TELEVISI

Seorang pemuda berlari tunggang langgang secepat yang dia bisa. Di sekelilingnya tampak koridor yang lengang, kotor dengan dinding berselimut lumut dan kerak yang terlampau lama singgah di dalam lorong segelap terowongan bawah tanah.

Pemuda itu kebingungan, napasnya tersengal dan derai peluhnya telah berganti menyelimuti tubuhnya. Bajunya pun terkalahkan dan lemas oleh deraian keringatnya.

Ketika di antara tiga persimpangan lorong yang saling bertemu, sang pemuda mengerling beberapa kali hingga ia terperanjat dengan bising yang memekakkan gendang telinganya. Sepersekian detik, sang pemuda mengalihkan pandangannya ke arah suara itu terdengar. Betapa terkejutnya ketika wajah dengan air mata darah, matanya yang melotot tak normal, seakan bola mata itu ingin lepas dari tempatnya. rambut wajah itu terulur ke bahu sang pemuda yang terpaku. Tubuh sang pemuda seakan ditancap dengan pasak lalu dililitkan dengan tali penjerat. Sedikit pun ia tak bisa lari dari tatapan sosok dengan aroma khasnya—aroma gosong.

Sosok itu mengedikkan bahunya, memutar menggelengkan kepala dengan irama yang amat lambat, seakan sengaja membuat sang pemuda semakin menusuk hormon ketakutannya. Mencabik pertahanan dirinya hingga sosok itu merentangkan mulutnya perlahan, laun makin membuat nyali sang pemuda terhempas ke udara. Mulut itu mengeluarkan suara retakan yang membuat ngilu. Bibirnya pun robek seketika itu juga, dagingnya terkoyak serta rahangnya pun patah. Bukan darah segar yang terlihat, melainkan darah hitam pekat berbau anyir.

"Ja-jangan ... ja... ngan, JANGANNN!!!"

***

"Ah, kok habis, sih!" Seorang pemuda berdecak dan menapuk pahanya yang tak terlindungi oleh celana pendek yang membalut kakinya. Sepersekian detik, ia masih memandang ke layar televisi yang masih menampilkan tulisan berwarna putih yang merayap ke atas layar hingga menghilang secara bergantian di layar yang sekarang telah berubah menjadi hitam legam.

"Ga, lo mau—"

Di samping pemuda tadi tampak Rega yang masih melindungi pandangan dengan bantal sofa kecil yang sedari awal telah diambilnya untuk pertahanan diri.

"Oy, lo kenapa?!" teriak Vino, teman Rega. Rega masih berusaha menetralisir rasa takutnya. Tubuhnya masih gemetar tak karuan. Hawa dingin dari pendingin ruangan Vino semakin mencekiknya.

"Nooo, lo bisa nggak, sih, matiin AC-nya?" pinta Rega yang masih berlindung di balik bantal kecil bludru berkelir hijau lembayung.

Vino menarik sudut bibirnya, ia memasang muka kecewanya. "Kan, sudah gue bilang, ini, tuh, film horor. H-O-R-O-R."

"Iya, gue tau, gue tau. Kan lo juga yang bilang, gue harus bisa lawan labay gue sama film-film horor. Makanya gue coba punya lo."

Vino semakin menunjukkan muka kecutnya. Seakan menyesal campur kecewa karena menurutnya, sahabat yang paling dekat ini tak bisa ikut diseret masuk ke dunianya.

"Gimana nanti gue ajak lo ke rumah hantu, yang ada ... belum masuk sudah teriak-teriak macam emak-emak rebutan sembako."

"Enak aja lo, itu mulut kayak kagak pernah disekolahin."

"Terserah lo, gue mau ambil minum. Lo mau minum apa?"

Rega memandang ke arah iris hitam milik sahabatnya. Tatapan seperti biasanya, tetapi Rega merasakan hal yang aneh. Rega bimbang apa yang dirasakannya. Selama sepersekian menit tak ada jawaban dari lawan biacaranya. Akhirnya, Vino mengulang pertanyaannya lagi.

"Oh, sorry, gue apa aja, deh, yang ada di kulkas lo. Semua angkut juga, nggak apa."

"Yeee, persediaan sebulan itu."

Vino berpaling dari Rega. Rega masih memperhatikan punggung yang menjauhinya.

***

Detak jam weker berbunyi dalam ritme yang tenang sebelum suara nyaring memecah keheningan.

Cahaya sudah menerabas ke sela-sela jendela kamar yang lengang. Seorang pemuda masih saja berbaring malas di tempat tidurnya. Ia menutupi kepalanya dengan bantal alih-alih menyumpal telinganya dari desing jam weker yang mengganggu ketidakinginan untuk beranjak dari tempat tidur.

Setelah sekian kali bising dari jam weker itu mengusik ketengangan sang pemuda dengan rambut pendek acak. Akhirnya, ia memilih untuk menyambar jam itu, kontan melempar dengan sekuat tenaga hingga benda kecil berlapis logam itu terhempas lalu terbentur dinding. Sepersekian detik, jam itu jatuh dan tergolek di lantai, menggelepar dengan dering sedikit lebih lirih daripada sebelumnya.

"Berisik!"

Pemuda itu bangkit, terduduk dan memejamkan matanya. Wajahnya menengadah ke arah langit-langit kamarnya yang bercat putih pualam. Kemudian, Rega beranjak dengan malas menuju kamar mandi yang berada di sudut paling kanan kamar.

Beberapa langkah telah ia tebas, ia melihat buku yang tergeletak di atas meja belajar. Ia memperhatikan buku itu. Rupanya, buku album saat bersama Vino dan Tomy di suatu tempat ketika studi tur yang diadakan oleh sekolah sebelum tiga tahun yang lalu. Genap setahun kepergian Vino.

"Kapan gue buka itu buku?" guman Rega.

Rega beralih ke buku yang menarik perhatiannya itu.

Rega meraba buku setebal ensiklopedia yang tengah menampilkan gambar-gambar keceriaan ketika bersama dengan kedua sahabatnya.

Tampak dirinya yang memakai kaus polo berwarna kuning bunga bakung yang tersiram sinar matahari sehingga terlihat sedikit putih, sedangkan Tomy memakai kemeja kotak-kotak dan Vino yang menyukai warna hitam—membalut tubuhnya dengan jaket hitam dengan kaus hitam polos dan stelan celana jin hitam dan sepatu sneakers.

Wajah kusut Rega berubah menjadi gamang. Kerinduan akan Vino kembali menyembul melalui bilik-bilik dasar ingatan yang sudah susah payah dipendamnya selama setahun penuh.

"Vin, lo, tuh, di mana?"

"Jangan pura-pura nggak dengar, deh. Gue nanya lo di mana?"

Desau angin menyabet gorden hingga helaiannya terentang tinggi, hal itu membuat Rega kontan mengerlling. Ketika Rega menatap gorden dan siulan angin yang masih terdengar, helaiannya mulai melayu dan kembali ke posisi semula.

***

Lagi, putaran itu kembali lagi dalam sepersekian menit. Pemuda yang sudah terjerat dari sosok misterius itu ingin melawan, hanya saja tubuhnya terlalu lemah untuk melawan, bahkan untuk sekadar menggerakkan jemarinya ia tak sanggup karena terlanjur ditelan dalam ketakutan.

Setelah itu layar televisi itu, seketika mati. Tomy mencari remote televisi yang tertimbun tumpukan bantal. Setelah beberapa menit lamanya, barulah ia menemukan benda hitam tersebut. Ia konta menyambar dan menekan tombol 'on'. Tak ada yang terjadi ... sampai beberapa kali ia menekan dan semakin kasar, karena kesal kejadian itu telah memotong siaran langsung film favoritnya: Spongebob Squarepants.

Layar hitam akhirnya mulai mencuatkan kelebat cahaya. Setelahnya, sebuat kalimat dengan huruf abjad aneh menyembul dari layar, huruf yang seakan diketik menggunakan mesin tik. Terdengar suara tuts-tuts yang ditekan.

Tomy semakin menajamkan pandangannya dan sampailah ia kepada tulisan yang berhasil muncul seluruhnya. Di sepersekian detik setelah tulisan itu muncul, Tomy membacanya dengan nada yang lirih. Tubuhnya dirayapi rasa merinding dan dingin es.

"WAITING FOR YOU."





So, bagaimana dengan part 1 ini?

Masih biasa aja? Tenang ... semoga kedepannya bisa makin menggelitik urat saraf, haha

So, bantu masukan, kritik, dan saran, yap ....

Sampai jumpa di part selanjutnya ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top