Satu

Dia menjanjikan kedamaian.

Dia berkata bahwa setelah kehidupan, akan dijanjikan kedamaian.

Dia berkata bahwa setelah kehidupan, tidak akan ada lagi derita. Hanya ada rasa damai dan tenteram.

Dia berkata, dengan melepas raga, semua janji itu akan ditepati. Jiwa akan pergi menuju kehidupan abadi yang tenteram.

Itulah makna hidup bagi dia, setelah menjalani kehidupan maka disambutlah kematian.

Kematian itulah perjalanan menuju kedamaian.

***

Tidak akan kulupakan hari di mana aku menjumpainya untuk kali pertama. Ketika dia berdiri di depanku, menawarkan suatu perjanjian akan kehidupan setelahnya. Menjanjikan kedamaian, itulah yang dia tuturkan kepadaku.

"Kematian adalah kedamaian." Itulah yang dia ucapkan. "Karena di saat itulah perjalanan awal menuju kebahagiaan abadi."

Aku terpana menyaksikan sosok yang baru saja mengangkatku ke langit. Kami berdiri berhadapan seakan masih di tanah seperti biasa tapi sekarang tengah mengambang tanpa tempat berpijak selain kegelapan.

"Ketika kematian menyambut, maka jiwa akan berpulang ke tempatnya kembali," lanjutnya. "Semua jiwa akan kembali ke tempat yang layak baginya dan mereka kekal di sana."

Aku diam, fokus akan rupanya yang jauh berbeda dibandingkan kebanyakan manusia yang kukenal.

Dia sangat tinggi, bahkan aku hanya setinggi pahanya ketika berdiri. Matanya kelabu, rambut hitamnya panjang sepinggang, sementara kulit pucat yang melapisi wajahnya membuat dia tampak bagai orang mati. Aura yang dia pancarkan membuatku gentar, seakan baru saja bertatap muka dengan sosok penjaga neraka.

"Inilah akhir perjalanan dari semua jiwa." Dia akhiri pidatonya.

Baru saja berjumpa, dia langsung membahas hal yang cukup berat bagiku. Mengapa dia bicara padaku seperti itu? Tidak ada entitas lain untuk diajak berdiskusi?

Aku tidak tahu mengapa bisa di sini. Ruangan ini begitu gelap, tapi dapat kulihat di belakang sosok tinggi besar ini sebuah singgasana megah. Tanda dia bisa jadi penguasa tempat ini.

"A ... Apa maksudmu?" tanyaku, gemetar.

"Kamu tidak ingat?" tanyanya, wajahnya tampak keras meski aku tahu dia sama sekali tidak marah akan reaksiku. "Aku tidak menghapus ingatanmu. Kamu ingat kehidupanmu, kamu harusnya ingat mengapa kamu di sini."

Otakku kembali mencerna ucapannya. Perlahan tampak gambaran demi gambaran berlalu melewati pandangan. Semua terdiri dari kenangan masa kecilku, dari sudut pandang berbeda seakan sesuatu telah mengamatiku selama ini. Aku simpulkan dari sekian banyak gambaran terlintas, mengapa aku bisa ke sini.

***

Aku tinggal di sebuah desa kumuh yang diisi dengan begitu banyak orang dari beragam kisah dan masa lalu. Semua sama sakitnya dari segi fisik maupun nasib. Bahkan tidak tampak satu senyum pun dari warga sana. Kenyataannya, memang benar kehidupan di sini sungguh menyedihkan. Tidak ada secercah kebahagiaan di setiap rumah yang tersusun, sebagian besar warga juga tidak bisa mengurus diri sendiri menyadari betapa sakitnya mereka. Ini desa yang kumuh, sehingga penyakit menjadi makanan sehari-hari. Kematian pun sudah dianggap begitu wajar seakan tidak ada bedanya dengan seseorang yang sedang menikmati tidurnya. Anak-anak yang terlahir di sini tampaknya berharap akan dikembalikan ke dalam rahim. Namun, aku justru bertahan meski sambil mengharap belas kasih orang lain.

Satu-satunya warga yang peduli padaku adalah tetangga yang kini mengurusku. Ketika orang tuaku tiada, dia orang pertama yang mampir dan menjemputku menuju rumahnya. Waktu itu usiaku baru dua belas tahun dan dia bersedia merawatku seusai kepergian mereka. Dia merawatku seperti anak sendiri. Bahkan aku merasa beruntung telah dipertemukan dengannya. Kebahagiaanku terasa cukup hanya dengan tinggal bersamanya.

Aku memanggilnya dengan sebutan "Bibi." Dia dulu tampak begitu dekat dengan ibuku dan kerap mengurus beliau di kala sakit. Melihat kebaikannya ini membuatku ingin berbalas budi. Namun, apa anak sepayah aku ini bisa?

"Kamu pasti bisa." Itulah ucapan Bibi yang selalu kuingat. Meski masih ragu, aku bertekad untuk membuatnya bangga.

Beberapa tahun berlalu, tepatnya pada ulang tahunku yang kelima belas, aku diberikan hadiah terbaik yang pernah kumiliki. Kini ada anggota baru dalam rumah kecil kami, bayi kecil yang manis. Dia lahir begitu saja ketika Bibi merasakan rasa sakit di perutnya, pada malam itu aku mendampingi Bibi menghadapi rasa sakit. Pada setiap jeritan yang memecah keheningan malam membuat hatiku tak tega menyaksikannya menderita. Hingga pada dini hari, lahirlah anak perempuan pertamanya. Karena dia tidak bersuami, aku sering disuruh untuk menjaga bayi itu selagi dia pergi.

Dalam lingkungan seperti ini, warganya pun jarang berinteraksi selain demi kepentingan atau desakan. Salah satunya Bibi yang sering didatangi klien. Ketika mereka datang, aku disuruh pergi ke ruangan yang sangat jauh hingga tidak tahu kejadian di luar sana. Kini, aku harus membawa serta bayi ini juga. Bibi juga menyebut bayi itu sebagai adikku, sama seperti saat dia memanggilku sebagai anaknya juga.

Bayi perempuan ini berambut hitam dengan mata yang sama. Dia begitu manis dan tidak rewel sehingga mudah diurus ketika ibunya tengah bekerja. Kuhabiskan sebagian waktu mengurusnya, meski sesekali membawa dia berjalan berkeliling tempat walaupun bukan tempat yang cocok untuk dijalani. Namun, adikku tetap senang.

Menjaganya adalah prioritasku. Meski tidak banyak yang memedulikan kami, aku tetap waspada kalau ada yang ingin berbuat jahat pada kami, terutama adikku. Untuk Bibi juga, aku kerab memerhatikan klien beliau kalau saja mereka berbuat onar. Namun, untungnya sejauh ini semua berjalan dengan lancar.

***

Setahun berlalu, kini adikku belajar melangkah meski sambil dipegangi. Dia belajar bicara dengan terus mengoceh, membuat suasana suram di desa ini menjadi sedikit lebih cerah.

"Ta ... Ta ..." Dia kembali mengoceh sambil mengayunkan pelan kakinya, selangkah demi selangkah.

Aku hanya tersenyum menyaksikannya berkembang begitu cepat. Melihatnya sudah cukup membuatku merasa senang.

"Ta ... Ta!" Dia menarik celanaku pelan, tidak melepas pandangan padaku, rupanya dia mencoba memanggilku.

"Ya, Samira?" Aku sebut namanya.

Dia menunjuk-nunjuk ke arah depan dengan wajah polos. "Ta?"

Aku terdiam begitu melihat sosok itu dari kejauhan. Seperti yang kututurkan sebelumnya, pertemuan kami tidak disengaja apalagi terduga sehingga menciptakan kesan yang melekat dalam pikiranku setiap kali mengingatnya. Sebuah pertemuan yang istimewa ketika kali pertama melihatnya berkunjung ke desaku.

Suasana desa, seperti biasa, sedang sunyi. Sehingga kedatangannya membuatku merasa waspada jikalau dia ingin berbuat onar. Memang wajar jika aku merasa curiga karena ini tempat terakhir yang ingin dikunjungi manusia mana pun, pemimpin kami saja enggan mengurus tempat ini, apalagi kalau seseorang tiba-tiba datang tanpa kabar seperti ini. Klien Bibi pun biasanya memberi kabar dulu baru datang secara diam-diam, meski mereka masih warga sekitar tempat ini. Aku anggap dia klien Bibi dari luar kota.

Ketika aku perhatikan pria itu, dia seakan memancarkan aura aneh yang membuat bulu kuduk meremang. Dia lelaki tinggi hingga aku bisa serendah bahunya saat berdiri, dengan rambut diikat sepinggang yang hitam. Terlihat wajahnya yang tampak keras seakan tidak pernah menunjukkan senyum apalagi merasakan kebahagiaan. Ini membuatku semakin awas. Siapa dia? Untuk apa ke sini? Apa dia klien Bibi? Atau justru orang yang tidak diharapkan?

Tanpa kusadari, Samira berjalan cepat ke arah pria itu.

"Ba ..." Samira berjalan sempoyongan mendekati sosok itu.

Aku panik dan berlari menyusulnya. "Samira! Sini!"

Namun, adikku ini tidak menggubris. Dia terus melangkah, hingga kaki kecilnya tersandung batu.

"Samira!" Aku menjerit panik. Namun, kekhawatiranku lekas terobati ketika tangan pria itu menahan Samira dari tanah.

Samira yang tampak tidak paham apa yang terjadi, hanya tertawa riang. Dia meninju-ninju udara dan melompat pelan, seakan memberi isyarat untuk digendong. Pria itu dengan pelan mengangkatnya, semakin kencang pula gelak tawa Samira, tanda dia puas dengan permainan kecil ini. Sepertinya pria ini menarik bagi anak-anak.

Mata kelabu pria itu mengarah padaku. "Ini adikmu?" tanyanya.

"I ... iya." Aku menjawab.

Dia dekatkan Samira kembali padaku, membiarkan adikku memelukku erat.

Pria itu langsung memberitahu maksud kedatangannya. "Aku ingin menyampaikan berita dari negeri seberang bahwa iblis bergerak menuju desa kalian."

Wanjay sudah lama gak lanjutin seri ini, cuma paling ini seri khusus isinya kumpulan spin off dari novel pendekku yang udah terbit ini, jadi pada dasarnya gak ada alur panjang. Jadi agak gimana kalau nulisnya kudu update lama.

Yaudah, sampai jumpa di bab berikutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top