Part 15
2020.10.15 [20.18]
GOODBYE
by Inas Sya
"Ayo bermain tebak-tebakan. Siapa yang akan menjadi pangeran selanjutnya? Kamu, atau dia?"
Now playing | Breaking Dawn — I'LL
***
Aldian dibunuh, gue yakin itu.
Kasusnya sama kayak Kak Nizar.
Ya ampun, gue takut!
Kasihan Aldian.
Gue gak terima ini.
Gue denger-denger, kondisinya sama persis dengan Kak Nizar.
Serius lo?!
Wah, gila ini. Pasti ada hubungannya lagi sama cewek baru itu.
Sebelumnya adalah mantan Ketua OSIS, sekarang kapten basket. Sebenarnya, sekolah kita kenapa, sih?!
Cewek baru yang namanya mirip sama bunga itu, kan?
Iya, Daisy.
Kenapa bukan dia yang mati aja?!
Gue gak terima kalau Aldian dibunuh!
Kalian tahu juga kalo cewek baru itu lagi deket sama Aldian, kan?
Iya, kemarin kita juga bahas itu. Aldian juga nembak dia.
Jawabannya ditolak.
Sadis nih cewek.
Berasa dirinya paling cantik kali, ya?
Padahal modal muka glowing doang udah sombong gitu.
Kelewat glowing itu, mah. Malahan mirip mayat hidup.
Jadi, Aldian meninggal setelah ditolak sama cewek baru ini?
Katanya sih gitu.
Wah, ada yang gak beres, nih.
Semuanya gak beres sejak dia jadi murid baru di sekolah kita.
So, apa kesimpulannya?
Cewek baru itu pasti pelakunya!
Woi, jangan nuduh sembarangan!
Lo gak lihat? Sejak dia datang ke sekolah kita, banyak hal aneh terjadi. Apalagi kasus pembunuhan Kak Nizar, sekarang ditambah Aldian.
Tambahin, Aldian meninggal setelah ditolak sama cewek ini.
Tapi, apa logis kalau dia pelakunya? Gue rasa mustahil deh kalau pembunuh di balik semua ini adalah seorang perempuan.
Kenapa mustahil? Banyak psikopat di luar sana yang bukan cowok.
Hus, ngomongnya!
Gue jadi takut, nih.
Udahlah, gaes! Biar polisi yang ngurus. Buat apa ikut campur? Mending belajar.
Kalau kalian menyimpulkan seenak jidat, dan setelah kenyataan yang terungkap adalah sebaliknya, kalian sendiri yang malu karena salah persepsi.
Hooh tuh, betul.
Semua itu gak seenak jidat kali. Kita semua tahu ceritanya dari awal.
Dia pasti pelakunya!
Hati-hati aja, gaes. Siapa tahu kalian target selanjutnya.
Karen membanting ponselnya di atas meja. Dia menghela napas, mengusap wajah dengan kasar. Lalu menundukkan kepala, matanya terpejam untuk meredakan emosi. Karen menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak. Sesak rasanya membaca semua pesan obrolan yang mengarah padanya, membicarakan dirinya seolah-olah mereka tak tahu bahwa Karen menjadi anggota grup dan bisa membaca semuanya.
Setiap pendapat pro dan kontra tentang Karen membuat dirinya pusing, rasanya kepala Karen akan meledak. Ia menelungkupkan kepala di atas lipatan tangan, menenggelamkannya dengan jari-jari saling bertautan hingga menggenggam erat, terkepal.
Meski semua orang yang terlibat dalam obrolan grup tidak menyebut secara langsung siapa yang tengah mereka bicarakan, Karen bisa mengetahui bahwa dirinya adalah buah bibir mereka saat ini. Alih-alih bergosip di grup lain secara sembunyi-sembunyi, justru mereka semua terang-terangan mengobrol hingga menuduh Karen di mana Karen sendiri bisa membaca semua itu, seakan-akan dirinya memang diharuskan untuk tahu. Ya, Karen mengerti mereka sengaja melakukannya.
Kepalan tangan Karen di atas meja melemah, bergerak mendekap wajahnya sendiri yang memerah hingga akhirnya turun tetes demi tetes air mata di sudut pelupuk itu. Karen terbiasa diacuhkan, terbiasa tak menjadi pusat perhatian banyak orang, terbiasa menjadi gadis tak kasat mata yang kehadirannya selalu tak diketahui, namun semua itu bukanlah masalah besar untuknya. Lalu sekarang tiba-tiba dirinya digosipkan oleh semua teman barunya, dituduh sebagai pelaku pembunuhan yang bahkan dirinya sendiri sama sekali tak mengenal korbannya. Lantas apa kabar dengan perasaan Karen?
Rasanya sangat sesak, dan ikut membuat rongga-rongga pernapasannya seolah tersumbat hingga ia tak mampu mengontrolnya dengan baik. Karen masih terus menepuk-nepuk dadanya, mencoba meredam semua perasaan sesak itu meski tangisannya justru bertambah kencang. Ia terisak, isakannya mengisi keheningan di setiap sudut kamar yang tak memiliki penerangan itu.
Ponselnya berdering, menandakan ada sebuah pesan masuk. Karen meliriknya sekilas lalu kembali menelungkupkan kepala, memilih untuk tak membalasnya.
Genta
Ren, lo gak apa-apa?
***
"Paman Rendi?" Karen mengerutkan keningnya begitu melihat seorang pria tinggi berdiri di depan pintu rumahnya dengan senyum ramah. Ia tak tahu maksud kedatangan Rendi. Atau Devan sudah memberitahu Rendi tentang surat yang dia terima?
"Pagi, Karen. Boleh Paman masuk?"
"Ah, iya." Karen tersenyum kikuk. Dia membuka pintunya lebar, membiarkan Rendi masuk ke dalam. Beruntung dirinya sudah mandi pagi, jadi tidak begitu memalukan bila Rendi datang di saat dirinya masih bau iler.
"Kamu tinggal sendirian?" tanya Rendi basa-basi meski dia sendiri tahu jawabannya dari informasi tentang Karen yang didapatkannya.
Karen mengangguk singkat. Dia beralih menuju dapur untuk mengambil segelas air minum. Akhir-akhir ini Karen seringkali menerima tamu. "Ada apa ke sini, Paman?"
Memahami bahwa gadis yang ada di hadapannya bukanlah tipe orang yang suka membuang waktu untuk bertele-tele, Rendi langsung mengutarakan maksud kedatangannya. "Kamu tahu, kan, kalau salah satu teman sekolahmu ada yang meninggal?"
Karen mengangguk. "Saya tahu, Paman. Namanya Aldian."
"Benar. Paman hanya ingin menanyai beberapa pertanyaan ke kamu, sebab banyak teman sekolahmu yang lainnya mengatakan kalau kalian berdua akhir-akhir ini lagi dekat." Rendi menyodorkan ponselnya, menampilkan beberapa foto yang diambil secara diam-diam di depan rumah Karen.
Mata Karen membulat melihatnya. Ia menatap Rendi tak mengerti. "Apa ada yang memata-matai saya?"
Rendi mengangguk membenarkan. "Lebih tepatnya mereka memata-matai Aldian dan mencoba menguntitnya."
"Tapi, kenapa?"
"Jawabannya sederhana, karena Aldian terkenal di sekolahnya. Ibaratnya, Aldian adalah idola mereka. Dan mereka seperti penguntit idola, yang sangat ingin mengetahui kegiatan apa saja yang dilakukan Aldian sampai akhirnya kamu juga tertangkap di sini." Rendi menatap Karen dalam lalu kembali bertanya, "Kamu kenal Aldian?"
Karen menggeleng. "Saya baru mengenalnya seminggu yang lalu. Dia tiba-tiba datang memperkenalkan diri di depan rumah, dan saya langsung mengusirnya."
"Apa saja yang dia katakan?"
"Dia cuman mengatakan nama dan bilang kalau dirinya adalah salah satu teman sekolah saya," jawab Karen. "Apa saya lagi diinterogasi?"
"Hanya wawancara biasa saja. Kamu pasti kemarin mendengarnya, Aldian menjadi korban pembunuhan dengan kondisi yang sama persis seperti Nizar. Ada hal lain yang dikatakan Aldian sama kamu?"
Karen terdiam, berpikir sejenak. Karena bila diputar kembali, Aldian hanya mengatakan hal yang tak ia mengerti.
Gue mohon, untuk kali ini lo jangan sok jual mahal.
"Dia bilang saya gak boleh sok jual mahal," ujarnya.
"Dia bilang gitu?" Karen mengangguk membenarkan. "Lalu?"
Please. Bantu gue, Ren. Gue gak mau mati.
"Dia juga bilang kalau dia gak mau mati. Bahkan beberapa kali Aldian maksa saya buat bantu hal yang gak saya tahu apa itu." Karen mengerutkan kening, mencoba mengingat kejadian hari lalu. "Saat dia nembak saya, rasanya Aldian gak tulus. Dia terlihat terpaksa, dan menyedihkan. Aldian bilang saya harus nerima dia, tapi saya tolak."
"Apa ada hal lain lagi yang menurut kamu janggal? Tidak, katakan semuanya saja yang kamu lihat sejak Aldian datang."
"Aldian selalu bawa sesuatu waktu ketemu saya, misalnya buket bunga dan terakhir kali dia bawa boneka besar buat saya. Dia selalu pakai pakaian yang rapi, bawa mobil mewah juga. Cuman itu, Paman." Karen beralih menatap pintu rumahnya, seolah memutar ulang memori yang pernah terjadi padanya. "Ah, ya. Ada hal penting lain yang harus Paman tahu."
Rendi terlihat tertarik dengan kalimat Karen. "Apa?"
"Saya kira Devan sudah menceritakannya, tapi sepertinya belum. Saya dapat surat anonim lagi, Paman. Kali ini dalam bentuk paket, dilengkapi bunga daisy." Gadis itu terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Dan saya yakin pengirimnya adalah pelaku pembunuhan itu. Keduanya orang yang sama."
"Boleh Paman lihat paket yang kamu terima?" Karen mengangguk, mengambil semua yang ia terima dari orang tak dikenal dan menunjukkannya pada Rendi.
"Maaf, karena selama ini menyembunyikannya." Ia merasa bersalah, memang tak seharusnya Karen menyembunyikan semua surat itu. Dia bukan detektif yang bisa mengungkap apa yang sebenarnya menjadi petunjuk di dalam surat tersebut.
"Sejak kapan kamu menerima ini?"
"Sejak Aldian datang ke rumah saya."
Rendi mengusap wajahnya, tak menyangka bahwa kasus yang ia tangani meluber kemana-mana. Tampaknya pengirim surat yang Karen terima tengah berusaha untuk membuat petunjuk bagi mereka. Atau ini semua hanyalah pengalih perhatian?
"Paman tahu maksud surat ini," ujar Rendi tanpa aba-aba. Dia beralih menatap Karen. "Sepertinya kali ini akan ada target yang selanjutnya. Dan Paman punya rencana."
"Apa?"
"Pertama, Paman akan membiarkan kamu ikut andil di sini. Bawa Devan dan anak yang satunya lagi itu, hanya mereka yang sekarang lagi dekat sama kamu. Benar, kan?" Karen mengangguk. Ia berharap dengan begini tak akan muncul masalah baru lagi.
***
To be continued....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top