SELAMAT DATANG!


Pukul sepuluh malam, waktu mereka bersiap, berkemas untuk menjalankan misi. Empat dari ketujuh orang itu tengah menggendong tas punggung yang m.enjunjung hingga menutupi tengkuknya, sedangkan yang lainnya dengan tas kecil sambil membawa senter. Henda berada paling depan, disusul dengan Lilia , Gabriel, Aka, Feby, dan tiga orang dnegan jarak yang cukup jauh dari mereka yaitu Feby, Rega, dan Tomy.

Tomy mengamati punggung kawannya yang terlihat kaku.

Sepertinya dia masih tertekan dengan cerita yang tadi.

"Santai, Bro, ada gue di sini," katanya sambil menepuk pundak Rega.

Rega hanya mengangguk, memberi isyarat setuju.

Rega melihat di bidikan matanya yang menampilkan sebuah gambaran rumah yang terlihat sangat tua: dindingnya tampak lusuh, dan kusam, raut tua yang tampak pada atap dan tiang penyangga yang terkikis dan lapuk dimakan usia dan cuaca menerpa ganas. Di sisi kanan-kiri rumah tua itu rambatan suslur tanaman yang berkolobi telah mengitam dan kering. Tak jarang tusukan ilalang menjadi penghalang pandangan.

Feby sempat terkejut ketika tak sengaja ilalang itu menusuk kelopak matanya, membuat ia berteriak beberapa menit sambil kontan menutup mata yang masih terasa sakit dan perih. Rega yang tepat berada di belakangnya hanya memberi isyarat untuk Tomy agar segera mendekati gadis yang tengah merintih, Tomy yang saat itu juga menyadari dan langsung tanggap mendekati gadis dengan surai yang tergerai.

Tomy mencoba menolong, dengan lekas ia mengeluarkan kotak P3K dari dalam ransel. Rupanya kelopak mata Feby sedikit tergores, sayatan itu lekas dioleh dengan antiseptik menggunakan kapas, perlahan, sedikit membuat Feby mendesis.

"Gue pelan kok," kata Tomy, tetapi Feby tak membalas apa pun, ia hanya mengernyit, menahan sakit.

"Thanks, ya," kata Feby singkat.

Tomy hanya mengangguk, Tomy memasukkan kembali kotak P3K ke tempat semula.

"Kalian baik-baik saja?" sebuah suara menggugah di antara ketiga orang yang hampir mengubah posisi untuk kembali mengejar ketertinggalan dari kawan-kawannya. Henda yang sudah berada di depan rumah tua itu berteriak dengan kedua tangan terkatup di depan mulut membentuk lubang.

"Kita baik-baik saja, tenang kita menyusul ke sana," jawab Tomy dengan suara nyaring sambil mengacungkan jempolnya ke udara.

***

Ketujuh orang itu telah sampai di depan rumah tua, bentuk segitiga itu sudah melendut dan hampir patah di tengah. Jamur hitam telah menggerogoti hampir seluruh tubuh kayu yang tua.

Jendela rumah itu tampak berkerak, bagian ujungnya telah membentuk lubang dengan rambat retakan di sekelilingnya.

Henda berada di paling depan dari keenam kawannya, ia menengadah, menghembuskan napas.

"Kalian siap?" Henda berpaling ke arah belakang dan menatap kepada keenam temannya.

Tak ada jawaban, beberapa membalas dengan anggukan, beberapa hanya diam lalu mengekor di belakang.

Mereka kembali melangkahkan kaki, bunyi decit dari lantai yang terbuat dari jajaran kayu yang rebah terasa ringkih dan membuat cemas, mereka takut apabila ada yang patah, maka kaki mereka mungkin akan terjebak di dalamnya.

Lilia masih memandang ke arah jendela yang bagian kacanya terdapat lubang, gadis itu gemetar, sosok wajah yang tampak lebih besar daripada tubuh jendela mengintip, matanya melirik dari lubang. Mata itu sangat aneh, pupilnya berbalik dengan manik mata manusia. Makhluk itu sedari tadi memusatkan perhatian kepada Lilia, tetapi gadis bersurai cokelat ini hanya melihat. Di dalam pikirannya, ia mencoba untuk meredam rasa takut yang mennusuk jiwanya.

"Li, kau tidak apa-apa?" tanya Aka yang sekarang berdiri paling dekat dengannya ketimbang yang lain.

"Aku ... kita sedang diawasi," katanya kontan menengadah ke arah pemuda yang bertanya kepadanya.

"Semua yang di sini seperti sudah menunggu kita, mereka sudah mengetahui kita akan ke sini," lanjut Lilia.

"Ya, sebab itu kita ke sini, secara berkala mereka telah mengambil tumbalnya."

"Mereka berbeda dunia dengan kita, kenapa mereka sibuk dengan urusan manusia nggak ngurus diri mereka sendiri?" tanya Aka dengan polosnya.

Gabriel mendesis, jari telunjuknya ia lekatkan di depan bibirnya yang terkatup.

Mata Gabriel berserobok dengan manik mata milik Aka.

"Jangan keras-keras," lirih Gabriel di susul dengan Henda yang menarik ujung topi milik pemuda yang kebingungan dengan ulahnya sendiri.

"Gue bakal dimakan dong, nanti? Gimana, nih?" tanyanya, badannya gemetar dan mulai gelagapan, menyesal dengan yang diperbuat sebelumnya.

"Tenang kawan, kau tidak mungkin dimakan—" kata Tomy mencoba menenangkan temannya.

Seperkesian menit hening, Aka telah mengendurkan ketakutannya.

"Tapi, jiwamu akan dicabut perlahan," kata Tomy dengan suara berat hingga ketakutan Aka melejit hebat sampai ke ubun-ubun.

"Kalian jangan bercanda, mereka memang sudah menunggu kita, kalaupun, nih, ya, kita berhasil, akan banyak nyawa yang terselamatkan setelahnya," kata Gabriel tandas, Rega tak habis pikir dengan gadis yang berbicara amat yakin itu. Dia berkata dengan begitu mantap, lekat dengan fakta bahwa memang itu harus dilakukan.

***

Henda menyapu pandang, tak ada yang berbicara untuk melanjutkan topik, tangannya mengulur dan memegang handle pintu mencoba untuk membuka pintu rumah tua yang terasa berat, gagangnya hampir saja putus dari tempatnya melekkat. Pemuda itu menyugar, menyingsing tangan lalu kembali mencobanya, usaha yang dilakukannya secara berulang hingga beberapa menit yang termakan telah membuahkan hasil—pintu yang sisi depannya telah berselimut debu yang menjadi kerak terbuka. Decitan lain datang dari kegelapan ruang pertama yang mereka lihat.

Dedaunan yang berserakan di lantai tersapu daun pintu yang terdorong oleh Henda, sedangkan daun yang terjebak di tengah ruangan hanya menunggu waktu terakhirnya ada di sana.

Sorak-sorai ucapan 'Selamat datang' terdengar di telinga Lilia.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top