Part 17

2020.10.17 [17.48]

GOODBYE
by Inas Sya

"Mereka semua ingin main-main denganku?"

Now playing | Save Me — BTS

***

"Gue Brian, anak XII IPS 2." Brian memperkenalkan diri, tangannya terulur maju menunggu balas jabat dari Karen. Sedangkan gadis di hadapannya itu menatap Brian dari bawah sampai atas.

Berbanding terbalik dengan Aldian, justru Brian tampil tanpa kerapian sedikit pun. Bahkan rambutnya tak tertata. Bila Aldian datang dengan buket bunga dan semacamnya, Brian hanya ditemani tangan kosong. Sebuah motor ninja keluaran terbaru terparkir manis di bawah pohon mangga, tanda pemiliknya merupakan orang berada.

Genta menyenggol Karen, menyuruhnya untuk tidak mengacaukan rencana. Kasihan tangan Brian yang terkacangi, Karen menjabatnya dengan kikuk. Seulas senyum juga ia tampilkan. Genta cukup terkesima, belum pernah dirinya melihat bibir tipis itu melengkung ke atas meski saat ini terkesan kaku.

"Karenina."

Suara yang Karen keluarkan bahkan terdengar lembut, menggelitik telinga seolah menggemakan nama tersebut di indra pendengaran Genta. Ia menggelengkan kepala, rasanya aneh. Entah apa yang terjadi pada dirinya. Dia mengulurkan tangan melepas tautan Karen dan Brian, beralih menjabat seniornya itu.

"Gue Gentala Aldrich, teman Karen, murid baru juga, sekelas sama dia." Brian tampak tak peduli tentang siapa Genta, menarik tangannya dan melangkah masuk seenak jidat.

Genta membuka mulut tak percaya. "Wah, dasar human." Ia mengangguk-angguk seakan mengerti kondisi yang tengah terjadi saat ini. "Bila ada tuan rumah yang gak tahu cara nerima tamu, pasti juga ada tamu yang gak paham cara bertamu."

Karen meliriknya, tampak tersinggung. Dia mengikuti langkah Brian, meninggalkan Genta seorang diri di depan pintu. Tak apa, Genta tak mempermasalahkannya. Ia menengadah, melihat kamera CCTV yang menyala, lalu beralih pada sebuah mobil yang terparkir di depan gerbang rumah Karen. Kepalanya mengangguk, lantas memutuskan untuk masuk lagi ke dalam tanpa menutup pintu.

Bukan hanya keberadaan Genta yang membuat Brian terkejut, tapi juga sosok Devan yang kini tengah nyengir kuda di depannya. Sambil terduduk anteng di sofa menikmati camilan dengan buku yang terbuka di atas meja, Devan menyapa seniornya itu.

"Bang, ngapain di sini?" tanyanya basa basi. Padahal keduanya tidak pernah saling komunikasi, terlebih lagi Brian sering terlibat masalah dengan anak OSIS.

"Lo sendiri ngapain di sini?" Brian bertanya balik. Tanpa disuruh oleh tuan rumah, Brian mendudukkan dirinya di depan Devan. Ia menatap ketua OSIS dan murid baru bernama Genta itu. Bila keduanya tidak lekas pergi, dirinya tak bisa melakukan apa yang telah ia rencanakan sebelumnya. Karen masih terdiam, berdiri tanpa tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Kecanggungan terjadi di antara mereka. Sampai akhirnya suara Brian memecahkan suasana.

"Kalian berdua lagi ada urusan sama Karen?" tanyanya menunjuk Devan dan Genta.

Genta mengangguk. "Gue lagi kerja kelompok sama Karen."

"Terus Devan?"

"Gue bantu mereka, kan gue ketua OSIS," jawab Devan tanpa ragu. Ia telah menyiapkan jawabannya sedari tadi.

Brian hanya mengangguk, tampaknya ia tak bisa memulai semuanya dari hari ini. "Ren, lo murid pindahan jalur beasiswa, kan?"

"Eh?" Karen terkejut saat Brian menanyainya. Ia mengangguk membenarkan. "Iya, gue pindahan jalur beasiswa. Kenapa emang?"

"Lo mau jadi guru private gue? Semua nilai mata pelajaran gue di kelas gak tuntas. Nanti gue bayar lo berapapun yang lo mau."

"Hah?" Bukan hanya Karen yang terkejut, bahkan Devan dan Genta saling berpandangan bingung.

Apa sebenarnya rencana Brian?

***

"Namanya Brian Adhyasta, kelas XII IPS 2. Coba cari tahu semua informasi tentangnya, hubungi Pak Arnold juga." Rendi baru saja mendapat pesan dari Devan, mengatakan bahwa dugaannya kemungkinan besar memang benar. Ada seorang pemuda yang datang menemui Karen, diduga akan menjadi target pelaku selanjutnya.

"Pak Arnold sedang ada rapat dengan para dewan donatur di sekolahnya, Pak. Panggilannya diangkat oleh wakilnya, Pak Robert," ujar Joy, salah satu bawahan Rendi yang masih berumur 26 tahun.

"Ya sudah, kita cari tahu sendiri saja dulu. Katakan kita akan mengubungi Pak Arnold lagi nanti," titah Rendi.

"Baik, Pak."

"Argo, lo nemu sesuatu?" tanya Rendi pada Argo yang sedari tadi tak berhenti di depan layar, mengotak-atik laptop.

Argo menekan tombol enter. "Oke, selesai." Ia menggeser posisinya, memberikan tempat pada Rendi supaya leluasa membaca semua informasi yang ia dapat tentang Brian.

"Namanya Brian Adhyasta, 18 tahun. Anak dari salah satu pengusaha besar bernama Angga Adhyasta dan pemilik restoran Jepang bernama Sesilia Nimas. Dia anak pertama, adiknya perempuan, masih berumur sepuluh tahun." Argo membaca informasi yang ia dapat. "Ini tidak lengkap. Catatan sekolah baru bisa kita dapatkan bila Pak Arnold mengizinkan."

Rendi menghela napas. "Kita tunggu saja. Apa ada informasi lain?"

Argo menggeleng. "Cuman biodata singkatnya. Dia anak orang kaya, pasti jadi donatur di Andromeda."

"Donatur?" ulang Rendi, merasa ia telah melewatkan suatu hal yang penting.

"Iya, kenapa?"

Rendi menatap layar laptop, menampilkan foto seorang pemuda, yaitu Brian sendiri. "Bukankah Nizaro dan Aldian juga anak donatur?"

Argo mengangguk membenarkan. Ia lalu terdiam, matanya melebar. "Artinya ..."

Anggukan kepala Rendi membuat Argo membuka mulut tak percaya, merasa saat ini kasus yang mereka tangani ternyata memiliki akar permasalahan yang lebih besar dari dugaan.

***

Brian melirik Devan yang menunduk, lalu beralih pada Genta yang memainkan ponsel. Kedua pria itu masih setia di rumah Karen meski satu jam telah berlalu. Ia menyandarkan punggungnya di sofa, melipat kedua tangan di depan dada.

"Bukannya mau kerja kelompok? Kenapa diam aja dari tadi?" Devan menyenggol Genta, memberi kode bahwa Brian tengah menanyainya.

"Eh?" Genta melirik Karen, gadis itu justru membaca buku tanpa merasa terganggu. "Udah selesai." Ia menampilkan cengirannya.

"Terus, kenapa gak pergi?" Brian mengerutkan kening, heran dengan sikap aneh dua juniornya itu. Masalahnya, ia sempat memergoki tatapan Genta dan Devan terarah padanya, seolah tengah mengawasi.

"Harus langsung pergi, ya? Gue masih mau di sini, gimana dong?" tantang Genta. "Lagian Karen gak keberatan."

Brian melirik ke arah Karen, menghela napas. Hal tersebut membuat Karen menengadah, melepaskan kacamata bundar yang dipakainya lantas menutup buku. Ia beralih menatap Brian. "Kalau ada yang mau diomongin, langsung ngomong aja. Kenapa datang ke sini padahal gue gak kenal lo? Devan sama Genta teman gue, mereka gak akan pergi ninggalin gue berduaan sama lo," ujarnya terus terang. Devan dan Genta berpandangan, takjub dengan Karen.

Brian terdiam. Ia mengalihkan tatapan pada jam di tangannya, lalu beranjak berdiri. "Gue bakalan datang lagi besok. Intinya, lo jadi guru private gue. Kalau lo gak mau, lo bisa tanya ke Devan apa yang bisa gue lakuin nanti ke lo. Ingat itu."

Devan meneguk ludah. Meski ia menjadi ketua OSIS sekarang, sifat semena-mena Brian tak pandang bulu. Devan pernah dibuat babak belur bersama anggota OSIS lain saat Brian berbuat onar. Dia menatap Karen yang meliriknya, lalu menganggukkan kepala.

"Dan buat lo ..." Kini telunjuk Brian mengarah pada Genta, yang ditanggapi pria itu tanpa rasa takut. Sebab Genta tak tahu bagaimana kepribadian Brian yang sebenarnya. "Jangan ganggu gue. Sikap aneh kalian berdua bikin gue sadar, kalau gue lagi diawasi. Tolong, jangan libatkan apapun."

Genta mengerutkan kening. Apa sebenarnya maksud Brian? Ia menatap pria itu perlahan melangkah menjauh keluar dari rumah Karen. Devan mengeluarkan napasnya panjang, lega setelah kepergian Brian.

"Apa maksudnya?" gumam Genta. Ia melirik Devan dan Karen. "Sepertinya apa yang dibilang Paman Rendi memang benar. Dan senior nyebelin ini tahu banyak, tapi dia gak mau ada yang terlibat?" ujarnya tak yakin.

"Bang Brian tahu kita lagi awasin dia," sahut Devan. "Intinya, Karen harus nurut sama dia untuk sementara ini. Kalian gak tahu gimana sifatnya, jadi jangan macam-macam. Meski gue akui mukanya di atas standar cogan, dia gak sebaik itu."

Genta mengangguk. Ia menoleh pada Karen. "Lo harus lebih hati-hati, Ren."

"Gue gak khawatir sama hal itu." Karen menatap keduanya lalu kembali melanjutkan, "Karena pengirim suratnya sendiri bilang kalo dia gak akan nyakitin gue."

"Tapi, sebenarnya apa rencana Brian? Alih-alih bersikap manis kayak Aldian, dia malah seenak jidat jadiin Karen guru private-nya."

Devan benar, mereka tak tahu rencana apa yang Brian persiapkan.

Hingga hari-hari berlalu, Brian benar-benar datang tanpa absen ke rumah Karen. Tak ada tanda-tanda Karen mendapat paket anonim lagi. Devan dan Genta masih mengawasi, selalu ada di sana saat Brian datang. Hal itu memang selalu membuat Brian risih, namun ia tak bisa mengusir mereka bila Karen sendiri tak mempermasalahkannya.

Tanpa mereka sadari, semua yang mereka lakukan terekam oleh CCTV yang terpasang di depan rumah Karen. CCTV itu bukan hanya terlihat di laptop Devan dan polisi yang mengawasi semuanya dari jauh.

Seorang wanita dengan rambut panjang sepunggung mengupas kulit apel menggunakan pisau dapur yang tajam. Ia meletakkan kaki kanannya di atas kaki kiri. Baju hitam yang dikenakannya berhiaskan corak bunga indah, membalut bagian pinggang.

Ia tersenyum menatap layar laptop di hadapannya, tak sulit untuk meretas CCTV itu.

"Mereka semua ingin main-main denganku?" Tawanya terdengar keras, mengisi kesunyian dalam ruangan gelap nan sempit tersebut. "Silakan saja, dengan senang hati aku akan mengizinkannya."

***

To be continued....

Brian Adhyasta. Ganteng, gak?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top