PINTU BESAR

Mata Rega terasa amat berat untuk sekadar mengerjap. Rega memaksa untuk membuka matanya. Ia tersadar bahwa ia harus menyelamatkan teman-temannya.

"JANGAN!!!"

Handuk kompres yang sebelumnya melekat di dahi Rega terpental dan jatuh ke kasur ketika Rega kontan terduduk, mengagetkan Lilia dan Feby yang berada tak jauh dari posisinya kala itu.

Feby kontan berlarian mendekati Rega yang masih kebingungan melihat skeitarnya.

"Re?" Feby kini telah berada di depan Rega dengan tubuh yang sedikit membungkuk, wajahnya sedikit dekat dengan posisi Rega duduk hingga Rega memundurkan tubuhnya.

"Lo ...."

"Hem?"

Sepersekian detik hening.

"Terlalu dekat, oy, lo bisa nggak, sih, jaga jarak, kalau perlu gue kasih segitiga pengaman, nih."

Feby tersulut emosi, tak segan-segan ia menapuk kepala Rega hingga sang empu terhuyung ke samping dan tersuruk ke lembutnya selimut yang masih tergelar di ranjang yang Rega duduki sakarang.

"Apa yang kau lakukan Feb?Dia baru saja sadar," tegur Lilia dengan wajah tampak panik, lekas Lilia memegang lengan Rega, agak canggung kerena ketika ia memegang lengan pemuda itu,  ia langsung melepaskannya kembali, kemudian ingin melakukannya lagi. Rega yang melihat gelagat Lilia memberi isyarat kepada Lilia dengan menggeleng dan memperlihatkan muka seriusnya.

Kau kenapa ada di sisiku terus, sih? Semakin kau mendekatiku, semakin aku .... arghhh gue udah gila, ya? batin Rega merutuki diri sendiri.

Suara pintu terbuka, membuat pandangan ketiganya beralih.

"Ohoy, Sleeping Beauty, sudah bangun?" seru Tomy dengan muka berseri melihat sahabatnya kembali tersadar dari tidur panjangnya. Tomy dan Gabriel menyembul dari balik pintu.

Rega tak membalas, ia hanya memperlihatkan wajah kecutnya kepada Tomy.

"Lo pingsan selama tiga hari," jelas Tomy kepada Rega.

"What? Gue? Tiga hari?"

"Iya, Re, kita khawatir lo kenapa-napa, tapi dokter bilang lo hanya kelelahan."

Rega tak mendengarkan perkataannya. Rega memandang ke arah pintu kamar apartemen yang kini tertutup itu.

Setelahnya Rega memandang ke arah teman-temannya.

"Gue mau cerita ke kalian, mungkin cerita ini agak menyakitkan ... ada yang bikin gue penasaran, tentang hilangnya Henda, gue belum mendapatkan gambaran tentang Henda."

"Apa yang mau lo ceritain ke kami, Sob?" Tomy masih menampakkan wajah berserinya.

Sinar matahari menyelisik melalui jendela yang sengaja Feby buka untuk membuat udara segar masuk dan menghangatkan ruangan.

"Gue mau cerita, gue ketemu Aka sebelum kita ke sini."

Sejenak hening.

Rega melihat tatapan penuh tanya dari teman-teman yang sekarang berada di hadapannya.

"Katakan pada kami Re, apa yang sebenarnya terjadi."

Rega memandang wajah nanar dari gadis yang sekarang memakai sweter berwarna kecokelatan, serupa dengan warna rambutnya yang kini dicepol. Tatapannya nelangsa, membuat Rega tidak enak hati untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

"Sebelumnya kita bisa berdoa untuk ketenangan Aka di sana."

"Maksud lo?" Feby bertanya dengan lirih. Namun, seperti orang yang sedang mengintrogasi. Dirinya sudah menduga, tetapi dugaan itu sudah ditepiskannya sepersekian detik lalu dan kini malah mencuat dari sebuah pesan kepastian.

"Lo semua ingin denger nggak?"

Semua mengangguk, kecuali Gabriel dan Lilia.

"Oke," Rega menarik napasnya sejenak, "gue mau cerita di saat gue ketemu Aka, kedua kakek dan nenek Tomy dan makhluk aneh itu dan apa yang terjadi."

***

Rega menceritakan semuanya, semua yang dilihatnya dan dirasakan. Juga pesan Aka padanya.

Semua yang berada di hadapan Rega menampilkan emosi yang berubah-ubah, tak jarang Tomy dan Feby kontan menanyakan setiap jengkal kisah yang terjadi. Pun kakek dan nenek serta pesan-pesan Aka kepada Rega.

"Yang gue bingung, kenapa Aka bilang itu ke gue coba? Emang gue punya apa? Gue cuman orang yang bisa ngeluh terus, malah Tomy yang selalu ada untuk gue, selalu dukung gue, bantu gue, semuanya," terang Rega, Tomy yang mendengar kejujuran sahabatnya itu hanya mengernyit terheran-heran. Pasalnya, baru kali ini Tomy melihat sahabatnya sampai seperti itu.

"Lo lebay, Sob." Tomy menapuk punggung Rega sampai terdengar bunyi nyaring.

"Gila lo, Tom, kira-kira, dong."

"Maaf, gue nggak sengaja, dia juga nggak kesakitan, kok, tenang," aku Tomy sambil terkekeh, sedangkan Rega memandang Tomy dengan tatapan sinis. Ia mendesis kepada Tomy dengan lirih.

"Lalu ... apa selanjutnya? Bagaimana kita kembali ke tempat itu lagi? Bagaimana dengan Henda?"

Sekelabat hening hadir menelan keramaian mereka.

"Kita tak tahu bagaimana kita kembali, apakah Henda juga telah—"

"Lo, ngaco, jangan bilang sembarang, ya!" bentak Feby pada Gabriel.

"Feb, lo cape, istirahatlah."

"Kok lo malah gitu, sih?"

Tomy nyengir, ia mengangkat kedua tangannya dan lekas-lekas menangkupkan kembali.

"Gue, bilang karena itu kemungkinan terbesarnya, tidak ada yang bisa kembali ke tempat itu. Kita pun amat beruntung bisa kembali dnegan dngan selamat." Gabriel mengatakannnya dengan penuh keteguhan. Sorot matanya menunjukkan kepastian yang tak dapat ditepis lagi.

Desau angin masuk melalui jendela yang sengaja terbuka. Helaian gorden itu berayun bagai sayap-sayap yang mengepak dengan lemah.

Lilia memperhatikan helaiannya dan matanya tertuju pada bentangan langit biru dan pikirannya melayang jauh, sangat jauh hingga ia berpikir seumpama langit akan bertatapan dengan wajah laut.

"Apakah aku ... bisa melakukannya lagi?"

"Apa? Kau ingin melakukan apa, Li?"

"Aku ingin mencobanya lagi, El, apakah mungkin aku bisa?"

Gabriel hanya menggeleng, Rega melihat sorot mata yang berbeda tatkala Gabriel memandang ke arah Lilia, lebih kepda seorang kakak yang amat khawatir kepada adik kecilnya yang ringkih dan rapuh, meskipun di luarnya ia tampak tegar.

Salam dans semangat berkarya terus yap kawan
terima kasih yang telah memberi masukkan
See ya ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top