Part 19

2020.10.19 [17.37]

GOODBYE
by Inas Sya

"Katakan saja kau berhasil meraih kemenangan di sini. Tapi, siapa bilang aku sudah kalah?"

Now playing | Game Over - Mickey Valen ft. Lenii

***

"Lo mau jadi pacar gue?" Brian meraih jemari Karen, menggenggamnya erat sambil tersenyum simpul. Ia menatap netra gadis itu dalam.

Seutas lengkungan bibir terbit di sana, Karen menganggukkan kepala. "Ya, gue mau."

Pada akhirnya mereka bisa melewati rencana ini. Karen berupaya sebaik mungkin untuk tidak salah dalam mengambil langkah. Ia mungkin tak memiliki perasaan apapun terhadap Brian, namun nyawa lebih penting. Brian sendiri diam-diam menghela napas lega, beban di pundaknya perlahan menguap. Entah resmi menjadi sepasang kekasih atau tidak, pernyataan cinta Brian diterima oleh Karen saat pria itu menembaknya di depan rumah tepat pukul tiga sore.

Taburan bintang yang menggantung di langit malam menarik pandangan Karen. Dia menengadah, matanya terpejam dengan helaan napas yang lolos dari bibirnya. Tangan Karen diletakkan di atas pagar pembatas yang hanya setinggi dadanya. Ia merasakan sepoi angin menusuk kulit, membiarkan dingin menerpa hingga ke pori-pori.

Apa semuanya sudah berakhir?

"Gue harap begitu," gumamnya, menjawab pertanyaan yang ia batinkan sendiri. Karen berharap Brian adalah akhir dari permainan ini.

Tapi, siapa pelaku yang sebenarnya? Siapa yang sudah membunuh Kak Nizar dan Aldian?

Karen membuka matanya, melihat dari atap rumah ke bawah. Nampak Mang Ujang sedang berjaga di sana sembari menyesap segelas kopi panas kesukaannya. Karen juga bisa melihat Devan, melangkah keluar gerbang lalu memasuki mobil. Ia menghela napas sekali lagi.

Bagaimanapun ia menyangkalnya, Karen tahu betul ini semua belum berakhir. Selama satu minggu terakhir ia tidak mendapat paket daisy lagi, bahkan semuanya terasa baik-baik saja. Tak ada hal mencurigakan yang ia sadari.

Meskipun begitu, Karen tetap penasaran siapa yang telah mengirimkan paket ke rumahnya. Dia benar-benar tak menemukan titik terang sedikitpun. Lalu, alasan apa yang membuatnya menjadi penerima paket? Tidak mungkin hanya karena Karen memiliki nama yang sama dengan bunga itu menjadikannya terlibat dalam kasus ini.

Bila diingat kembali, pelaku-yang ia yakini sama dengan pengirim paket-hanya melibatkan dirinya. Devan dan Genta sama sekali tidak berkaitan dengan kasus ini. Sejak Karen menginjakkan kaki di sekolah baru, tak ada yang mengalami hal serupa selain dirinya seorang. Maka dari itu, Karen juga sadar bahwa orang yang selama ini mereka cari pasti tahu banyak tentang dirinya. Singkatnya, mereka saling kenal satu sama lain.

Masalahnya, Karen tak memiliki banyak kenalan. Tak mungkin bila dalang di balik semua ini adalah keluarganya sendiri, yang bisa dikatakan tak memedulikan dirinya sama sekali. Kalau musuh, Karen tak pernah membuat masalah dengan orang lain. Memang banyak teman sekolahnya yang tak suka dengan dirinya, bahkan selalu menjauh meski Karen hanya numpang lewat. Namun, tak mungkin mereka sampai melakukan hal segila ini.

Lalu, siapa orang itu?

***

"Nyokap gue udah nyuruh pulang. Gue balik duluan, ya." Devan menepuk pundak Genta dua kali. Ia mengambil jaket hitamnya di atas sofa, lalu mengenakan jaket tersebut sebelum akhirnya mengambil laptop. "Pamitin sekalian ke Karen, nanti gue yang ngomong langsung ke Paman."

Genta hanya menautkan jari jempol dan telunjuknya, tanda dia akan melakukan apa yang diminta Devan. Selepas pria itu pergi, Genta membuang napasnya panjang. Rasanya seminggu ini berlalu dengan cepat, namun mereka tak menemukan hal yang mencurigakan. Bahkan Karen tak lagi mendapat kiriman paket daisy.

Tatapan mata Genta beralih pada foto lukisan daisy berbingkai yang terpajang di dinding rumah Karen, ia menyipitkan matanya. Bibirnya tertarik ke atas, menciptakan senyum miring tanpa mengalihkan tatapan.

"Permainan ini berakhir?" Genta mengerutkan kening, lalu menggeleng seakan-akan menjawab pertanyaannya sendiri. "Kapan kiranya dia mau menampakkan diri? Boom! Semua orang pasti bakalan kaget." Ia terkekeh.

Genta melirik jam tangannya, waktu menunjukkan pukul lima sore. "Dasar jam bandel!" Nyatanya jarum jam itu berhenti bergerak, menandakan bahwa waktu yang ditunjukkannya salah. Ia beralih menatap jam dinding, ternyata sudah hampir pukul setengah tujuh malam.

Ia beranjak berdiri, berniat untuk pulang. Sebelum itu, kakinya melangkah naik ke lantai atas, setidaknya Genta bukan tipe tamu yang langsung pergi tanpa berpamitan pada tuan rumahnya.

"Ren?" Begitu sampai di depan kamar Karen, langkahnya terhenti. Pintu kamar itu terbuka, namun Genta tak menemukan keberadaan pemiliknya. Dia menolehkan kepala, menatap sebuah tangga di sudut ruangan sebelum akhirnya memutuskan untuk menaiki tangga tersebut.

Lengan Genta terulur untuk membuka pintu berbahan kayu di depannya, ia melihat Karen duduk di bangku atap dengan tatapan kosong. Gadis itu melamun. Helaan napas dalam lolos dari bibir Genta, niatnya untuk pulang menjadi urung.

"Lo ngapain di sini?" tanyanya sembari menghampiri Karen.

Karen tampak terkejut, ia beralih menatap Genta. "Eh? Lo gak pulang?"

Genta berdiri di depan Karen, melihat ke bawah. Yang menarik perhatiannya justru mobil hitam yang terparkir di depan rumah Karen, sepertinya milik polisi yang ditugaskan melindungi dan mengawasi Karen sebagai saksi. "Entahlah, gue bukan tipe tamu yang suka langsung pergi tanpa pamit sama tuan rumahnya."

Karen hanya mengangguk simpul, memerhatikan Genta yang kini beralih duduk di sampingnya. "Apa semuanya udah berakhir?" tanyanya lirih. "Maksud gue, bukannya kertas itu cuman mengatakan dua pangeran yang artinya Aldian sama Bang Brian? Berarti gak akan ada yang lain, kan?"

"Gue juga gak tahu," ujar Genta. "Tapi gue rasa belum. Akhir dari semuanya adalah ketika pelaku itu tertangkap dan dihukum."

Karen menarik sudut bibirnya tipis, lalu menunduk. "Lo benar. Gue cuman takut, akan ada korban lagi."

"Yang jelas, jangan salahin diri lo sendiri atas semua yang udah terjadi." Karen menolehkan kepala mendengar kalimat yang dikatakan Genta. Pria itu hanya menarik sudut bibirnya lalu menatap ke atas.

"Kenapa lo mau bantuin gue? Bagaimanapun juga, gue gak bisa menemukan alasan lo yang sebenarnya. Lo bilang, semuanya tanpa alasan." Karen menggelengkan kepala. "Gue gak percaya sama ucapan lo, Genta."

Genta tertawa, menatap geli ke arah gadis itu. "Lo masih juga penasaran sama hal itu?"

Karen menatapnya datar, tanda bahwa dirinya tak sedang bercanda. Genta berdehem, tatapannya beralih ke depan. "Karena nama lo."

Kening Karen terlipat dalam, tak mengerti. "Hah?"

"Karenina Daisy, nama lo bikin gue penasaran sama kasus ini." Ia kembali menatap Karen, dia tersenyum. "Nama lo mirip sama nyokap gue."

"Nyokap lo ..."

"Lo tahu arti nama Daisy, kan? Bukan bunga, tapi matahari. Kalau gak percaya, tanya aja sama Google. Nama nyokap gue mirip sama lo, Mentari. Itu sebabnya gue mau bantuin lo untuk membersihkan nama dari tuduhan."

"Ah, begitu." Karen mengangguk-angguk. Namun, bila hanya sekedar kemiripan nama dengan ibu sendiri, rasanya masih tidak cukup untuk menjadi alasan Genta membantu Karen. "Hanya karena nama gue mirip sama nyokap lo?"

Genta menggeleng. "Gue sama kayak lo, udah gak punya nyokap. Bunda udah meninggal."

Rasanya hati Karen seperti tersentil mendengar kenyataan yang dikatakan Genta, ia benar-benar tak tahu bila Mentari sudah meninggal. "Maaf, gue gak tahu."

Genta terkekeh. "Santai aja, gue gak masalah."

"Tapi, kenapa nyokap lo bisa meninggal?"

Beberapa menit berselang, Genta masih diam. Hingga akhirnya dia menjawab lirih, "Bunda gue korban pembunuhan."

Karen terkejut mendengarnya, ia juga melihat Genta sempat berpaling saat mengatakan kalimat tersebut. "Karena itu gue juga pengin tahu siapa sebenarnya pelaku di balik semua ini," lanjutnya.

"Gue gak tahu itu," gumam Karen. Ia merasa bersalah.

"Cuman lo yang baru gue kasih tahu, bahkan Devan gak tahu apa-apa." Genta tertawa. "Dia cuman tahu bokap gue seorang jaksa."

"Devan gak tahu?"

Genta hanya mengangguk. "Bunda sama Ayah bercerai sejak gue kecil, hak asuh jatuh di tangan Bunda. Lalu Bunda meninggal, dan gue balik lagi ke Ayah yang waktu itu ada di luar negeri. Gue selama ini dibesarkan sama paman gue sendiri, jadi gak dekat sama Ayah."

"Ayah lo jadi jaksa di luar negeri?"

"Ya, begitulah. Gue gak terlalu tahu."

Karen mengangguk-angguk. "Jadi, ini juga alasan kenapa lo selalu melarang kita untuk kumpul di rumah lo."

"Di rumah gue gak ada apa-apa, kasihan kalian yang gak dikasih jajan nantinya." Karen tersenyum melihat Genta tertawa setelah mengatakan itu.

"Kalau boleh tahu, siapa yang udah bunuh nyokap lo?"

Pertanyaan Karen membuat tawa Genta lenyap. Gadis itu sepertinya salah bertanya. Ia melihat Genta menatap ke arahnya dengan senyum yang tak Karen ketahui apa maksudnya.

"Kasus Bunda belum terpecahkan, sampai saat ini."

***

To be continued....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top