Part 2

2020.10.02 [00.01]

GOODBYE
by Inas Sya

"Ekspresi mukanya aja udah nyeremin. Mungkinkah dia emang pembunuhnya?"

Now playing | Playing With Fire — Blackpink

***

Brak!

Devan membuka pintu ruang OSIS dengan kasar. Ia melangkah cepat ke dalam, meletakkan tas hitamnya asal. Napasnya tak beraturan, ia duduk di kursi khusus Ketua OSIS dan mengambil ponselnya.

Ibu jarinya lincah menari di atas layar, men-scroll di aplikasi pesan. Ia terhenti saat matanya menangkap nomor telepon tanpa nama, lalu membuka pesan yang diterimanya semalam.

"Gak mungkin," gumam pria bernama Devano Gautama itu.

Punggungnya dihempaskan ke belakang, bersandar pada sandaran kursi sambil menutup mata. Kejadian pagi ini membuat Devan terus kepikiran, terlebih lagi dia adalah Ketua OSIS baru di sini. Memang tak seharusnya ia repot-repot memikirkan apa yang telah menjadi tugas kepolisian. Namun, pesan yang diterima Devan semalam membuatnya merasa ada yang tidak beres.

"Daisy." Devan menggumamkan kata itu. Saat mayat korban masih belum dibawa ambulan, dia melihat dengan matanya sendiri ada bunga daisy di tangan korban.

Devan tak bisa menyangkalnya, dia mengenal baik korban itu. Nizaro Maheswara, seniornya sekaligus mantan Ketua OSIS yang baru saja lengser dari jabatannya. Memang hubungan mereka tak terlalu dekat, namun seringkali Devan bertemu Nizar untuk membahas kegiatan di OSIS.

"Bukannya hari ini ada murid baru?" tanyanya pada diri sendiri.

Devan kembali membuka ponsel, melihat grup angkatan sekolahnya yang ramai bergosip tentang kematian Nizar. Banyak teman-temannya yang membocorkan fakta bahwa Nizar meninggal karena dibunuh. Memang tidak sulit untuk mengetahui itu. Dalam sekali lihat bagaimana kondisi Nizar saat ditemukan, pasti mereka langsung tahu bahwa kematiannya disebabkan oleh pembunuhan.

Tatapan Devan tertarik pada obrolan salah satu anak yang mengatakan bahwa orang pertama yang menemukan Nizar adalah salah satu murid baru di Andromeda, Karenina Daisy. Lalu muncul tanggapan-tanggapan lain hingga nama Karen terseret menjadi bahan tuduhan mereka. Bunga daisy, murid baru, orang pertama yang menemukan korban. Mereka menjadikan ketiga hal itu untuk menuduh Karen.

Debora A5
Beneran, deh. Gue tadi juga ada di lokasi dan lihat cewek itu. Dia malah diem aja liatin mayatnya Kak Nizar.

Keira S1
Dia diem aja gitu? Harusnya dia kan langsung teriak.

Tania A5
Yang teriak malah si Uci anak kelas A2. Dia langsung lari lapor ke Pak Arman.

Keira S1
Gila, sih. Gue kalo jadi orang pertama yang lihat gituan pasti langsung pingsan.

Debora A5
Kalian lihat ada bunga daisy juga kan di tangan Kak Nizar?

Chika A2
Gue lihat, bunganya udah kecampur sama darah juga.

Keira S1
Gue gak sempet lihat tuh, emangnya kenapa?

Debora A5
Nama murid baru itu Karenina Daisy. Aneh kan namanya? Kenapa bisa kebetulan sama kayak bunga yang ada di tangan Kak Nizar coba?

Chika A2
Wah, iya. Gue baru sadar itu.

Claira A3
Gak mungkin kan kasus kematian Kak Nizar ada hubungannya sama murid baru itu?

Debora A5
Ya gak tahu, lah. Mungkin-mungkin aja.

Cindy S2
Ngeri gue, tolong :(

Felly A2
Dia jadi anak baru di MIPA 1, gue sempet dikasih tahu sama anak MIPA 1.

Tika A3
Untung bukan kelas gue.

Felly A2
Tapi tetep aja, dia satu sekolah sama kita.

Azriel A4
Emang beneran dia yang udah ngebunuh Kak Nizar? Rasanya gak mungkin, deh. Kan dia cewek.

Debora A5
Siapa tahu itu emang bener? Kita hati-hati aja dulu.

Cindy S2
Gue takut.

Wisnu S1
Bubar, oi! Buruan pulang, masih mending kita dikasih libur satu minggu.

Debora A5
Suntuk gue di rumah.

Devan terdiam, dia tak lagi menghiraukan obrolan selanjutnya. Pria itu juga merasa bahwa semua ini tidak mungkin kebetulan semata. Ia segera mematikan ponsel, menyambar tas hitamnya, dan bergegas menuju ruang guru. Ia tahu Karen pasti akan diwawancarai sebagai seorang saksi di sana.

***

"Terimakasih, Karen. Kamu bisa pulang sekarang, ya. Jangan mampir-mampir ke rumah temen, langsung pulang ke rumah." Pesan dari Maya hanya ditanggapi senyum tipis Karen.

Gadis itu menunduk hormat sebagai tanda pamit sebelum dirinya melangkah keluar dari ruang guru. Karen mengembuskan napas panjang. Ia mencoba untuk tidak tegang, padahal jantungnya seakan maraton saat ditanyai oleh polisi.

Memang semua yang dijawab Karen bukanlah kebohongan, namun menjadi orang pertama yang menemukan korban pembunuhan membuat dirinya cemas. Karen tak mau terlibat dalam hal seperti ini. Harapannya untuk mendapatkan kedamaian di hari pertama sekolah langsung sirna.

Sementara di tempat yang sama, Devan melihat Karen baru saja keluar dari ruang guru. Dugaannya benar. Ia melihat gadis berambut pendek itu mulai melangkahkan kaki menuju arah kiri, tepat di mana deretan kelas dua berada. Devan memutuskan untuk mengikuti Karen.

"Dia murid baru itu, kan?" Bisikan seorang gadis berambut panjang yang menggendong tas merah muda itu masih bisa didengar oleh Karen.

"Loh, iya ternyata," sahut yang satunya.

"Cantik, sih. Tapi kulitnya pucet banget."

"Dia sombong, ya? Gak nyapa sama sekali, padahal murid baru. Minimal senyum, lah. Ini malah lewat aja."

Karen tak menanggapi pujian ataupun ejekan yang ditujukan padanya. Ia terus berjalan, hingga kakinya berhenti melangkah saat mendengar kalimat berikutnya terlontar.

"Ekspresi mukanya aja udah nyeremin. Mungkinkah dia emang pembunuhnya?"

Karen mengerutkan kening, tangannya meremas kuat rok seragam yang ia kenakan. Telinganya masih bisa mendengar obrolan mereka, sepertinya bisikan itu sengaja dikeraskan, seolah Karen memang diharuskan untuk mendengarnya.

"Dari nama yang sama dengan bunga di tangan Kak Nizar, statusnya sebagai murid baru, orang pertama yang menemukan Kak Nizar, sampai ekspresinya yang keliatan kayak seorang penjahat. Benar, kan?" Karen tahu mereka sengaja menyindirnya. Ia memilih acuh, meski sebagian dari dirinya ingin menyangkal semua itu. Tapi, ia tak mungkin melakukannya. Justru mereka akan semakin berani lagi.

"Hei, bisa dikecilin lagi suaranya? Bisikan lo berdua bahkan lebih keras dari suara toa." Kalimat sarkatis itu langsung membuat dua gadis tadi diam membisu. Mereka saling menyenggol siku, lalu bergegas pergi. "Dasar human," lanjutnya menyindir.

Ia mengalihkan tatapan pada gadis berambut pendek yang berjalan di depannya. Senyumnya terbit dan berlanjut pada kakinya yang melangkah mengikuti Karen. Pemuda berambut kecokelatan itu menghadang jalan Karen. Ia meletakkan tangannya di ambang pintu kelas XI MIPA 1, menghalangi Karen masuk untuk mengambil tas.

Karen mengerutkan kening, pasalnya ia tak mengenal siapa pemuda di depannya. Baju yang dikeluarkan, dasi tidak terpasang rapi, rambut diberi warna cokelat tua, membuat mata Karen sakit memandangnya.

"Misi," ujarnya halus.

Namun yang Karen dapat justru senyum menawan yang sayangnya terlihat aneh di mata Karen. Ia menatap uluran tangan yang diberikan pria itu.

"Lo Karenina Daisy, kan? Murid baru di sekolah ini?"

"Iya," jawab Karen singkat tanpa membalas secara fisik.

"Salam kenal. Gue juga murid baru di sini." Tanpa seizin Karen, dia menarik tangan gadis itu untuk bersalaman. Lengkungan bibirnya bahkan tambah lebar sampai matanya seakan ikut tersenyum.

Bola mata Karen melirik seragamnya, membaca deretan nama yang tertera di sana.

Gentala Aldrich.

Jadi, ada murid baru selain gue?

***

To be continued ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top