bisa ia cegah, meneteslah air mata yang langsung Genta usap. Ia tak mau Mentari melihatnya menangis dari atas sana. Genta sudah berjanji tak akan mengecewakan Mentari.
Meskipun begitu, mata Genta tak bisa berhenti berkaca-kaca hingga akhirnya menurunkan kembali air matanya. Genta menundukkan kepala, menutup wajah dan mencoba menghapusnya. Ia menghela napas, rasanya sangat sulit melewati sepuluh tahun tanpa dampingan Mentari.
Genta beranjak duduk, mengingat apa yang menjadi tujuannya pindah sekolah ke Andromeda dan akhirnya bertemu dengan Karen. Apa alasannya membantu Karen membersihkan nama dari tuduhan hanyalah kebohongan. Tentu Genta memiliki alasan, lebih dari apa yang pernah ia ceritakan kepada gadis itu.
Bila awalnya Genta tak akan terpengaruh untuk merubah niatnya, kini ia menghadapi kebimbangan. Karen bukan gadis biasa, Genta yakin itu. Ia mampu dibuat bingung dengan sikapnya, membuat Genta berpikir berulang kali untuk terus melanjutkan tujuannya atau tidak.
Setiap hal yang dikatakan Karen beberapa jam lalu benar-benar menjadikan Genta di ambang pilihan yang tak pernah ia sangka sebelumnya. Genta tak tahu ada apa dengan dirinya sendiri, setiap berada di dekat Karen ia merasakan sensasi yang berbeda. Hingga akhirnya menghadirkan dua opsi sulit yang harus segera ia putuskan.
Genta kini berdiri, menghampiri balkon untuk menutup gorden. Ia melangkahkan kaki dan berhenti di depan papan tulis kecil.
Ada foto Mentari di sudut paling kiri, lantas menyambung pada foto seorang pria yang mengenakan jas formal. Dia adalah kepala sekolah di sekolah barunya. Lalu terhubung lagi pada foto gadis berambut pendek dengan seragam putih abu-abu, ialah Karen. Di atas Karen ada foto wanita yang dilingkari oleh spidol berwarna merah.
Genta beralih ke meja belajarnya. Tanpa peduli dengan sampah berupa bungkus makanan di atas meja itu, ia mengambil sebuah foto yang terselip di buku. Foto yang ia ambil diam-diam saat pertama kali memasuki SMA Andromeda, yaitu gadis dengan wajah datarnya, ialah Karen.
"Kenapa?" ujarnya bermonolog. "Kenapa harus lo, Ren?"
***
To be continued....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top