Gone
Gone
"Ada suatu penyesalan ketika orang tersebut telah tiada; kamu belum sempat membuatnya bangga di detik-detik akhir hidupnya."
Kamu terdiam.
Tubuhmu membeku, tak bergerak sekalipun. Mata cokelatmu masih menatap sendu seluruh orang di tempat itu. Kamu hanya berdiri di sana. Jiwamu kosong, hampa menerima seluruh kenyataan pahit yang ada.
Di otakmu, pernyataan dokter itu terus-menerus diputar.
"Maaf, saya tak dapat berbuat lebih banyak lagi." Dokter keluargamu menghela napas panjang sambil tersenyum kecut. "Papa kamu telah berpulang ke rumah-Nya. Dia sudah tidak berada di sini lagi."
Kamu menangis dan berteriak sekencang-kencangnya waktu itu. Berulang kali, bibir tipismu terus memanggil nama ayahmu. Rasanya, saat itu kamu ingin membunuh diri sendiri, merasa menjadi orang yang tak berguna.
Ibu dan adikmu juga ikut menangis di sebelahmu. Namun, tangisanmu paling lantang. Suaramu sangat serak dan tersayat. Batinmu tak sanggup untuk menanggapi realita yang ada.
Kamu mengeratkan cengkeraman tanganmu pada sebuah payung. Kamu sudah tak peduli lagi dengan hujan yang menetes masuk ke sepatumu. Yang kamu pedulikan hanyalah ia, ayahmu.
Bahumu terus bergetar setiap detik. Kakimu sudah tak kuat untuk menumpu beban yang ada dalam tubuhmu. Bibirmu tampak kering dan kelu untuk berbicara. Matamu kian memerah.
Cipratan air hujan membasahi pakaian yang membaluti tubuh mungilmu. Air yang tergenang mengantarmu pada suatu tujuan. Kakimu menuntun langkahmu ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Hujan turun semakin teras deras. Kumpulan hiruk-pikuk orang di sekiarmu mulai berkurang. Mereka mulai pergi meninggalkanmu bersama dengannya. Kecuali, ibu dan adikmu.
"Stev ...," ibumu memanggil namamu. Namun, kamu hanya terus diam dan tak memberikan respon apapun. Ibumu hanya bisa menghela napas, ia membawa adikmu pergi bersamanya. Ketika ia melintasi dirimu, ia berkata, "Jangan pernah terpuruk hanya karena suatu hal yang tak terduga."
Ibu dan adikmu langsung berlalu. Kamu melihatnya, ada tatapan sendu yang diberikan oleh ibumu. Kamu tahu bahwa ibumu telah mengeluarkan seluruh penatnya di atas keterpurukan yang mendalam.
Payung yang kau pegang jatuh ke tanah. Hujan membasahi segenap tubuhmu. Perasaan yang kamu miliki berkecamuk. Tanpa kamu ketahui, masih ada beberapa orang yang memperhatikanmu.
Kamu jatuh bersimpuh dihadapannya. Tanganmu yang penuh dengan bulir-bulir air hujan mengusap kayu yang tertancap di atas tanah. Air matamu kembali meluruh. Bibirmu terkatup sangat rapat. Seluruh emosi membuncah dalam dirimu.
Hal itu terjadi lagi.
Di depannya, kamu menangis, meraung-raung dengan kencang. Melepaskan seluruh beban yang ada. Perasaanmu tidak tenang, ada sesuatu dalam dirimu yang tidak merelakannya untuk pergi dan tak pernah kembali.
Ia tertidur sangat pulas dalam sebuah peti. Tubuhnya yang berbadan tegap itu telah tertimbun oleh tanah. Kamu tak bisa melihatnya lagi. Kamu hanya bisa menangisinya di atas bumi.
Mimpi yang dulu hanya menjadi angan-anganmu kini menjadi nyata. Mimpi yang kamu kira dulu itu mustahil. Mimpi yang kamu kira itu hanya menjadi sebuah kiasan, bukan kenyataan.
"Pa ...." Akhirnya kamu bersuara dengan nada yang pelan. Kata-katamu diambil oleh angin seperti itu saja. Semua ucapanmu teredam di bawah air mata langit. Dalam kesedihanmu, cakrawala pun ikut mendukung.
"Stevanny tahu, Pa," ucapmu. "Stevanny itu anak yang bandel, nggak nurut sama orangtua, apalagi selalu buat papa kecewa. Padahal Stevanny tahu, papa itu sudah susah payah banget nyari uang buat aku, adik, sama Mama."
Tawa sumbangmu kembali terurai.
"Pa, boleh nggak aku minta satu hal?" Kamu bertanya, walaupun kamu telah mengetahui bahwa pertanyaanmu tak akan pernah dibalas lagi. Kamu melawan seluruh ego yang berada di dalam tubuhmu.
"Aku pengen banget ... minta seseorang atau siapa aja buat muter waktu," kamu tersenyum masam, "kalau ada, aku bakal samperin orang itu, minta waktu buat diputar kembali, saat aku kecil. Aku tumbuh dan berkembang dengan papa."
"Aku nggak tahu harus buat apa lagi, Pa. Aku nggak tahu kemana aku harus berlabuh. Aku nggak tahu siapa yang menjadi peganganku bila aku jatuh. Aku nggak tahu kemana aku harus pergi. Aku ... aku ... bodoh."
Kamu terdiam sejenak, sebelum melepaskan seluruh kata-kata yang telah tersimpan lama di tenggorokanmu.
"Papa nggak pernah merhatiin kesehatannya! Papa selalu membantah apa yang dilarang oleh dokter! Stevanny nggak tahu lagi apa yang ada di pikiran Papa!" Seluruh curahan hatimu, kamu keluarkan saat itu juga.
"Papa itu tega! Tega udah ninggalin aku sama semua orang!" Air mata kian membanjiri pipimu. Kamu memejamkan matamu. "Aku kangen papa. Kangen dengan kasih sayang papa. Kangen masakan papa. Kangen bahwa sebenarnya dalam sejarah keluarga ada kita."
"Aku sendiri nggak sempet bikin papa bangga." Kamu menyeka air matamu dengan kasar. "Di titik akhir papa hidup, aku justru hanya berdiam diri. Nggak mengucapkan janji di hadapan papa."
"Aku minta maaf, Pa...." Kepalamu semakin menunduk. "Atas kelakuanku yang selalu membuatmu marah, atas nilai-nilaiku yang membuatmu kecewa, atas sifatku yang selalu membuatmu sebal. Aku minta maaf buat semuanya."
Kini, kamu tersenyum tipis dengan binar kebahagiaan meskipun hujan terus menangis dan air matamu bergerumul di satu tempat.
Kamu mengucapkan kata-kata kuncimu.
"Semoga papa bisa bahagia di atas sana."
***
Tamat
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top