Part 10
2020.10.10 [17.50]
GOODBYE
by Inas Sya
"Berhenti menatap jauh untuk menemukan siapa orang yang kamu cari. Bisa saja dia ada tepat di sampingmu."
Now playing | Psycho — Red Velvet
***
Jari telunjuk itu terus mengetuk setir mobil, pelan hingga akhirnya memiliki tempo sendiri membentuk sebuah irama seolah tengah menghitung detik. Satu tangannya mengangkat bunga daisy, memutar tangkai dan mendekatkannya pada indra penciuman. Semerbak wangi daisy yang sangat ia kenali membuat senyum lebar tersungging di bibir merahnya.
Bola mata yang tersembunyi di balik kaca berwarna hitam bulat itu bergerak menatap mobil putih yang baru saja melewati mobilnya. Ia melihat dua sosok pria remaja dengan paras tampan keluar dari mobil tersebut, yang satu langsung pergi memasuki gerbang sebuah rumah besar, sedangkan satunya memilih memperbaiki penampilan dengan menyugar rambut di depan kaca spion.
Tatapannya berubah tajam, dengan raut wajah yang dingin ia mematahkan tangkai daisy di tangannya lalu mencengkeram kuat mahkota bunga itu. Ketukan jarinya pada setir mobil terhenti, kini fokusnya pada dua pria tadi. Hingga pada menit-menit berikutnya dia hanya diam, menunggu sekaligus menebak apa yang akan terjadi nantinya. Lalu pada kesempatan lain ia akan memikirkan bagaimana cara untuk membuat jalannya kembali mulus tanpa halang.
"Haruskah aku menyingkirkan mereka?" Bibirnya melengkung miring, lalu matanya beralih menatap plat mobil putih yang ada di depannya.
Ia menyalakan mobil, memutuskan untuk pergi dari sana. Ada banyak hal yang harus ia lakukan sekarang, mungkin dengan merencanakan sesuatu yang lebih besar lagi.
***
"Ini suratnya." Karen meletakkan sebuah kotak yang telah terbuka, ada bunga daisy dengan surat tulis tangan di dalamnya. Genta dan Devan berpandangan, lalu keduanya beralih menatap Karen.
"Kita gak disuguhi minuman, nih?" tanya Genta gamblang. Tak perduli jika dirinya dianggap sebagai tamu kurang ajar yang meminta minum. Genta justru sedang mencoba melatih Karen untuk menjadi tuan rumah yang baik. Tidak mungkin ada tamu yang datang langsung Karen suguhi dengan surat anonim, ada baiknya Karen pergi ke dapur untuk meracik minuman. Minimal air putih, deh.
"Eh?" Karen menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Ia langsung melangkah pergi ke dapur, membawa tiga gelas jus mangga di atas nampan. Dilengkapi dengan biskuit cokelat yang selalu menjadi camilan Karen saat di rumah.
Genta langsung menyambar gelas itu. Ia menahan haus dari tadi. Jarak rumahnya dengan Karen lumayan jauh. Apalagi dia telah menunggu jemputan dari Devan di rumahnya sendiri untuk waktu yang lumayan lama.
Sedangkan Devan mengambil surat di dalam kotak, membacanya. Ia mengerutkan kening, lalu menatap Karen. "Lo dapat kemarin?"
Karen mengangguk, dia menunjuk depan rumahnya. "Gue dapet surat itu dalam bentuk paket dengan bunga daisy di atasnya. Gue kira ada orang yang iseng, tapi gue gak mungkin diisengin sama orang."
"Ada bunga daisy di atasnya?" tanya Genta, mulutnya kini penuh dengan biskuit. Devan yang melihat hal itu hanya geleng-geleng kepala, lalu mengikuti apa yang tengah dilakukan Genta. Ia mengamit beberapa biskuit dan langsung memasukkan semuanya sekaligus ke dalam mulut.
Karen lagi-lagi mengangguk. "Ada satu tangkai. Bentuknya sama persis dengan bunga yang ada di tangan korban pembunuhan itu. Gue yakin," ujarnya.
"Isi suratnya apa? Coba gue lihat." Genta merebut surat anonim dari tangan Devan. Dia membacanya keras. Bahkan sampai berulangkali dibaca, Genta tetap tak mengerti apa maksud dari surat tersebut.
"Gimana menurut kalian? Mungkinkah surat itu memang dari pelakunya?" tanya Devan, mencoba meminta pendapat Karen dan Genta.
Karen menunduk, ia mengambil bunga daisy di dalam kotak. Tangannya bergerak memutar tangkai bunga itu. Ini bukan hal yang jarang bagi Karen, ia dulu sering melihat bunga daisy bahkan mengumpulkannya dan mengikat menjadi satu buket. Namun kebiasaan tersebut telah menjadi kenangan tersendiri selama sepuluh tahun terakhir ini.
"Sebenarnya ada hal lain yang mengganggu pikiran gue," ujar Karen. Ia menatap Genta dan Devan. Seketika suasana lengang, entah karena hawa menusuk dari Karen yang wajah putih pucatnya kini terlihat lebih menyeramkan, atau karena mereka sadar bahwa saat ini pembicaraan akan menjadi lebih serius.
"Soal Aldian?" tebak Devan. Dari ekspresi terkejut yang ditampilkan Karen, ia yakin tebakannya benar. "Sikapnya kelihatan aneh. Meskipun jadi raja playboy di sekolah, dia gak mungkin punya niat deketin lo."
"Aldian itu cowok yang tadi?" tanya Genta memastikan. Devan mengangguk, dia bahkan menceritakan informasi singkat tentang salah satu teman sekolahnya itu.
"Setahu gue, kalau dia beneran deketin Karen, pasti ada dua alasan." Devan mengangkat kedua jarinya.
"Satu," ujar Genta memberikan kode pada Devan untuk melanjutkan kalimat.
"Dia terlibat sebuah permainan tantangan yang bikin dia harus deketin Karen. Aldian punya banyak teman buaya, apalagi dia punya harga diri tinggi. Kalau nolak tantangan pasti bakalan ngerasa malu."
"Dua?"
Devan menatap Karen dan Genta bergantian. "Dia punya maksud lain."
"Maksud lain kayak gimana? Dia ada niat jahat gitu ke Karen?" tanya Genta tak mengerti. Dia yakin Karen tak memiliki teman seperti Aldian, bahkan tak saling kenal. Lalu mengapa Aldian bisa memiliki niat jahat untuk gadis itu?
"Gue gak bisa pastiin. Intinya, lo harus hati-hati, Ren. Bukannya paket ini datang abis Aldian pergi dari rumah lo?"
Karen kembali mengangguk. "Tapi paket ini bukan dari dia."
"Lo yakin?"
"Gue yakin. Pertama, karena Aldian gak bawa apa-apa waktu ketemu gue. Kedua, mobilnya udah gak ada di depan rumah. Gue sempet denger ada orang yang ketuk pintu, tapi gak ada siapa pun di luar. Kalau memang benar Aldian orangnya, dia gak akan mungkin bisa pergi secepat itu bawa mobil tanpa gue sadari." Penjelasan dari Karen benar adanya. Tidak mungkin paket ini datang dari Aldian.
"Di rumah lo ada CCTV?" Kini giliran Genta yang bertanya. Di rumah sebesar ini, mungkin ada CCTV yang terpasang untuk waspada bilamana ada orang dengan niat jahat yang ingin mengambil sesuatu di rumah ini. Tapi, Genta kurang yakin sebenarnya. Pasalnya rumah Karen ada di pelosok, meski gang di depan bisa dilewati mobil. Terlebih lagi, daripada menyebutnya rumah besar, rumah ini lebih terkesan angker dengan dua pohon mangga besar di samping kanan kirinya. Bahkan gerbang depan saja sudah seperti gerbang menuju rumah hantu.
Karen mengangguk. "Ada CCTV di depan sama belakang rumah."
Devan menjentikkan jarinya. "Pas banget, pelakunya pasti ketangkap kamera CCTV."
"Tapi udah lama rusak. Cuman CCTV di belakang rumah yang masih berfungsi."
Genta menyandarkan punggungnya pada sofa. "Tabahkan hati hamba-Mu," gumamnya mengelus dada.
"Kalau gini caranya, kita gak akan tahu siapa yang kirim paket ini," ujar Devan. Dia menatap surat anonim di tangannya. "Apa di depan rumah lo gak ada CCTV? Di rumah tetangga misalnya."
Karen menggeleng. "Rumah depan udah kosong sejak dua tahun yang lalu. Gue gak punya banyak tetangga juga."
"Udah gue duga." Genta mengangguk-angguk mengerti.
Sekian lama mereka akhirnya terhanyut dalam diam. Devan masih menatap surat anonim di tangannya, mencoba menemukan celah yang bisa membantunya mengetahui siapa pengirim surat ini. Sedangkan Genta justru mengambil bunga daisy, mencabut satu per satu mahkota bunga hingga akhirnya habis.
Karen menolehkan kepala mendengar bel rumahnya berbunyi. Ia menengok keluar, pasalnya pintu depan rumah masih terbuka lebar. Kakinya melangkah tanpa alas mendekati gerbang, namun tak menemukan siapa pun di sana.
"Siapa, Ren?" tanya Devan dan Genta bersamaan. Keduanya menghampiri Karen.
Tatapan mata Genta langsung menangkap dua tangkai bunga daisy di bawah gerbang rumah Karen. Dia mengambil bunga tersebut, menunjukkannya pada Devan.
"Artinya dia baru aja ke sini?" Devan membuka mulutnya tak percaya. Dia segera mendorong gerbang, bergerak ke kanan kiri mencari keberadaan seseorang. Namun tak menemukan satu sosok manusia selain mereka bertiga. Dia mengusap wajahnya.
"Ada paket juga," ujar Karen tiba-tiba. Dia membawa paket tersebut ke dalam rumah, Genta menyusulnya. Sedangkan Devan masih sibuk di depan gerbang, berharap bisa menemukan siapa orang yang baru saja meletakkan paket itu.
"Sial!" kesalnya sendiri. Dia hendak menyusul Genta dan Karen, namun langkah kakinya terhenti saat menyadari sesuatu.
Bola mata Devan bergerak menatap mobil putihnya yang terparkir di depan rumah Karen. Namun yang menjadi fokus Devan bukanlah hal itu, melainkan sebuah dashcam yang terpasang di dalam mobilnya. Dia tersenyum. Bila pelaku meletakkan paket tepat di depan gerbang, pasti tindakannya akan terekam.
Di samping itu, Karen menyambar gunting di atas meja. Dia segera melepas kasar perekat yang membungkus paket, lalu membukanya. Seperti yang diduga, Karen menemukan sepucuk surat lagi. Meski tangannya kini gemetar, Karen tetap mengambilnya.
Hai, dear!
Kamu sudah memutuskan akan memilih siapa? Ingat, pilihanmu hanya dua pangeran, tidak lebih. Jika kamu memutuskan untuk melebihkannya, aku akan menyingkirkan semua pangeran itu. Aku sudah mempersiapkan yang terbaik untukmu, jangan sampai aku harus membuat hal yang terburuk untuk mereka.
"Gila," gumam Genta.
***
To be continued ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top