HILANG DAN KEMBALI


Rega masih memperhatikan kawannya, Tomy seakan melihat jauh ke depan. Rega sedikit mengguncang pundak Tomy.

"Tom, lo nggak apa?"

Sepersekian menit hening, setelahnya Tomy menyadarkan diri. Mata mereka bersirobok.

"Ah, Re, gue nggakapa, gue hanya salah sebut tadi. Maksud gue ya, orang tua angkat gue, kan, kakek sempat berkunjung ke rumah gue, masa lo nggak ingat Re?"

Kali ini Rega ditudung oleh kawannya. Rega yang mendengarkan ucapn kawannya hanya membuat pernyataan afirmasi yang menyetujui bahwa apa yang diutarakan Tomy benar.

Sebersit rasa heran membekas di sorot mata Rega yang berada di bawah kedua alis tebal menukik. Rega masih memandang Tomy yang berpaling dan membelakangi dirinya untuk memberi sapa pada gadis di belakang mereka.

Lorong angin dan kabut mengelilingi ketiga orang yang masih berada di luar.

"Kau baik-baik saja? Kau tidak apa-apa?" tanya Tomy memberondong Lilia dengan pertanyaan.

"Aku tidak apa-apa, kita ke mobil sekarang."

Tak lama ketiganya mendekati mobil yang masih terparkir di depan rumah yang ternyata kelima orang yang sebelumnya telah tertidur lelap telah mengelilingi mobil.

Salah seorang dari mereka langsung bertanya kepada yang paling depan—Rega dan Lilia.

"Kalian ke mana saja? Kalian tak tahu kami khawatir? Hah?" tanya Henda, intonasi suaranya menunjukkan kekesalan.

"Maaf Da, aku tadi kebelet, aku minta bantuan Rega dan Tomy."

"Emmm, ya, nggak apa-apa, tapi lain kali jangan buat kami khawatir, di sini membuatku merinding, kau tahu itu Li?" tegas Henda mendekatkan wajahnya pada wajah Lilia yang masih tertunduk, bersembunyi di antara rambut panjangnya yang kini tergerai.

"Ini sudah hampir fajar, mesin mobil sudah bisa dinyalakan, yok, kita lanjut perjalanan!" ajak Henda pada ketiga orang di depannya. Rega dan Tomy melihat sorot mata sabit itu kembali, sorot mata yang menurut mereka memang menjadi ciri khas dari perempuan yang menyilangkan tangannya di depan dada dengan bersandar pada tubuh mobil SUV Hitam, oufitnya membuat ia tampak beradaptasi dengan warna mobil. Kemudian, semua orang masuk ke mobil lalu Henda menyalakan mesin, mobil itu kembali meluncur meninggalkan jejak di antara kerumunan ilalang yang menyaksikan.

Feby memperhatikan ketiga orang yang tadi berpisah dnegan kawanannya, tatapannya mengundang banyak tanya. Lilia, Rega, dan Tomy hanya membalas dengan diam.

"Tom—" Feby memusatkan atensinya pada pemuda yang mengerling ke arahnya.

"Lo lanjut menunjukkan arahnya."

"Gue nggak tahu lagi, tapi mungkin kita bisa tanya penduduk sekitar," ujarnya untuk mencoba agar Feby tidak terlalu kecewa terhadapnya. Meskipun Feby memperlihatkan wajah kecutnya, tetapi ia tetap berusaha sabar dengan mencoba mengambil sikap tenang.

Beberapa meter dan tak ada seorang pun yang mereka temui.

"Aneh sekali, perasaan pas pertama kita mau ke sini, padat penduduk. Ini kok sepi, ya?" tanya Aka sambil celingukan.

"Tunggu aja, sampai matahari muncul." Henda keluar dari mobil merenggangkan tangan ke atas lalu menguap.

"Gue ngantuk banget, nih," celetuknya.

"Perasaan udah tidur," sahut Aka, dengan raut muka penuh heran.

"Oy, lo yang enak, molor mulu di belakang kayak kukang," ungkap Henda dengan tangan menyilang seperti gerakan ingin memukul orang di depannya.

"Sorry, sorry, sekarang kita ke mana, nih?"

***

Semua orang terdiam, garis langit membentangkan warna hitam, sayup-sayup benang berwarna jingga menyembul di ufuk timur. Menjulur hingga ke cakrawala terjauh, beberapa area yang tampak gulita perlahan mulai tersiram oleh sinar sang bagaskara yang tak sabar menyambut makhluk bumi. Pun penduduk sekitar kampung tempat di mana kakek Tomy tinggal. Beberapa dari mereka telah menyosong fajar dengan cangkul di pundak dan tudung. Embun pagi tersingkap oleh angin yang membius, menjadikan beku betis yang telanjang dan kaki tanpa alas.

Tetetan embun pagi meluncur dari dauh pisang yang berayun tertiup angin pagi.

Seorang pak tua yang tengah memanggul cangkul menghampiri ketujuh orang yang masih mengelilingi mobil SUV hitam yang tampak mencolok dengan benda di sekitarnya—kebun dengan pepohonan dan rumput yang berkelir hijau sejuk.

Tomy beringsut, mendekati pak tua dan bertanya tentang alamat dan semua gambaran masa kecilnya saat terakhir kali mengunjungi rumah kakeknya. Pak tua itu terdiam, matanya menyapu pandangan di antara pemuda yang lain yang menyaksikannya. Pak tua itu tampak kebingungan.

"Maaf, saya tidak tahu letaknya."

"Tapi Pak, mungkin Bapak ingat di mana suraunya?"

"Tidak, maaf, saya tidak tahu." Lekas-lekas pak tua itu menjauh dan berlalu.

Semua terheran, semua tercenung memperhatikan pak tua yang berjalan dnegan cepatnya. Henda mengerling ke arah Tomy yang masih dipukul rasa bimbang.

"Sepertinya kita akan melakukannya sendiri, tanpa kakekmu lo, Tom." Henda mengeluarkan kalimatnya dengan fasih.

Sedari matahari terbit hingga kembali tergelincir, Rega dan keenam kawannya kembali pada rumah yang pertama kali mereka kunjungi.

Hari itu adalah pukul setengah enam sore, mereka berdiri di depan tanah lapang. Beberapa dari mereka keluar dan turun dari mobil, beberapa masih di dalam mengamati apa yang terjadi.

"Gue, tuh, ingat banget kalau tuh, rumah ada di sini. Gue hampir nggak pernah salah buat jadi penghafal jalan," aku Aka yang sekarang mendominasi. Rega dan Tomy mulai tertarik dengan tim itu sekarang.

"Jadi sepertinya kita cari jalan lain, atau kita cari secara acak kayak kemarin malam?" Henda mencoba mempertimbangkan beberapa alternatif yang mungkin bisa menjadi jalan keluar.

"Ya, mungkin itu boleh dicoba, nggak ada salahnya, kan?" kata Tomy mengambil pendapat.

"Kita mencoba memutar jalan, sepertinya bisa dilakukan dnegan memutar jalan, ini semacam ritual."

Kembali semua orang dibuat tergugu dengan ucapan Gabriel.

Sejenak hening.

"Ya, coba kita lakukan, berapa kali El?"

***

"Tiga sampai tujuh kali," ungkapnya sambil menyapu pandnagan dari arah Aka dan berujung di Rega.

"Kalian mau?" lanjutnya.

Hari berangsur menampakkan wajah padamnya. Sekeliling menjadi sepi dan senyap, bukan hal yang dipermasalahkan lagi untuk sekarang ini karena memang sedari awal tampak amat sedikit penduduk yang berlalu lalang.

Beberapa putaran, hampir dua jam dan ketika sampai di putaran ketujuh, rumah yang bersembunyi di antara ilalang itu terlihat beserta dua pohon jambu besar yang kini tampak lebih buas, pantulan cahaya rembulan pada malam purnama membuat kedua pohon itu terlihat lebih tinggi dan besar.

Aka sepersekian menit tercenung ia melongo melihat rumah dan area sekitanya. "Gue yakin nih, jalan yang sama dengan yang kita pijak tuh, sama, kalian nggak ada yang sadar apa?" sekarang ia berbalik menudung teman-temannya dan mereka semua hanya terdiam.

Aka meremas topinya. "Apa gue udah gila, ya? Selama ini gue benar masalah jalan tol, jalan besar, jalan tikus sekalian gue tau, kalau udah pernah ngelewatin." Aka yang mengakui dirinya tak digagas sekalipun dengan keenam orang yang sama menatap rumah di balik ilalang.

"Gue, sependapat sama Aka, kayaknya nih, rumah, emang ada apa-apanya, deh." Henda berkacak pinggang, merenggangkan kedua kakinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top