RUMAH


Semua sama tercenung, Tomy terdiam memandang ke arah wajah yang nelangsa tadi—Rega, matanya berkaca-kaca. Kejadian yang menimpa sahabatnya adalah pada hari ketika sesuatu hal terjadi padanya. Ada rasa bersalah yang teramat ketika ia baru menyadari tanda-tanda yang muncul yang kala itu datang menghampirinya.

Tomy menyungingkan senyum seraya berkata,"Ayolah kawan, lo jadi seperti bukan Rega yang kukenal."

"Maafin gue Tom, gue nggak tahu bakalan seperti itu kejadiannya."

"Gue juga nggak nyangka akan seperti itu, tapi gue, ditolong Tuhan untuk bantu ngelawan mereka dan nolong lo juga," ujar Tomy masih menyunggingkan senyum ke arah sahabatnya itu.

Feby yang paling tidak banyak bersuara sekarang menunjukkan gerak-geriknya dengan mengangguk, ia sudah memaafkan kejadian Rega terlambat untuk mengetahui kondisi Tomy. Feby malah membantu Rega untuk menenangkan diri alih-alih memberi bantuan kepadanya.

"Jadi, bagaimana kalau kita mulai dari pemecahan kata-kata yang telah terkuak tadi?" kata Henda memecah suasana. "Kita harus segera melakukannya. Kita nggak tahu, kita atau mereka yang sedang mengejar. Ini permainan mereka, menunggu apa tindakan kita, kalau kita tidak cepat ... bukan hal yang tidak mungkin mereka menghabisi kita satu persatu."

"Kau benar ...." Rega sudah menetralkan diri, ia berkata sambil mengangguk beberapa kali. Ia setuju dengan pendapat pemuda yang sekarang tersenyum sambil mengacungkan ibu jari ke arahnya.

"Tadi ada apa saja, Li?" tanya Henda kontan mengerling ke arah gadis yang memeluk notebook kecil dengan pena di jari tangan kanannya.

Lilia terperanjat, ia kontan memebenahkan sweternya yang melorot, dan mennyingkap buku catatan kecil di dekapannya. Helaian anak rambut yang mengganggu pandangan disugarnya.

"Sebentar aku, cari, ya, persaraan aku tadi sudah tandai," ungkapnya sambil membolak-balik helai demi helai kertas berkelir krem dengan warna emas di tepinya. " Aku beneran udah catet, kok, tadi," gumam Lilia.

***

"Kenapa Li? Hilang? Atau kerobek?" tanya Feby memberondong.

"Enggak, enggak kusobek, aku udah tandai pakai pena tadi, kok bisa nggak ada, ya?" tanya Lilia yang masih membolak-balikan buku saku kecilnya yang bersampul biru dongker dengan stiker bintang kecil di tepi. Ia yang masih heran—menekuk alisnya yang agak tebal, hingga kedua alis itu terlihat seperti hampir bertaut.

"Takapa Li," kata Feby yang sebelumnya menghampiri gadis yang memiliki manik mata hitam bak jelaga. Feby menepuk baha Lilia seraya merangkulnya. "Tenanglah!"

"Aku hafal kok," ujar Aka sontak mengalihkan pandangan orang-orang di sekitarnya. Gabriel yang sedari tadi mendengkus, menjadi sedikit tertarik dengan apa yang diucapkan Aka. Ia ikut memandang pemuda yang memutar topinya, pemuda itu tampak gugup, ia membuat gestur tak beraturan ketika sadar tengah ditatap Gabriel dengan intens.

"El, ja-jangan buat gue tegang, tolong." Hal itu membuat orang-orang di sekitarnya berubah sikap, Henda meminta Gabriel untuk membalikkan badannya dengan isyarat. Kemudian, Gabriel pun menuruti dengan malas.

"Yang El, katakan itu, aku ingat ada seperti rumah gitu, bayangannku, kalian nggak ingat?" Semua mata menggeleng, ada yang hanya diam tak memberi respons apa-apa. Pemuda yang kini melakukan gerakan mengangkat topi terus berusaha menetralkan kondisi dirinya yang tak terkendali ketika dia gugup.

"Gue bayangin, tuh, kayak ... ada rumah, dengan tangga yang entah di mana terus ada mainan anak seperti kuda-kudaan gitu, i dunno, terus ada burung gagak yang entah kenapa ada burung gagak. Lalu terakhir yang gue inget El mengatakan ada catatan ....." sepersiakn detik tak ada reaksi dari orang-orang yang sekarang mengelilinya.

"Itu rumah? Rumah apa, ya? Sepertinya rumah yang sederhana." Henda kembali mengusap tagu sambil melekatkan tangannnya yang lain di depan lingkar perutnya—menopang satu tangannya yang tertekuk.

"Gue pernah mimpi ... pas gue koma itu, gue mimpi, ada sosok yang berdiri di sebuah rumha tua gitu, nggak tau itu di mana tapi yang gue saksikan, tuh rumah, cuman sendirian, di tengah- tengah padang ilalang yang buat gue nggak mau mendekati itu rumah. Terus setelahnya hitam, terus gue sadar."

"Apa mungkin ... mereka memberi sebuah petunjuk?" tanya Feby, pandangannya mengarah pada Gabriel yang sedikit menunduk.

Sementara itu, Lilia masih menghalangi pandangannya, ia masih diselimuti rasa bersalah. Dirinya seakan lalai, dia sedang bertanya pada diri sendiri tentang kepastiannya menuliskan kata-kata yang disebutkan oleh Gabriel, Feby yang menyadari kesulitan Lilia terus berusaha untuk menghibur dan mendukungnya.

"Seperti yang dikatakan Tomy, mereka memberi petunjuk lokasi rumah itu," celetuk Gabriel.

Tomy menarik sudut bibirnya. "Tapi gue nggak tau, itu di mana? Bagaimana gue bisa tahu itu di mana kalau gambaran yang mereka liatin ke gue cuman sekadar itu? Terus nih, yang gue bingung, hubungannya sama hilangnya Vino, tuh, apa?"

"Kalian pernah mengunjungi seuatu tempat gitu? Mainan anak berbentuk kuda-kudaan, burung gagak, catatan, tangga, ada yang kalian ingat, nggak?" tanya Henda mengerling ke arah Tomy dan Rega secara bergantian.

"Gue nggak ingat," aku Tomy sambil mengusap mukanya gusar.

Rega masih bergeming, ia mengernyitkan dagu, memutar pikirannya, menelusuri ke sisi terdalam secara perlahan.

"Ini sangat rumit, El lo, nggak bisa bantu kami lagi, ngasih petunjuk lagi gitu?" tanya Henda kemudian.

Gabriel hanya menggeleng.

"Serius?"

***

Rega masih berpikir, Tomy pun ikut memutar pikiran, memejamkan mata seraya mengingat-ingat untuk menemukan petunjuk dari mimpinya itu.

"Ada sesuatu yang mau gue pastikan," kata Rega yang mengucapkan kalimatnya dengan intonasi yang lambat.

"Apa itu, Bro?" Tomy mulai bersemangat.

"Tom, lo inget nggak, kita pernah main petak umpet, terus kita main terlalu jauh, hujan deras bangat waktu itu sampai-sampai kita nggak mengerti arah pulang. Terus Vino yang masih waras di antara kita, sok, jadi pahlawan yang makin buat kita menjauh dari rumah. Kita berteduh di depan rumah tua pas ada suara pintu kebuka, padahal pintu di belakang kita jelas-jelas ketutup kita langsung kabur, hujan-hujanan di jalan," kata Rega panjang lebar. "Masa lo nggak inget?"

"Eh, serius? Gue nggak inget. Ingatan gue pendek kayak udang, lo cerita gue aja masih burem, itu kapan, ya?"

"Udah lama, Tom," jawab Rega pasrah.

"Terus lo tahu itu di mana?"

"Mana gue tau, itu, kan pas kita kecil dan kita udah lama pindah, cuman Vino yang masih tinggal di daerah situ, kan? Orang tuanya maksud gue," tegas Rega yang hanya memusatkan pandangan ke arah Tomy.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top