Part 16

2020.10.16 [18.44]

GOODBYE
by Inas Sya

"Selama ini dugaannya selalu benar."

Now playing | Daisy — Pentagon

***

Karen membuka pintu rumahnya, menatap dua sosok pemuda yang datang dengan membawa laptop dan beberapa camilan. Genta dan Devan, ketiganya saling berpandangan, mengingat pembicaraan mereka kemarin.

"Oke. Karena Devan dan Genta sudah ada di sini sekarang, Paman akan mengatakan apa yang harus kalian lakukan ke depannya," ujar Rendi serius setelah lima menit semenjak kedatangan dua teman Karen.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Paman?" tanya Devan tak mengerti. Dia juga menatap Genta, mereka berdua tak tahu kenapa Rendi memintanya untuk datang ke rumah Karen.

"Paman tahu kalian menerima paket misterius akhir-akhir ini, Karen yang mengatakannya." Kalimat yang diucapkan Rendi membuat Devan terkejut.

"Paman sudah tahu?" Ia menggaruk belakang kepala, khawatir Rendi akan marah saat mengetahui bahwa mereka bertiga tidak mengatakan apapun terkait paket itu sebelumnya.

Rendi mengangguk. "Kalian juga pasti tahu bahwa ada korban lagi, salah satu teman sekolah kalian, Aldian Gandara. Anak kelas XI IPS 1 dan menjadi kapten tim basket sekolah. Benar, kan?"

Ketiganya mengangguk. "Aldian meninggal dengan kondisi yang sama persis seperti Kak Nizar, begitu yang Paman katakan kemarin," ujar Devan. Rendi mengangguk membenarkan.

"Karena itu, Paman ada di sini. Kemarin Paman sudah bertanya pada Karen, ternyata sikap Aldian akhir-akhir ini memang aneh dan mencurigakan. Kalian juga akan belajar di rumah untuk sepekan lagi, sebab polisi masih menyelidiki TKP." Ia menunduk, lalu melanjutkan, "Tidak ada bukti selain bunga daisy lagi. Tapi, sepertinya kali ini berbeda."

"Berbeda maksudnya?" Kini giliran Genta yang bertanya. Meski sedari tadi ia terdiam, Genta tahu kemana titik arah pembicaraan mereka.

"Paket yang diterima Karen, bisa dijadikan sebagai petunjuk. Mungkin Paman akan menyitanya sebagai bukti bahwa ini bukan kasus pembunuhan biasa."

"Paman bilang akan ada rencana. Apa itu?" tanya Karen, dia belum mengetahui sama sekali apa yang direncanakan Rendi.

Rendi mengangguk. "Paman tahu maksud dari surat ini. Paman juga tahu bahwa satu di antara kalian sebenarnya paham dari awal, hanya saja tidak yakin dengan dugaannya." Karen melirik Genta, sepertinya ia menyadari bahwa yang dimaksud Rendi adalah Genta.

Bagaimana Rendi bisa tahu hal itu?

"Jadi, apa rencana Paman?"

"Siapapun itu, ke depannya Karen tidak boleh menolak. Bila ada yang bertingkah sama seperti Aldian, Karen harus menerimanya. Sementara Devan dan Genta akan mengawasi mereka dari dekat, Paman juga akan mengirim beberapa rekan dari kepolisian untuk memantau kalian dari jauh agar tidak ada yang curiga. Sampai di sini, paham?" Rendi menatap ketiga remaja di depannya.

"Tunggu dulu, sebenarnya apa maksud dari kertas yang ada di paket itu?" tanya Devan tak mengerti.

Rendi mengusap wajah. "Sepertinya kamu yang paling bodoh di sini." Ia menggeleng-gelengkan kepala, menyadari bahwa sebelumnya telah salah menilai. Tatapan Rendi beralih pada Genta. "Coba kamu jelaskan ke Devan."

Genta menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi bodoh. "Saya?"

Rendi mengangguk lugas. "Iya, kamu. Bukankah kamu cukup pintar untuk memecahkan teka-teki di kertas paket itu? Kamu pindahan dari SMA Unggulan."

Devan membuka mulutnya lebar, tak percaya dengan apa yang dikatakan pamannya. Sementara Genta hanya nyengir seakan tak merasa berdosa telah menyembunyikan asal usulnya selama ini.

Genta berdehem, sebelum akhirnya mengatakan, "Maksud dari tulisan di kertas itu adalah bahwa di sini ada permainan yang dimainkan oleh pengirim paket tersebut. Dua pria, yang dikatakan sebagai pangeran tampan berkuda putih dan pangeran hitam dari negeri penyihir, mereka adalah pemainnya. Keduanya harus mampu membuat tuan putri mereka terkesan dan menerima pengakuan cinta yang mereka nyatakan. Awalnya gue punya dugaan konyol, bahwa yang menjadi pangeran di sini adalah lo sama gue sendiri." Ia menunjuk ke arah Devan, lalu kembali melanjutkan, "Tapi ternyata salah. Karen di sini sebagai tuan putri, dan pangeran pertama yang bermain adalah ... Aldian Gandara. Dan selanjutnya, apabila pemain gagal dalam membuat tuan putri terkesan, makan dia akan—"

"Mati," potong Devan.

Genta mengangguk membenarkan. Devan terdiam, ia benar-benar tak menyadari isi dari kertas tersebut. Sementara Karen menatap Genta, menghela napas. Ternyata Genta tahu sebanyak itu, tapi kenapa tidak dari dulu mengatakannya? Setidaknya, Karen tidak akan merasa bersalah. Setidaknya, bila Genta mengatakan hal ini dari awal, Aldian tidak akan mati terbunuh. Bila Karen tak menolak semua sikap aneh Aldian padanya, pria itu tak akan kehilangan nyawa.

"Jadi, siapa yang menjadi pemain selanjutnya?" lanjut Devan bertanya.

Genta mengangkat bahu. "Kita masih belum tahu siapa, tapi dia akan muncul dengan sendirinya. Itu bagian dari rencana Paman Rendi."

Rendi mengangguk, apa yang dikatakan Genta benar adanya. "Kalian siap untuk menjalankan rencana?"

Devan beralih menatap pamannya. Ia menghela napas dalam-dalam, lalu mengangguk, begitu juga dengan Genta. Sedangkan Karen hanya diam, tak memiliki pilihan selain mengikuti rencana ini.

"Pastikan kalian selalu waspada, hati-hati dengan semua hal yang terlihat mencurigakan. Bila ada yang merasa janggal, langsung hubungi Paman. Jangan khawatir, Paman akan mengirimkan beberapa bawahan Paman untuk memantau semuanya. Mereka juga akan membantu kalian dari jauh."

"Jadi, udah ada yang datang ke sini?" Karen menolehkan kepala begitu Devan bertanya padanya. Ia menggeleng, tanda bahwa tak ada siapapun yang datang ke rumah sebelum dua pria di hadapannya ini.

Genta mondar-mandir, mencari tempat yang pas untuk meletakkan sebuah kamera pengawas kecil. Di depan rumah telah terpasang CCTV, polisi yang dikirim Rendi benar-benar datang memasangnya. Mereka lalu mengatakan akan mengawasi mereka dari depan rumah Karen, bersembunyi di dalam mobil.

Sementara Devan tengah sibuk mengotak-atik laptop, mencoba menyambungkannya dengan CCTV. Dia menoleh ke belakang, melihat Genta yang sibuk sendiri. "Lo ngapain, Ta? Belum selesai juga?"

Genta berjinjit, meletakkan kamera pengawas kecil di atas sebuah bingkai foto. Dia menghembuskan napas lelah, lalu menatapnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Keningnya terlipat dalam begitu menyadari apa yang ada di foto itu. Dia menatap Karen. "Ren, ini bunga daisy, kan?"

Karen menoleh, lantas mengangguk. "Kenapa emang?"

Genta kembali menatap ke depan, bahkan sampai memiringkan kepala mencoba menemukan sesuatu yang aneh di dalam foto tersebut. "Ini foto lukisan? Siapa yang melukisnya?"

Karen beranjak berdiri, Devan mengamati keduanya. Dia baru sadar ada bingkai foto besar bunga daisy di sana. Memang benar, foto itu hanya foto biasa yang memuat sebuah lukisan.

"Ini punya Mama. Katanya ..." Ucapan Karen terhenti. Ia terdiam mengingat apa yang pernah dikatakan ibunya terkait foto itu, lalu melanjutkan, "Ayah yang melukisnya."

Genta terdiam, tak menyahut lagi setelah menyadari bahwa pembicaraan ini pasti akan menyinggung perasaan Karen. Ia memilih duduk di samping Devan, merebut laptop pria itu dan melanjutkan pekerjaan yang belum dirampungkan oleh Devan.

Sedangkan Devan yang tak peka bertanya karena penasaran. "Di mana orang tua lo? Gue baru sadar belum pernah lihat mereka."

Genta menepuk jidatnya. Ia memberi kode pada Devan untuk diam, tapi Devan tak mengerti. "Emang kenapa? Lo juga belum pernah lihat orang tua gue, kan?"

Devan mengerutkan kening, merasa aneh dengan sikap Genta. "Setidaknya gue tahu kalau bokap lo jaksa dan nyokap lo udah meninggal."

Devan benar, Genta memang sudah memberitahunya hal itu. Sementara Karen yang tak tahu terkejut mendengarnya. "Nyokap lo udah meninggal?"

Genta mengangguk singkat. "Udah lama, sih. Gue masih bocah waktu itu." Dia beralih menatap laptop di hadapannya, tersenyum saat berhasil menyambungkan dengan CCTV. Detik berikutnya kening Genta terlipat dalam. "Apa ini?"

Devan menoleh. "Kenapa?" Ia terkejut melihat laptopnya sudah tersambung, padahal dirinya saja membutuhkan waktu lama untuk melakukannya. "Wah, lo ternyata emang bener pindahan dari SMA Unggulan."

Genta tak menyahut, justru menunjuk layar CCTV. "Lo kenal cowok ini?"

"Siapa?" Devan mendekat, matanya menyipit. "Oh, dia kakak kelas kita, namanya Brian. Dulu sering banget bikin masalah sama anak OSIS."

"Ngapain dia ke sini?" tanya Karen bingung. "Setahu gue gak ada tetangga yang satu sekolah sama gue."

Genta dan Devan saling berpandangan, lalu mereka bergegas merapikan semua barang yang tergeletak di atas meja. "Umpetin laptopnya!" suruh Devan pada Genta. Karen ikut membantu, membersihkan bungkus camilan yang terbuang sembarang di lantai.

"Kenapa dia datang ke sini?"

"Kemungkinan besar dia orangnya, pemain yang selanjutnya," ujar Devan, napasnya tampak tersengal setelah menyembunyikan laptop di lantai atas. Ia menatap pintu rumah Karen yang diketuk.

"Dalam artian lain, dia adalah pangeran hitam dari negeri penyihir yang disebutkan pengirim surat itu," lanjut Genta.

***

"Argo, lo masih ingat berkas kasus pembunuhan seorang wanita sepuluh tahun lalu?" tanya Rendi pada salah satu bawahan sekaligus temannya, Argo.

Argo tampak berusaha mengingat, pasalnya kejadian itu sudah berlangsung lama. Salah satu masalah yang menjadi kasus dingin sebab pelakunya belum terungkap sampai sekarang. Bahkan atasan mereka kala itu memutuskan untuk tidak pernah mengungkitnya lagi.

"Emang kenapa?"

"Bukankah lo juga ikut ditugaskan bareng gue waktu itu?" Rendi masih ingat betul, Argo yang umurnya sepantaran menjadi rekan dalam kasus tersebut. Meski memiliki usia yang sama, Argo tetap menghormati Rendi selaku atasannya saat ini.

"Iya, kita satu tim. Kalau gak salah, berkasnya ada di ruangan Pak Edward."

"Pak Edward?" ulang Rendi. Edward adalah polisi yang ditugaskan secara langsung, menjadi pimpinannya dalam menangani kasus pembunuhan kala itu. "Gue merasa janggal dengan kasus yang kita tangani saat ini. Bukankah lo juga merasakan hal yang sama? Kedua kasus yang terpaut sepuluh tahun ini tidak jauh berbeda, bahkan semuanya terlihat mirip."

Argo mengangguk. "Lo benar. Gue juga merasa begitu. Bukannya lo suruh Bondan sama Dika buat ngawasin keponakan lo yang katanya dapet paket anonim?"

"Iya, mereka udah di sana sekarang. Bisa lo ambilkan berkas kasusnya? Gue pengin kita mendalami kasus itu lagi, sepertinya keduanya berhubungan."

"Oke, siap." Argo baru saja melangkah mundur untuk mengambil berkas yang dimaksud Rendi. Namun urung saat Rendi menghentikannya.

"Apa lo juga ingat siapa nama mantan suami korban?" tanya Rendi.

Argo berusaha mengingatnya. Ia sendiri yang menginterogasi mantan suami korban pembunuhan sepuluh tahun lalu. "Kalau gak salah, namanya Giorgino Aldrich."

Rendi mengangguk, kini dia mengingatnya. "Satu lagi, nama anak mereka adalah Gentala Aldrich. Saat itu umurnya baru tujuh tahun, apa gue salah?"

Argo menggeleng. "Lo benar. Saat itu keduanya udah cerai. Hak asuh anaknya ada pada korban, kini sudah dipindahkan ke mantan suaminya karena korban meninggal dunia."

"Apa pekerjaan Pak Aldrich?"

"Dari yang gue dengar, saat ini beliau menjadi jaksa," jawab Argo.

Rendi mengangguk-angguk. "Oke. Lo bisa mengambilnya sekarang."

Kini Rendi terdiam, rupanya yang dikatakan Devan memang benar. Ayah Genta adalah seorang jaksa. Dugaannya juga tak meleset, Genta memang anak dari korban pembunuhan sepuluh tahun lalu.

Lantas, kenapa Genta terlibat dalam kasus ini? Kasus yang serupa dengan apa yang menimpa ibunya dulu.

Apa anak itu memiliki maksud tertentu?

***

To be continued....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top