Gold Dust 2
Masih banyak yang memercayai, bahwa jangan sembarangan membunuh hewan saat istri sedang hamil. Kalau pun terpaksa, hendaknya diiringi kata amit-amit, dan kalimat penangkal lain agar si calon bayi lahir tanpa cacat.
Mungkin mitos itu benar. Mungkin cerita yang dituturkan Nenek saat aku bertanya juga benar. Bahwa saat itu--seminggu sebelum aku lahir--Ayah menusuk mata seekor tikus dan menyiram hewan pengerat itu dengan air termos hingga mati, tanpa mengucapkan kalimat pantangan. Bahwa wanita yang sudah melahirkan aku tidak ingin menerima takdir dan pergi tanpa mau tahu putrinya disusui siapa. Bahwa Ayah menikah lagi bukan untukku, tetapi agar Ayah bisa memiliki keluarga yang sempurna; di mana ada istri setia serta anak-anak yang memiliki fisik lengkap.
Aku merasa tersingkir.
Meski tidak seperti Ratapan Anak Tiri, tetapi perbedaan itu ada dan mencolok. Saat Ayah bangkrut, contohnya. Di antara aku dan Lia, Ayah tidak mempertimbangkan nilai di rapor untuk memutuskan siapa yang harus berhenti sekolah. Padahal aku sekolah di SMP negeri, sementara Lia di swasta unggulan (ini karena Ibu yang ingin putrinya berada dalam lingkungan sekolah kaum atas). Wali kelasku bahkan sangat menyayangkan keputusan Ayah. Namun, sebesar apa pun bujuk dan tangisku, Ayah tetap kekeh.
Bagi Ayah, tidak ada perbedaan antara aku adalah lulusan universitas dengan aku yang hanya anak putus sekolah. Ujung-ujungnya pasti akan tetap bangun di pagi hitam dan ikut ke pasar induk, lalu turut menjajakan sayuran serta bumbu dapur di pasar. Ayah berpendapat, hanya orang-orang pemilik wajah elok yang dipekerjakan perusahaan besar. Model Lia, tambahnya. Lia memiliki tubuh proporsional. Tinggi dan padat. Lekuk pingangnya terlihat meliuk (satu hal yang selalu dia jaga). Meskipun matanya sipit sebelah, tetapi itu bisa diatasi dengan berdandan. Berbeda denganku yang memiliki masalah bukan hanya di hidung pesek. Mata kiriku belekan dan tidak bisa terbuka sempurna. Hanya menampilkan sedikit warna putih bola mata sejak aku lahir. Menurut Ayah, melamar untuk posisi office boy saja sangat susah ditembus. Jadi, daripada membuang uang (Ayah biasa membayar orang untuk membantu di pasar), lebih baik aku yang turun tangan.
Awalnya memang berat. Dibangunkan saat yang lain masih bermimpi, jelas tidak adil. Bahkan, Ibu masih memejamkan mata, dan hanya bergumam ketika kami pamit. Bersama Ayah, sisa malam dilewati dengan duduk di jok belakang motor. Langit masih gelap. Hanya satu-dua kendaraan yang mendahului vespa Ayah. Kelopak mataku kembali berat karena terpaan angin yang berbeda. Tidak gersang dan berdebu. Jakarta di pagi buta benar-benar menyuguhkan udara dingin yang enak untuk dihirup dalam-dalam. Namun, kenikmatan itu hanya berlangsung sebentar. Setelah memarkirkan vespa, aroma yang menyengat bukan lagi daun basah, melainkan perpaduan asam dan amis.
"Ingat ini baik-baik, beli sayur-sayuran di tempat Haji Kasmin." Dengan galak Ayah memberi tahu. Jalannya menjadi lebih cepat dan kakiku yang pincang tidak lagi bisa menyamai. "Kalau cabe dan bumbu dapur, di tempat Mang Odim." Lagi, Ayah berkata. Tubuhnya yang gemuk berhenti karena motor pengangkut banyak ayam lewat. "Nah ... beli ayam potong ditempat Ce Rima. Paham? Ingat itu baik-baik."
Aku ingat, di belokan ke berapa tempat sayur Haji Kasmin berada; di mana tumpukan cabe milik Mang Odim yang sejajar dengan milik orang lain; di sisi mana tempat potong ayam Ce Rima. Aku ingat, meskipun tidak mau. Meskipun berulang kali menyumpahi pekerjaan ini. Meskipun harapan untuk perubahan takdir masih ada, aku ingat untuk lekas mandi dan ke pasar induk, lalu berjualan.
Seolah aku adalah mesin uang baru, Ayah tidak memberlakukan hari libur. Ayah bisa pergi bersama keluarganya, tetapi sepetak ruangan di antara tukang parut kelapa dan ikan harus tetap buka. Tidak lebih baik karena Ibu memiliki bakat menghitung yang bagus (yang tidak bisa diturunkan kepada kedua anaknya). Ibu bisa tahu kalau aku melakukan kesalahan atau penggelapan hasil jualan. Pernah sekali aku menyelipkan selembar uang lima ribu, dan tidak boleh makan dengan lauk selama dua hari. Bagi Ibu, lima ribu bisa untuk membeli telor seperempat, dan itu ganjaran yang pas untuk aku yang sudah menilap uang.
Ibu memang pemegang kendali utama di rumah. Inilah yang disayangkan Nenek--ibu dari Ayah--tentang keputusan wanita yang sudah melahirkan aku. Seandainya, dia lebih peduli padaku. Dan jika memang orang tua kandungku harus berpisah, setidaknya wanita itu bisa membawaku. Memasukkan aku dalam kartu keluarganya, mengurus pembuatan KTP-ku, dan bisa memastikan aku lulus kuliah. Namun, semua itu sudah lama berlalu. Berharap pada masa lalu hanya akan membuatku merasa semakin terpuruk. Paling tidak, Ibu yang sekarang mau membantu mengemasi pakaian.
"Paling cuma dua bulan. Enggak lama. Yang harus diingat cuma kerja yang baik dan semua bisa selesai."
Namun, aku tidak bisa selalu menyukai Ibu. Atau Ayah. Dan kedua saudara seayahku. Seperti ada tembok raksasa di antara kami.
Aku tahu, ini tidak akan lama. Seperti kesepakatan Ayah dan Ibu dengan Mr. Talkins. Namun, sepanjang malam perasaanku tidak karuan. Ini merupakan pengalaman pertama tidak tinggal seatap dengan keluarga Ayah. Mungkin aku akan merindukan teriakan Ibu, bentakan Ayah, perintah-perintah dari Juna dan Lia, tetapi mungkin aku akan lebih merindukan selembar tiker yang sudah mengelupas gambarnya. Dua bantal lapuk yang kalau ditumpuk tetap saja batok kepala seperti menyentuh lantai. Dan selembar seprai yang menjadi selimut saat udara menjadi dingin. Kalau bisa, aku ingin membawa benda-benda itu.
"Di sana, kamu harus rajin. Jangan malas-malasan." Ibu sudah selesai dengan menarik ritsleting tas punggung Juna yang sudah diisi pakaianku untuk dua bulan. "Jangan membuat malu."
Aku mengangguk. Apa Ibu tidak capek? Sudah sepuluh kali terus mengulang nasihat yang sama. Ibu harus sadar kalau aku bukan Lia, yang harus dijelaskan berkali-kali baru paham.
"Nih, bawa."
Tas punggung Juna yang sudah menggembung itu langsung kupakai. Sebentar lagi aku akan pergi untuk sementara dari kontrakan tiga petak ini. Seharusnya, kemarin aku membersihkan setiap ujung atas sisi tembok agar terlihat bersih. Namun, Ayah tetap memintaku berjualan. Untuk terakhir kali. Kuharap, memang kemarin terakhir kali menyahuti ucapan pembeli yang minta dilayani. Kuharap juga, pagi buta kemarin terakhir kali menyusuri pasar induk dan pulang dengan tubuh terimpit sayuran di bajaj. Mengingat semua yang terjadi, kalau tidak pergi seumur hidup aku akan menjadi kacung di sini.
Keinginanku tidak muluk-muluk, hanya tambahan uang yang cukup untuk pergi dari keluarga ini. Kemudian memiliki usaha sendiri dan bisa kembali bersekolah. Jika Mr. Talkins memberikan hal itu, maka yang aku butuhkan hanya: tikar tipis yang sudah mengelupas gambarnya, dua bantal yang sudah banyak kehilangan kapuknya, dan seprai yang sudah memudar warnanya. Hanya tiga benda itu yang akan aku bawa dari rumah ini selain pakaian.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top