2. Tim Sukses Kehokian Radi
Nama lengkap gue Radeya Dirja. Kata Bapak, beliau dapat ilham waktu tetangga sebelah hajatan dan nanggap wayang cerita Bharatayuda. Ada dua kubu di perang Bharatayuda, kubu Pandawa yang mencerminkan kebaikan dan kubu Kurawa yang mencerminkan kejahatan–kalau gue enggak salah ingat. Radeya yang lebih dikenal sebagai Prabu Karna punya sifat ksatria, tapi beliau masuk kubu Kurawa. Iya, Prabu Karna yang waktu perang roda keretanya terperosok ke lumpur.
Gue suka nama yang Bapak kasih, unik, membumi, dan jarang ada yang punya meski sempat disamakan dengan Raditya. Sayangnya, nama yang gue sukai ini menjadi hal pertama yang bikin gue minder di SMA Yayasan Nusantara.
Sembilan puluh persen murid SMA Yayasan Nusantara berasal dari kalangan berada, tipikal sekolah swasta. Otomatis, nama penghuni SMA Yayasan Nusantara lebih condong ke barat-baratan macam Vincent, Leonardo, Cheryl, Josephine, Edward, Hans, dan Juan.
Waktu pembagian kelas, gue enggak menemukan murid dengan nama Raditya atau Radeya–selain gue. Enggan merasa rendah diri sendirian cuma gara-gara nama, gue memutuskan untuk membuat Perkumpulan Pemilik Nama Indonesia Sentris, PPN IS. Sengaja gue kasih spasi biar enggak kelihatan jorok.
Anggota pertama dan kedua PPN IS adalah Priaji Adhikara–alias Aji–dan Anggoro Wisesa–alias Sesa. Dua murid itu sengaja gue ajak kenalan di hari pertama karena nama mereka Indonesia banget. Kabar baiknya, gue sekelas dengan Aji-Sesa dan dalam waktu kurang dari seminggu, gue berani bilang kalau gue sudah menganggap Aji-Sesa sebagai teman dekat alias sohib.
Sebenarnya, dua sohib gue itu agak meresahkan. Aji yang kelihatan pintar, kalem, dan hobi membaca karena pakai kacamata itu cenderung bicara apa adanya, sampai dianggap enggak punya rem dan sopan santun. Gue sendiri cukup kaget waktu pertama kali berkenalan dengan Aji, makhluk itu tanpa basa-basi tanya asal SMP gue dan dengan entengnya menuduh gue murid titipan. “Hah? SMP mana itu? Lu titipan ya?” Padahal gue bukan murid jalur titipan, tapi jalur hoki.
Sementara Sesa, entah dia dapat info dari mana, dia tahu latar belakang diterimanya gue di SMA Yayasan Nusantara. Jeleknya, tanpa rasa bersalah, Sesa menjadi penyebar pertama dari rumor kehokian gue. Dia murid pertama yang bilang gue direkrut ketua yayasan karena bisa memperbaiki feng shui sekolah.
SMA Yayasan Nusantara, punya lima kelas di setiap angkatan, dari A sampai E. Gue, Aji, dan Sesa termasuk dalam golongan murid yang terdampar di kelas E. Gue pikir, pembagian kelas ini berdasarkan nilai rapor, murid yang pintar di kelas A dan murid yang baris paling belakang waktu pembagian otak di kelas E. Ternyata, gue salah kaprah dan terlambat sadar kalau pembagian kelas ini berhasil memperparah rumor kehokian gue.
Biar gue jelaskan, Yayasan Nusantara punya beberapa sekolah di beberapa kabupaten termasuk di kota tempat gue tinggal. Ini tahun kedua mereka menerapkan program Kelas Unggulan Daerah, program ini menempatkan murid-murid terbaik yang dipilih dari tiap kecamatan–di kabupaten atau kota setempat–dalam satu kelas.
Gue akui ini program bagus, kalau diterapkan di kabupaten yang wilayahnya luas dan kualitas pendidikan dalam kabupaten itu belum merata. Masalahnya, Kota yang gue tinggali ini luas wilayahnya cuma 373 kilometer persegi dan termasuk dalam jajaran ibu kota provinsi. Gue yakin kota gue enggak butuh program ini, tapi gue enggak berani protes dan cuma bisa pasrah begitu gue tahu kalau kelas unggulan yang dimaksud adalah kelas gue.
Sekolah swasta memang biasanya punya program-program ajaib yang enggak ada di sekolah negeri. Gue pikir cukup Kelas Unggulan Daerah, tapi ternyata ada satu lagi program yang belum pernah gue denger sebelumnya. Program Kelompok Belajar Terkonsentrasi, program ini sejenis les mata pelajaran tertentu di luar jam sekolah, sifatnya enggak wajib, gratis, dan memungkinkan anggotanya untuk berpartisipasi mewakili sekolah kalau ada perlombaan menurut konsentrasi pelajarannya.
Program kedua ini, gue akui bagus, bagus banget. Misal gue ikut kelompok belajar matematika, gue bisa dapet les matematika secara gratis dan direkomendasikan buat ikut perlombaan matematika, keren. Teman sekelas gue yang notabene anak-anak pintar dari tiap kecamatan di kota tempat gue tinggal, semuanya mengajukan pendaftaran masuk kelompok belajar.
Kelompok belajar mata pelajaran eksak paling diminati murid di kelas gue, kalau diurut dari yang paling diminati biologi, kimia, matematika, fisika, astronomi, kebumian, dan terakhir ekonomi. Gue yakin gue bakal stress atau minder kalau gue pilih mata pelajaran eksak, jadi gue pilih ekonomi. Mata pelajaran ekonomi ada di urutan terakhir karena di kelas gue cuma gue pendaftarnya.
Aji ambil mata pelajaran astronomi dan Sesa ambil matematika. Singkat cerita, gue, Aji, maupun Sesa berhasil menjadi anggota kelompok belajar. Aji dan Sesa jelas diterima karena keduanya memang pintar dan pernah ikut olimpiade matematika tingkat SMP, meski kalah. Sementara gue, gue cuma bisa bersyukur ada di urutan terakhir dari sepuluh murid yang diterima masuk kelompok belajar ekonomi.
Gue enggak berekspektasi banyak dari kelompok belajar karena memang aslinya gue sekedar FOMO. Hokinya–gue mulai terdoktrin kalau gue memang hoki–tanpa gue sadari, gue mengaplikasikan satu kemampuan terpendam yang sebaiknya gue pendam saja. Kemampuan itu adalah kemampuan omong-omong alias sok-asik.
Hasilnya, gue berhasil dekat dengan guru pembimbing kelompok belajar ekonomi yang botak tengah, Pak Eko. Beliau ini tipikal guru muda yang asik diajak bercanda meski tampilannya macam guru angkatan tua dan botak tengah.
Kedekatan gue dengan Pak Eko menyebabkan suatu reaksi berantai yang luar biasa. Pertama, gue jadi semangat belajar ekonomi dan peringkat gue di kelompok belajar naik jadi peringkat lima. Kedua, sejak menjadi anggota kelompok belajar ekonomi sampai sekarang gue ada di tahun terakhir SMA, gue udah empat belas kali ikut perlombaan ekonomi. Separuhnya karena gue enggak bodoh-bodoh banget–khusus di pelajaran ekonomi–dan separuhnya lagi sekedar genapin peserta atau buat jadi teman guyon Pak Eko selama perlombaan.
Jadi, biar gue rangkum dulu rumor kehokian gue yang naasnya sudah berevolusi dari sekedar bisa bikin bagus feng shui sekolah menjadi:
“Noh, Radi, direkrut yang punya yayasan soalnya bisa bikin fengshui sekolah jadi bagus. Makanya dia masuk kelas unggulan daerah. Katanya ranking dia di kelas itu jelek, tapi enggak pernah dipindah gara-gara bawa hoki. Kalian tahu kelompok belajar ekonomi, yang tadinya enggak pernah dapat juara kalau lomba, sejak ada Radi beeeeh, langsung melejit.”
“Kabarnya kalau bisa jadi teman Radi, kita bisa ketempelan hokinya!”
“Si Priaji tahun kemarin lolos olimpiade astronomi sampai provinsi, salah satunya karena dia sohiban sama Radi.”
“Adek kelas banyak yang suka sama Radi, mereka penasaran Radi betulan hoki atau enggak. Kalau menurut gue sih, betulan.”
Hampir setiap hari gue dengar rumor-rumor nguawor tentang kehokian gue. Kadang gue merasa enggak enak hati ke Aji atau Sesa sebab rumor kehokian gue bikin usaha mereka kurang diakui.
Kadang.
Kadang-kadang.
Lebih seringnya, gue enggak bersimpati apa-apa ke Aji maupun Sesa karena mereka berdua yang jadi sumber utama menyebarnya rumor kehokian gue. Mereka sendiri yang mengaku bisa menang lomba atau dapat peringkat bagus karena berteman dekat dengan gue, taik lah.
Meski kelakukan Aji dan Sesa cukup meresahkan, gue masih anggap mereka berdua sebagai teman dekat. Toh, kami satu kelas sejak kelas sepuluh sampai kelas dua belas dan hampir setiap jam istirahat, kami duduk satu meja di kantin. Seperti hari ini, jam istirahat kedua, di kantin, gue makan bekal buatan Mamak, Priaji makan makanan kantin, dan Sesa sibuk baca dongeng di ujung kantin tentang kehokian gue di depan murid-murid kelas sepuluh.
“Gue tahu Sesa cuma bercanda. Tapi menurut lu, ini udah kelewatan belum?” Gue membuka obrolan dengan Aji sambil melirik ke arah Sesa. Omong-omong, Anggoro biasa dipanggil Sesa karena badannya yang kecil dianggap enggak cocok dengan nama Anggoro.
“Apanya?” Gue yakin Priaji pura-pura enggak paham karena deep down dia menikmati huru-hara kehokian gue.
“Rumor kehokian gue.”
Priaji taruh sendoknya di piring dan menatap ke arah gue dengan serius. “Lu merasa enggak nyaman sama rumor itu?” Gue mengangguk menjawab pertanyaan Priaji. “Lu enggak nyamannya telat, Rad. Udah menyebar, udah di luar kuasa gue buat intervensi. Lu yang tabah aja ya.”
“Ya, paling enggak Sesa jangan malah jadi penyebar nomor satu.” Gue protes ke Priaji sambil comot siomay dia satu potong.
“Itu juga di luar kuasa gue. Anak anjing itu enggak bisa diprediksi dan diatur tingkahnya. Lu coba bilang ke Sesa, siapa tahu kalau lu yang minta bakal didengar. Meski gue enggak yakin.” Priaji tepuk-tepuk pundak gue seolah dia sedang memberikan dukungan mental.
“Lu yang udah jadi temen Sesa sejak TK aja enggak didengar, Ji. Apalagi gue.”
“Nah, itu lu sadar. Ini mending, Rad.” Sekarang Priaji melihat ke arah Sesa, gue juga. “Jaman SMP, gue dikira homoan sama Sesa gara-gara anak anjing itu sok tantrum kalau gue tinggal. Untung di sini rumor kehokian lu lebih diminati, gue jadi bisa nyambi bersih-bersih nama baik.” Oh! Jadi itu alasan Aji dan Sesa gencar menyuarakan dongeng kehokian gue macam tim sukses partai politik.
Gue cuma bisa geleng-geleng kepala sambil ambil nafas panjang. Pasrah dengan keadaan dan ikut arus seperti biasa. Mengesampingkan perilaku Aji dan Sesa, gue melanjutkan makan siang sampai tiba-tiba nama gue dipanggil lewat speaker.
“Panggilan kepada Radeya Dirja, kelas dua belas E, ditunggu Pak Sabar di ruang BK, terima kasih.”
Gue langsung tatap-tatapan dengan Aji. “Lu ada masalah apa sama BK?” Aji kasih pertanyaan yang gue enggak tahu jawabannya.
“Mana gue tahu, awas aja kalau gue dipanggil gara-gara rumor yang kalian sebar, lu sama Sesa bakal gue seret.”
_____
PANDU
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top