Part 1

2020.10.01 [00.05]

GOODBYE
by Inas Sya

"Permainan dimulai."

Now playing | Deep Breath - Kai EXO

***

Tidak seperti biasanya, di awal bulan Juli ini hujan datang dengan deras. Bunyi rintikan yang berasal dari awan hingga menyentuh bumi membuat Karen menyumpal telinganya dengan earphone. Ia tak suka bunyi hujan.

Kakinya melangkah pasti melewati setiap pijakan di lantai koridor sekolah barunya, SMA Andromeda. Bibirnya tak melengkung sama sekali, ia membiarkan rambut pendeknya lepek terkena cipratan air hujan. Payung yang ia gunakan langsung ditutup, meski sama sekali belum kering.

Karen membenarkan name-tag bertuliskan 'Karenina Daisy' yang terpasang agak miring di seragamnya. Dia menyusuri koridor mencari di mana ruang kelasnya berada.

Baru saja berbelok memasuki deretan kelas dua, langkah kaki Karen terhenti. Gadis itu terdiam membisu, bola matanya membulat terkejut, sepatunya terseret selangkah untuk mundur saat melihat tubuh seorang pria terkapar tepat di hadapannya.

Apa ini?

Darah yang mengalir mengotori lantai membuat perut Karen mual. Ia tahu pria di depannya sudah kehilangan nyawa. Tubuh dan bibirnya terlihat pucat. Namun, yang menarik perhatian Karen bukan kondisi mayat itu. Ia justru lebih tertarik pada setangkai bunga berkelopak putih layaknya bunga kertas yang ada di tangan mayat.

"Daisy," gumam Karen.

Perhatian Karen teralihkan saat ia mendengar teriakan melengking dari belakangnya. Ia berbalik, menatap seorang gadis yang berlari setelah melihat mayat pria itu.

***

Hari pertama untuk memulai tahun ajaran baru justru jauh dari ekspetasi murid dan para guru SMA Andromeda. Penemuan mayat seorang pria di depan kelas XI MIPA 1 membuat kegiatan belajar mengajar tidak jadi dilaksanakan. Arnold Andromeda, pemilik sekaligus kepada SMA Andromeda memutuskan untuk mengumpulkan murid-muridnya di aula dan mengumumkan bahwa KBM akan ditiadakan selama satu minggu ke depan. Mereka juga tidak diperkenankan untuk memasuki wilayah sekolah sebelum penyelidikan dari polisi selesai.

Beberapa polisi datang, mereka mengamankan lokasi dengan memasang garis polisi agar tak ada yang merusak TKP. Korban juga telah diamankan, dimasukkan ke dalam ambulan oleh pihak medis.

"Nama korban, Nizaro Maheswara. Umurnya 18 tahun, anak dari Raden Maheswara dan Maharani Putri. Tingginya sekitar 180 cm. Terdapat luka tusuk yang cukup dalam di bagian dadanya. Penyebab meninggal pasti karena kekurangan darah. Diduga korban telah kehilangan nyawa enam jam yang lalu. Ada setangkai bunga daisy yang ditemukan di tangan korban," ujar salah seorang polisi bernama Argo. Ia mengambil foto TKP juga mengamankan bunga daisy yang telah bercampur dengan darah korban.

"Ini kasus pembunuhan," gumam salah satu polisi berbadan gempal.

"Kalian menemukan sesuatu lagi?" Pertanyaan dari polisi dengan seragam berlambang satu balok emas itu terdengar. Tubuhnya tinggi, badannya tegap, di seragam kebanggaannya tertempel nama 'Rendi Nugroho'.

"Tidak ada jejak selain bunga itu."

Rendi memerhatikan genangan cairan berwarna merah kental yang mengotori lantai koridor. Ia merasa familiar dengan kasus ini, terlebih saat melihat bunga daisy di tangan korban.

"Para murid sudah keluar dari aula," ujar Tama melihat rombongan remaja berseragam putih abu-abu keluar dari aula SMA Andromeda. "Kita harus menginterogasi gadis itu, kan?"

Rendi mengangguk. "Saya kenal dengan salah seorang guru di sini. Biar dia yang menanyakannya pada saksi. Saya tidak mau saksi merasa takut bila berhadapan langsung dengan polisi. Sementara kita mengamatinya dari jauh."

"Siap, Pak."

***

"Apa yang sudah terjadi, Pak Arnold?" Arnold hanya bisa menundukkan kepala di hadapan para donatur. Ia telah membubarkan murid dari aula dan langsung menemui mereka ketika mereka tiba-tiba datang setelah mendengar kabar kematian Nizar.

"Benarkah anak Pak Maheswara meninggal karena dibunuh?" Pertanyaan itu terlontar dari bibir Adhyasta.

"Ini kasus serius, Pak Arnold. Bagaimana bisa kasus seperti ini terjadi di sini?" lanjutnya.

"Nama sekolah bisa tercemar. Lalu bagaimana dengan keluarga Maheswara? Mereka pasti sangat terpuruk dengan kematian putra pertamanya. Apalagi Nak Nizar meninggal di lokasi sekolah."

"Apa yang akan kau lakukan ke depannya, Pak Arnold?"

"Maafkan saya, Pak." Arnold masih menundukkan kepalanya. Ia benar-benar tak habis pikir akan ada pembunuhan di lingkungan sekolahnya. Apalagi korban adalah anak dari salah satu donatur. Hal ini membuat dirinya frustasi. Arnold tak tahu apa yang harus dilakukannya untuk menenangkan donatur yang lain.

"Bagaimana jika nyawa putra putri kami juga terancam, Pak? Kami tidak bisa tinggal diam saja," tanya Gautama.

"Untuk sementara ini, kasus pembunuhan Nizar akan ditangani oleh pihak kepolisian. Mereka pasti bisa menangkap pelaku yang sesungguhnya," ujar Robert, wakil kepala SMA Andromeda.

"Bagaimana jika pelaku tak tertangkap? Kami khawatir dengan nyawa anak-anak kami."

"Tenang dulu, Pak. Kita pasti bisa menangkapnya. Percayakan kasus ini pada kepolisian, saya mohon maaf sekali lagi karena kasus ini pasti akan membawa nama buruk bagi sekolah ini." Robert ikut menunduk. Dia menatap atasannya yang masih diam.

"Pak Arnold, apa yang harus kita lakukan? Para donatur merasa nyawa anak mereka terancam karena kasus Nizar ini," bisiknya.

"Kita tidak bisa berbuat apa pun selain menunggu hasil dari kepolisian, Pak Robert. Saya harap pelaku bisa cepat tertangkap," balas Arnold.

"Saya harap kasus ini tidak berdampak pada anak-anak yang lain, Pak Arnold. Apa kepolisian sudah menemukan bukti yang kuat? Atau ada saksi di kasus ini?" tanya Pak Gandara, salah satu donatur di SMA Andromeda.

"Ada saksi, Pak. Kita masih menunggu hasil dari kepolisian," jawab Arnold.

"Siapa saksinya?"

"Salah satu murid baru di sini. Namanya Karenina Daisy."

***

Karen melangkah masuk ke dalam ruang guru yang sepi. Ia menghampiri sosok Bu Maya, wali kelas barunya yang menyuruhnya untuk menemui beliau.

"Duduk dulu, Karenina." Maya mempersilakan Karen untuk duduk di depannya.

"Panggil Karen saja, Bu."

"Baiklah. Kamu isi data ini sebagai murid baru, ya." Maya tersenyum ramah pada Karen. Ia menyerahkan selembar kertas untuk gadis itu isi.

"Saya mau diwawancarai kan, Bu?"

Maya terkejut. "Eh?" Ia tak menyangka anak baru yang akan dididiknya cepat tanggap. Ia tersenyum lagi. "Bagaimana kamu bisa tahu?"

Karen mengambil pulpen dari dalam tasnya, ia mulai mengisi satu per satu persoalan mengenai dirinya di dalam lembaran yang diberikan Maya. "Ruang guru sepi. Saya juga jadi orang pertama yang menemukan mayat itu."

Maya tersenyum canggung. "Kamu tidak keberatan diwawancarai, kan?"

Karen menggelengkan kepalanya. "Saya sudah selesai mengisi data ini, Bu. Silakan wawancarai saja."

Maya mengangguk. Ia mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi seseorang. "Cukup jawab pertanyaan dari orang yang berbicara di telepon ini, ya."

Karen hanya membalasnya dengan anggukan. Terdengar bunyi sambungan terhubung, lalu suara berat seorang pria muncul ketika Maya menyalakan loudspeaker.

"Halo. Dengan saudari Karenina Daisy?"

"Ya, saya sendiri," jawab Karen.

"Apakah Anda siap untuk diwawancarai?"

"Saya siap."

"Apakah Anda berjanji akan memberikan kami seluruh fakta kebenaran yang Anda lihat dan tahu tentang kasus ini?"

"Saya janji."

"Baiklah. Apa yang Anda lihat waktu itu?"

"Mayat seorang pria dengan darah yang keluar banyak, juga setangkai bunga daisy yang sudah terkotori oleh darah itu."

"Tidak ada yang lain? Seperti hal yang mencurigakan."

"Tidak, Pak."

"Kapan Anda melihatnya?"

"Pagi tadi, sekitar pukul setengah tujuh lebih."

"Di mana tepatnya Anda berada saat melihat korban?"

"Di depan ruang kelas baru saya, XI MIPA 1. Saya lihat korban di sana, sedangkan saya sendiri berdiri di belokan."

"Apakah Anda melihat korban dengan jelas? Anda melihat wajahnya?"

"Ya, saya melihatnya dengan jelas."

"Apakah Anda mengenalnya?"

"Tidak."

"Mengapa Anda berangkat sangat pagi?"

"Saya rasa itu tidak terlalu pagi. Saya sudah sering berangkat di jam itu saat masih berada di sekolah yang lama."

"Ada alasan khusus Anda berangkat di jam itu?"

"Tidak, itu hanya kebiasaan saya."

"Apa pekerjaan orangtua Anda?"

Karen diam beberapa saat. Ia menatap Maya yang juga menunggu jawabannya. "Saya tidak memiliki orangtua."

"Maaf, bila pertanyaan saya menyinggung Anda. Apa orangtua Anda sudah meninggal?"

"Ya," jawab Karen singkat.

"Baiklah. Apa Anda mencurigai seseorang di sini?"

"Tidak ada. Saya baru pindah sekolah, ini masih menjadi tempat baru bagi saya."

"Baik, terimakasih untuk waktunya. Wawancara selesai. Bila saya butuh bantuan saudari Karenina, saya akan menghubungi lagi."

Sambungan terputus. Karen menghembuskan napas panjangnya. Ia melihat Maya yang tersenyum ke arahnya, seolah mengatakan bahwa Karen tak perlu merasa tegang setelah diwawancarai oleh polisi.

Sedangkan di luar sana, Rendi menyimpan ponsel yang ia gunakan untuk berbicara dengan Karen tadi. Ia masih mengamati Karen dan Maya lewat CCTV di ruang guru. Dari gelagat yang Karen perlihatkan, gadis itu menjawab apa adanya.

Pandangan Rendi beralih pada bunga daisy di hadapannya yang terbungkus rapi sebagai barang bukti. Pikirannya berkelana pada kejadian sepuluh tahun lalu.

Kasus ini sangat mirip dengan kasus pembunuhan Mentari.

***

To be continued ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top