~ Maiden of Moon (2) ~

Tales of Gods

| Maiden of Moon |
| Sang Putri Bintang |

***

Aku tidak bisa menyerah. Bagaimanapun aku akan kembali ke bulan!

"Bintang, pandu aku kembali ke bulan!" titahku.

Meski tidak ada balasan, aku dapat merasakan pancaran hangat dari Bintang seakan dia turut merasakan kobaran semangatku.

"Tapi, bagaimana?" bisikku ragu. "Bagaimana caraku pulang nanti? Apa aku akan baik-baik saja?"

Saat itu juga, mataku tertuju pada sosok yang melayang ke atas bulan. Tidak jelas wujudnya melainkan bayangan hitam menyelubungi.

Aku berlari mengerjarnya. Bisa jadi dia akan membantu. "Tunggu! Tunggu!"

Namun, jeritanku terasa sia-sia melihatnya semakin jauh bahkan tidak menoleh. Apa suaraku terlalu kecil?

Aku mendekap erat Bintang. Jantung berdegup kencang. Diri ini terguncang karena merasa akan hidup selamanya di tempat aneh ini. Bagaimana nasib bulan tanpaku? Lantas, bagaimana dengan rumahku nanti? Apa aku akan bertahan di tempat asing ini?

Bintang berpendar kembali. Muncul cahaya kuning menyilaukan mata. Aku perlahan menurunkannya dan membiarkan Bintang melakukan apa yang dia inginkan.

Saat itu juga, cahaya tadi meredup. Wujud Bintang berubah menjadi makhluk berwajah panjang, berkaki empat, dengan bulu putih, serta sepasang sayap. Bintang kini mengeluarkan suara aneh menyerupai "kikikik" layaknya bunyi gesekan. Sungguh aneh.

Aku terpana menyaksikan keajaiban ini. Menyadari bahwa Bintang ternyata bisa berubah wujud setelah sekian lama bersama. Aku dekati jelmaan Bintang lalu naik ke makhluk itu. Mengelus bulu putihnya kemudian berbisik.

"Antar aku kembali ke bulan," bisikku.

Saat itu juga, aku melayang kembali ke atas. Berpegangan erat dengan surai putih, melaju menuju bulan yang tadinya berbentuk bulat kecil kini semakin besar hingga aku kembali tampak bagai butiran debu.

Bintang dalam jelmaannya pun masih tidak bicara. Setelah kembali mendarat di bulan, aku lalu turun. Keadaan bulan sama seperti sedia kala. Syukurlah bisa kembali.

Ah, aku harus mengucapkan terima kasih ada Bintang.

Belum sempat memuji bahkan mengucapkan terima kasih, Bintang kembali ke wujud awalnya. Aku dekati kemudian mendekapnya erat sebagai tanda terima kasih.

"Terima kasih sudah mengantarku kembali," ucapku tulus.

"Raana."

Suara yang tidak asing.

Bayangan tinggi menjulang di belakang. Meski tahu itu siapa, aku tetap terkejut dan takut untuk menoleh untuk beberapa saat.

Mata cokelatku tertuju pada sosok yang masih tidak berkutik, seakan menunggu respons dariku.

Mentari.

Rambut pirang dengan sedikit garis biru, berkulit putih, serta mata kuning pucat namun tidak memiliki titik hitam di bagian tengah. Ia sangat tinggi, bahkan aku harus mendongak untuk melihat wajahnya. Bahkan saat aku berdiri, tinggiku hanya sampai pahanya.

"Raana ke mana saja?" tanyanya. Suaranya lebih terdengar penasaran alih-alih cemas. Sepertinya dia mencariku saat terdampar di tempat aneh tadi.

Bintang memancarkan cahaya lagi, kali ini menyalurkan kehangatan dalam dada, membuatku sedikit tenang. Bukannya kenapa, tapi pengalaman jatuh ke tempat asing sudah cukup membuatku takut.

Aku memeluk erat Bintang. "Raana bermain dengan Bintang. Tapi, malah terlempar terlalu tinggi hingga jatuh ke bawah sana. Kami berhasil pulang berkat Bintang yang menjelma jadi makhluk berkaki empat dan bersayap!"

"Maksudmu unicorn?" tanyanya seakan menebak.

"Apa pun itu," balasku. Aku bahkan tidak tahu apa itu, yang penting terasa menyambung dengan obrolan.

Mentari mengamati Bintang. Dia mengulurkan tangan tanda ingin aku menyerahkan temanku. Bintang pun beralih ke tangannya.

Diam saja, itu yang dia lakukan. Aku yang penasaran hanya berlutut dan mengamati.

"Bintang memang istimewa," ujarnya. "Sudah ada waktu kamu masih kecil, diciptakan untuk mendampingimu."

Aku mengiakan. "Bukannya aku tercipta bersamanya?"

"Tentu, kamu Putri Bintang." Mentari tersenyum. Dia kembali menyerahkan temanku. "Sekarang, Raana harus siap berkeliling semesta layaknya bintang."

"Maksudmu?" Aku tentu bingung.

"Berkeliling semesta, bukankah itu menyenangkan?" Mentari kembali tersenyum, dia berdiri lalu mengulurkan tangan. "Ayo!"

Masih mengenggam erat Bintang, aku tetap saja ragu. Meski aku dan Mentari cukup sering berjumpa, bukan berarti aku sepenuhnya tahu niat dia, bukan?

"Aku tidak mau kembali ke bawah sana!" tegasku sambil menunjuk bola raksasa warna hijau dan biru di bawah sana.

Mentari mengamati benda itu, dia tertawa kecil. "Itu bumi namanya."

"Bumi?" Aku mengulangi ucapannya. "Aneh juga namanya."

"Itu tempat tinggal makhluk-makhluk kecil, yah, meski ada beberapa yang lebih besar," jelas Mentari. "Sudah lama tidak berkunjung di sana. Sangat seru!"

"Seru?" Aku mengulangi ucapannya kembali, tidak terima dengan komentar tadi. "Raana ketakutan!"

Mentari malah tertawa. "Raana, Raana, kalau hanya sekilas, tidak bisa dinilai langsung."

Aku tidak menyahut.

Mentari berlutut hingga aku dapat melihat wajahnya tanpa mendongak terlalu tinggi. Dia menatapku dengan senyuman ramah, atau justru terlihat seperti anak kecil yang berusaha membujuk temannya agar ingin bermain.

"Di bumi ada banyak keajaiban yang disiapkan untuk kita jelajahi." Mentari melanjutkan. "Raana yakin tidak mau ikut?"

Aku memeluk lutut, mendengar ucapaan Mentari membuatku kian ragu. Bahkan sampai meremas terusan jingga yang kukenakan. "Raana tidak yakin. Bumi tampak menakutkan."

Mentari menatap ke bumi. "Tidak selamanya yang terlihat menakutkan itu benar-benar buruk."

Aku tidak mengerti maksudnya. Yah, mungkin karena perbandingkan usia yang terlampau jauh. Mentari bisa dibilang sangat tua dan jelas sudah menjelajahi tempat-tempat di alam semesta itu. Tapi, apa benar yang dia ucapkan itu?

Aku menatap Mentari, masih diam sambil memandangi bumi. Dari sorot mata tanpa pupil itu, dia seakan tenggelam dalam dunianya sendiri. Sepertinya dia bahkan tidak menyadari tatapanku.

Diam saja menjadi pilihan utama. Belum sempat berpikir lebih lama, muncul sepercik ide. Ah, apakah ini keputusan yang bagus?

Menarik napas, aku menatap Mentari dan memantapkan hati. "Baik, aku ikut."

Balasannya hanya berupa senyuman. Dia berdiri lalu mengulurkan tangan.

Aku pegang tangannya.

"Eits." Dia mengangkat tangan seolah menolak uluranku, seakan juga teringat sesuatu. "Tunggu dulu."

Saat itu juga, semburat cahaya menyilaukan menguasai pandangan. Yang kutahu, dia dapat mengendalikan cahaya yang muncul dari dalam dirinya. Sepertinya dia kembali bersinar meski risikonya bisa menyebabkan kebutaan bagi sekitar. Aku tidak tahu apa niatnya kali ini.

Menutup mata, aku biarkan dia bersinar lagi. Meski begitu, sinarnya bahkan masih bisa terlihat meski seberkas. Tanda betapa kuatnya cahaya ini.

"Raana."

Panggilannya membuatku perlahan mengerjapkan mata.

Mentari telah berubah.

Tingginya kini hampir menyamaiku, mungkin sedikit lebih tinggi. Rambutnya kini panjang nyaris sepinggang. Meski tatapannya tetap sama, penuh keceriaan serta semangat membara.

"Nah, kalau begini lebih baik," ujar Mentari. "Yuk, Raana!"

Aku kembali memegang tangannya.

Mentari melompat. Aku pegang tangannya dengan erat bersama Bintang di sebelah tanganku. Melewati batas yang biasa kulihat, semakin dekat menuju tempat yang disebut bumi.

Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top