Gold Dust 5
Mimpi. Sebagian orang memercayai bahwa hal itu membawa pertanda. Buruk, jika mendapat banyak uang. Baik, kalau kebanjiran.
Mungkin karena Nenek yang mengasuhku. Jalinan antara kami tetap terikat kuat, sekalipun Nenek sudah berpindah alam. Seringnya, Nenek muncul sekelebat, di antara desir ombak di tengah gang. Namun, tetap membawa efek yang hebat. Rohku seperti dibanting untuk mengisi tubuh yang terlelap. Di tengah mata yang terpejam, seluruh uratku ditarik serentak. Sesudahnya, aku merasa lega dan kembali tidur. Tidak terjadi apa-apa. Aku mendefinisikan hal itu sebagai rasa kangen Nenek. Berbeda saat Nenek datang dalam keadaan kumal. Bentuk matanya yang menurun tampak semakin melengkung. Dingin jarinya menyentuh pipiku dan menggeleng. Seminggu kemudian, usaha Ayah bangkrut dan aku putus sekolah. Nenek, selain mungkin rindu, juga ingin memberiku suatu pertanda.
Kali ini, mataku menatap Nenek yang berjongkok. Kebaya merah kesayangannya melekat di tubuh. Kepalanya yang ditumbuhi rambut beruban menunduk. Tersedu dia menghadap sela lemari dan tembok. Suaranya lirih penuh isakan, seperti sehari sebelum dia meninggal.
Ada dorongan kuat untuk bergerak, tetapi otot-ototku kaku; seolah ada tali yang mengikat kuat di setiap sendi. Nenek di pojokkan perlahan menghadapkan wajah. Bentuk matanya melengkung ke bawah. Kulit keriput di wajahnya dibasahi air mata. Bibir tipisnya yang hitam bergerak. Memanggil. Alas bakiaknya berkelotak dalam setiap langkah yang memangkas jarak kami. Udara seketika dipenuhi aroma parfum Malaikat Subuh bercampur minyak angin yang selalu dipakai Nenek. Namun, semakin Nenek mendekat, bau yang terendus berubah menjadi semerbak kembang tujuh rupa. Nenek duduk di sebelah lenganku yang kaku. Kedua tangannya yang kurus dan penuh tonjolan urat menangkup pipiku. Seketika dingin merebak dan membuatku tersentak.
"Saroh!"
Cangkir yang aku pegang hampir terjatuh di sisi meja. Teh pesanan Madam memercik sedikit dan membasahi lantai ruang baca ketika kesadaranku kembali penuh untuk menarik cangkir; mencegah benda itu hancur berkeping-keping. Sambil bergumam maaf, aku mengelap lantai di dekat kaki Madam.
"Kamu enggak betah? Dari kemarin seperti orang linglung. Disuruh malah melamun, sekarang mau memecahkan gelas. Kamu mau pulang?"
Aku menggeleng. Madam memang setipe dengan Ibu. Selalu menatap tajam dan berdecak keras, kalau aku melakukan kesalahan. Bibir mereka sama-sama kehilangan rem untuk berhenti mengoceh. Yang sudah terlontar akan kembali keluar sampai mereka bosan.
"--mau pulang?"
Kepalaku kembali bergerak ke kanan dan ke kiri. Walaupun satu spesies, peraturan yang dibuat Madam memiliki keunggulan yang jauh di atas Ibu. Aku tidak dipaksa untuk balapan bangun dengan kokokan ayam tetangga. Juga tidak harus mengerahkan tenaga untuk menyikat pakaian dan mengepel lantai. Dan yang paling penting, tidak ada yang melarang aku mengganti saluran televisi. Di rumah, aku tidak bisa leluasa bahkan untuk makan. Di sini, aku bisa makan apa saja yang tersedia di kulkas. Memang ada peraturan yang mengikat, tetapi Madam memenuhi ucapannya untuk membiarkan aku bergerak; melakukan hal di luar kewajiban setelah mengerjakan kewajiban.
Walaupun aku tidak bisa menyumpal telinga dari suara tangis Nenek yang masih bergaung, tetapi ini adalah tempatku. Suami-istri Talkins menerimaku tanpa menyinggung soal fisik. Mereka mengerti privasi, aku yakin itu. Aku memang tidak pernah berinteraksi lama dengan Mr. Talkins karena dia sibuk bekerja. Namun, Mr. Talkins selalu menyapa dan mengingatkan aku untuk jangan lupa makan saat kami berpapasan. Madam juga seperti itu. Dalam kesempatan membawa teh pagi ke ruang baca, Madam selalu bertanya tentang: apa tidurku nyenyak? Istirahatku cukup? Sudah sarapan? Baru tiga hari, tetapi aku merasa terikat. Aku kembali merasa disayangi. Jadi, mana bisa aku menuruti firasat?
Ya, memang dari awal seharusnya aku lebih rileks, termasuk soal mimpi. Bisa saja yang dimaksud Nenek dengan ucapan pulang di sela-sela tangisnya adalah aku sudah pulang saat ini. Sudah kembali bertemu orang-orang yang bersedia memperlakukan aku dengan baik. Tangis Nenek bukan peringatan, melainkan rasa syukurnya. Pasti begitu.
"Sekarang kamu melamun lagi."
Aku terkesiap. Madam tengah menyeruput teh dengan punggung yang tegap. Posenya mengingatkan aku pada putri bangsawan di film kerajaan.
Madam meletakkan cangkirnya di atas piring kecil yang ditadah tangan kiri. Mata cokelatnya yang cekung kembali menyelisik. Tidak sampai lima detik, aku sudah menurunkan pandangan. "Robert sudah bangun?"
Aku mengangkat tatapan dan sebentar melawan sorot mata Madam. "Tadi waktu saya ke sini, Mister belum keluar kamar, Madam." Hanya sebesar bisikan yang bisa dihasilkan pita suaraku.
"Sudah waktunya kamu sarapan."
Aku mengangguk dan berjalan mundur sampai punggung menyentuh pintu. Jalan seperti ini lebih baik ketimbang jalan jongkok seperti yang diinginkan Madam saat pertama kali aku mengantar teh. Madam berkata, dia ingin merasakan kembali kehidupan sebagai bangsawan Jawa. Tidak banyak yang aku tahu. Penuturannya fakta atau khayalan, tidak bisa dipastikan. Namun, kecantikan paras di foto ruang depan, serta sikapnya yang diperlihatkan, mungkin memang dia keturunan darah biru.
Seandainya, Madam tidak mengalami anoreksia nervosa yang membuat dia tampak seperti tengkorak diberi nyawa--bahkan kulit kepalanya terlihat--pasti gelar wanita paling beruntung pantas disematkan padanya. Dalam keadaan seperti ini saja, Mr. Talkins masih mencintainya. Bukan sekali-dua kali aku menangkap ucapan cinta untuk Madam. Dan selama tiga hari bekerja di sini, tiga kali pula aku melihat Mr. Talkins menggendong Madam yang tertidur.
Suami setia.
Suami idaman.
Andai ada yang bisa seperti itu untukku. Tidak harus bule seperti Mr. Talkins. Biasa saja, tidak apa-apa. Asal dia bersedia membagi hidup denganku.
"Selamat pagi."
Suara berat dengan logat bule itu memang sudah biasa kudengar. Namun, ketika suaranya lebih dulu masuk pendengaran dibandingkan mata yang menangkap sosoknya, aku merasa lega karena panci kecil berisi air yang hendak diletakkan di kompor tidak jatuh dan menimbulkan suasana heboh.
Mr. Talkins berdiri di ambang pintu. Kaos dan celana pendek melekat di tubuh jangkungnya. Ini akhir pekan dan akan menjadi yang pertama aku melihat dia seharian di rumah. Kupikir, dia akan langsung menuju tempat Madam; ruang membaca. Namun, dia duduk memunggungi kaca besar yang memamerkan batang pohon dalam sangkar raksasa.
"Ingin membuat sarapan?"
Aku mengikuti arah tatapan Mr. Talkins dan mendapati panci kecil masih mengambang di atas kompor gas. Kalau bisa, aku ingin berkilah. Namun, satu bungkus mi instan yang sudah terbuka membuatku tidak bisa berkutik, selain menaruh panci di atas kompor dan mulai memasak.
"Saroh, apa istri saya masih menyuruh kamu jalan jongkok?"
Seharusnya, jawabanku terdengar jelas, tetapi ini lebih buruk dari dengungan lebah. Tiba-tiba saja seperti ada banyak dahak yang menempel di tenggorokan. Situasi ini tidak biasa, meskipun di pasar aku berhadapan dengan banyak orang. Madam selalu menghabiskan waktu di ruang baca, dan Mister berangkat kerja. Tidak ada yang mengawasi. Dan sekarang, aku merasa ditelanjangi.
"Debora memang selalu seperti itu." Mr. Talkins kembali berbicara. Kali ini diselingi tawa kecil. "Dulu kami juga berjalan jongkok sewaktu sungkem ke orang tuanya. Yah ... meskipun ayahnya berasal dari Amerika."
Aku menoleh sekilas dan mendapati Mr. Talkins tengah tersenyum. Di hadapannya ada buku tebal yang tertutup dan ditimpa kacamata. Fokusku kembali pada air yang baru mengeluarkan uap tipis. Berharap cepat mendidih.
"Usia kamu delapan belas tahun?"
Aku kembali menoleh dan mengangguk. Mr. Talkins sudah memakai kacamata, tersenyum lagi, dan mulai menunduk; membaca.
"Masih muda," lanjutnya, dan kemudian yang masuk telingaku adalah desis air yang mulai mendidih.
Aku sudah merencanakan untuk makan di kamar, seperti biasa. Namun, keberadaan Mr. Talkins yang duduk beberapa langkah dariku, membuat semua buyar. Mungkin lebih ke arah bingung. Madam berkata, bahwa aku tidak perlu memasak jika tidak diberi perintah. Namun, rasanya tidak sopan kalau hanya berkata permisi sambil melenggang dengan membawa semangkuk mi. Setidaknya, ada yang bisa kusuguhkan untuk tuan rumah.
Berbekal inisiatif dan ingatan praktek saat SMP, setelah mengangkat mi, aku memasukkan dua lembar roti di pop up toaster. Menggoreng telor dan membuat secangkir teh. Dengan menggunakan nampan, aku meletakkan menu sarapan--entah bisa dibilang menu atau tidak, jika dua lembar roti yang kupanggang agak gosong dan pinggiran telor ceplok tidak kalah hitam--di dekat sisi buku Mr. Talkins. Aku ingin cepat-cepat menyingkir. Jadi, ini akan dimakan atau tidak, bukan urusanku. Yang penting terlihat sopan dan aku tidak perlu merasa tidak enak.
"Untuk Mister." Suaraku tetap saja serak, meski sebelumnya sudah berdeham.
Mr. Talkins menutup bukunya dan tatapan kami bertemu. Keningnya berkerut samar. Mata birunya terarah padaku, kemudian pada piring dengan dua lembar roti dan telor agak hangus serta satu cangkir teh di atas nampan.
"Belum ada yang membuatkan saya sarapan, kecuali kalau saya meminta."
Mungkin lebih baik kalau tadi aku mengikuti rencana awal: jalan sambil bilang permisi.
Mr. Talkins tersenyum. Tangannya yang semula kukira akan digunakan untuk mengibas, ternyata menyentuh pundakku; memberi beberapa tepukan pelan di sana. Tawa kecilnya membuat hatiku disengat. Bukan pada titik di mana aku meringkuk. Ini suatu kelegaan. Seperti sesak yang tiba-tiba saja hilang.
"Duduk di sana." Dengan matanya, Mr. Talkins menunjuk bangku di seberang. "Kita sarapan bersama."
Dalam kelegaan yang menjalar ....
"Pulang, Saroh ...."
Suara Nenek terngiang. Dan aku menimpali, bahwa aku sudah pulang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top