DERAI
"WAITING FOR YOU."
Tulisan itu melelehkan cairan berpendar berkelir merah, seperti darah. Tomy tergugu, dirinya tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan ketika Tomy membuka mata, tulisan itu pun menghilang. Layar televisi mencuatkan sinar seperti kilat setelahnya kembali normal dengan gambar siaran film kesukaannya. Ia menoleh ke arah waktu yang ditunjukkan di layar teelvisi. Waktu yang sama saat ia pertama kali menyalakannya. Tomy berpaling, memandang ke arah jam dinding yang bertengger di belakangnya. Ia memandang posisi dua jarum yang berwarna hitam dan satu jarum berwarna merah lalu ia kembali mengerling ke arah televisi.
"Aneh, perasaan tadi gue udah setengah jam nonton. Kok ...."
Tomy mengusap dagunya yang tak ditumbuhi rambut. Ia bersedekap. Kemudian, pemuda berambut agak gondrong itu mendesis, seakan dirinya tak percaya dengan kejadian yang telah dialaminya.
"Gue nggak lagi mimpi, kan?" Ia menepuk kedua pipi dengan kedua tangan yang terlungkup.
Seperkesian menit, berpikir dan tak ada jawaban, Tomy memutar pandangan, ia melihat ponsel yang tergolek di atas nakas. Sekelabat ada hal yang menusuk telinganya.
"Oh, ya. Gue lupa."
Tomy bergegas menyambar ponsel yang masih diam di atas nakas. Beruntungnya, ini hari sabtu dan perkulihan libur. Tomy meloncati sofa baca di kamarnya dan menuju almari yang berada di samping ranjang. Almari itu memliki tiga pintu, Tomy membuka pintu terujung dari dinding. Ia memilah baju dan melempar sembarang di ranjang, baju itu terpantul rendah sebelum terkapar di kasur terbalut sprei dengan gambar tim sepak bola idola Tomy.
"Re, Re. Kok, gue bisa lupa lo, sih."
Setelah membalut tubuhnya dengan setelah kemeja kotak-kotak dan celana jin serta sepatu sneakers berwarna biru dongker bergaris putih, hitam.
Tomy menjumput ponsel yang terakhir ditinggalkan di atas nakas, kunci mobil yang ia taruh tak jauh dari letak ponselnya dan dompet.
Ia mengambil langkah panjang untuk keluar dari kamar, setelah menutup pintu, terdengar teriakan yang membuat dirinya kontan berjengit.
Setelah beberapa teguran itu, Tomy menjulurkan kepalanya dari balik railing tangga. Tomy memusatkan pandangannya kepada wanita paruh baya dengan celemek yang melapisi daster batik yang dikenakan oleh wanita dengan rambut dikucir tekuk.
Sang wanita memasang wajah agak kesal karena baru teguran yang kesekian kali putra semata wayangnya itu.
"Tom, Mama bertanya, kamu mau ke mana?"
Tomy menyengir, gigi yang rapi dan putih itu tesembul dari kedua mulut yang tedinya mengatup."Tomy, ada tugas kuliah, Ma. Biasa balik malam, ya, Ma."
"Kamu ... hari sabtu itu waktunya kumpul dengan keluarga, biar temen-temanmu ke rumah aja, ayo, sini turun Mama sudah masakin sayur bayam dan ikan pindang kesukaanmu, ayo, makan dulu!" ajak Mama Tomy.
"Tapi, Ma... Tomy—"
"Eits, nggak boleh pergi sebelum masakan Mama habis!" sergah Mama Tomy dengan mengacungkan dan melambai-lambaikan telunjuknya.
"Ah, Mama ... iya, iya Tomy ke sana," balasnya dan langsung menuju tangga untuk menuruti keinginan mama tercinta. Tomy berjalan dengan langkah berat.
***
Mama Tomy memandang ke arah putranya yang sedang asyik menyeruput kuah sayur bayam.
"Tom, apa yang terjadi dengan temanmu itu?"
Sekelebat hening.
"Teman yang mana, Ma?" tanya Tomy berpura-pura. Di dalam hatinya, ia sudah mengira-ngira siapa yang dimaksud oleh mamanya itu. Bukan suatu kejadian yang asing apa bila mamanya tahu benar tentang dirinya, begitu pun orang-orang yang berhubungan dekat dengannya.
"Si Rega, dia sudah lama tidak main ke sini, Mama jadi kangen, dia sama Vino, ya, setiap kali melihat kalian bersama seperti adik kakak." Mama Tomy tersenyum lembut. Tomy menghentikan aktivitas yang sedang dilakukannya kala itu.
"Mama tahu, kan yang terjadi dengan Vino. Tomy sudah cerita ke Mama, kan?" tanya Tomy memberi penegasan. Ia berharap mamanya mengingat kejadian itu dan tak melupakannya.
"Iya, iya ... Mama tahu dan Mama paham, tapi nak Rega telah lama nggak ke sini, dia baik-baik saja, kan?" tanya Mama Tomy kepada anaknya yang masih bergeming.
"Tomy!" tegur Mama Tomy sekali lagi dengan nada yang agak ditinggikan.
Tomy tersentak, sisa air di sendok yang masih dipegang itu sontak tumpah ke mangkuk.
"Maaf, Ma, ,Tomy sepertinya harus buru-buru." Tomy memundurkan kursi dan lekas beranjak, sebelum menghampiri mamanya ia menjumput dan menyeruput susu cokelat, mengembalikan kursi ke posisi semula.
Tomy mencium tangan serta pipi sebelah kanan mamanya. Hal yang biasa dilakukan ketika ia hendak pergi dan ketika pulang.
"Hati-hati di jalan, ya, Nak."
"Iya, Ma," kata Tomy menanggapi perkataan wanita yang memiliki tinggi yang tdak lebih dari bahu Tomy.
Tomy berpaling dan meninggalkan mamanya, ia bergegas menuju parkiran mobil dan menyalakan motor. Sebelumnya, ia mengambil jaket bomber yang tergantung di depan pintu masuk. Tomy selalu mengikuti kebiasaan ayahnya dulu.
Sementara itu, Mama Tomy melanjutkan aktivitasnya—membersihkan sisa piring untuk dirapikan sebagian di meja makan dan sebagian lagi diletakkannya di wastafel untuk dicuci.
"Rega, semoga dia tidak terlalu terpukul dengan apa yang terjadi ... kasihan sekali kamu, nak." Mama Tomy menggeleng, tercetak sebuah kesedihan di raut mukanya. Tiba-tiba angin lembut nan dingin menyelisik ke ruangan dapur itu. Mama Tomy terperangah, ia berbalik, menghentikan aktivitas mencuci piring.
Mama Tomy tercenung dengan apa yang terjadi. Di sepersekian detik, ia melirik ke sekeliling. Namun, tidak ada apa-apa, tiada hal yang membuat angin itu menjadi terasa asing dan aneh.
***
Tomy masih melajukan motornya, masih lebih dari setengah perjalanan untuk menuju ke rumah Rega. Akan tetapi, derai air dari tubuh langit datang membasahi jalan yang dilalui Tomy, begitu pun tubuh Tomy bersamaan kendaraan lainnya juga ikut kehujanan. Tomy menepikan motornya, ia berteduh di sebuah warung kopi sederhana, tampak spanduk depan warung berkibar diterpa oleh desau angin yang ganas, angin itu membuat pengendara motor lain menggigil, mengelus tangannya, ada yang bersedekap. Tomy memandang wajah-wajah yang berkeluh dengan hujan yang datang secara mendadak ini.
Deraian air dari tubuh awan abu yang pekat membuat Tomy terbang pikiran. Ia menengadah ke arah langit.
"Apa yang terjadi? Perasaan tadi cerah-cerah, aja," kata Tomy dalam hati.
Kucuran air itu membasahi tubuhnya. "Lupa bawa jas hujan lagi," gumamnya sambil menahan hawa dingin yang menusuk ke tubuhnya.
Tomy mengeluarkan ponsel yang bersembunyi di balik saku jaketnya.
Ia membuka layar ponselnya, air yang membasahi helm yang dipakai pemuda dengan jaket dan celana jin yang sudah basah kuyup itu jatuh ke layar, seketika itu juga ia menyapunya dengan ibu jari.
Ia mencari kontak yang dituju—REGANJELAN PINTU—langsung menekan ikon bersimbol telepon.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Bagaimana menurut kalian part 2 ini
Adakah saran dan masukan?
Yuk bubuhkan komennya ^^ terima kasih yang telah mampir dan memberi masukan
Nantikan bab selanjutnya, ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top