Dua
Bibi menjamu tamu misterius itu dengan teh dan berbagai kue kering. Dia langsung menerima kedatangan pria itu, baru kemudian bertanya. "Siapa kamu?" tanya Bibi. "Untuk apa ke sini? Di tempat seperti ini tidak cocok untuk berwisata." Dari cara dia bicara, kutebak Bibi pun tidak menduga kedatangannya, tanda dia hadir bukan sebagai klien ibu angkatku.
"Aku Kaan. Aku menyampaikan kabar bahwa iblis bergerak menuju desa kalian," katanya. Dia bahkan tidak melirik makanan yang dijamu.
"Berita yang menakutkan," komentar Bibi, tampak berusaha tenang meski dapat kulihat bibirnya yang gemetar. "Kamu Pemburu Iblis?"
Rupanya dia menyadari dari segi penampilan, pria ini memang menyerupai seorang pendekar. Punggungnya terdapat sebilah pedang yang siap dihunus, badan yang agak kekar, belum lagi tinggi melebihi rata-rata. Membuatnya tampak seperti bukan warga sekitar wilayah ini.
"Ya," jawabnya singkat.
"Kamu berasal dari mana?" tanya Bibi lagi.
"Dari negeri yang jauh." Sepertinya pria ini tidak ingin mengungkapkan banyak hal tentang dirinya.
"Begitu." Bibi kemudian menimang Samira yang berbaring di pangkuannya. "Kami sangat jarang kedatangan tamu dari luar, maksudku yang mampir memberi kabar. Ah, kenapa tidak kamu sampaikan pada warga lain?"
"Aku hanya menetap sebentar," jawabnya. "Ketika iblis sudah kuhabisi, aku akan pergi."
"Kamu bisa membicarakan ini pada kepala desa," saran Bibi. "Dia bisa memberimu upah."
"Tidak, terima kasih." Wajahnya tetap tidak menunjukkan ekspresi. "Aku hanya ke sini untuk mengusir iblis."
"Kamu bisa mendapat upah yang layak," ujar Bibi. "Kamu mungkin kelelahan setelahnya."
Perlu menunggu beberapa saat sebelum pria itu membalas. "Aku tidak akan lelah."
Bibi diam, menatapku bingung. Belum pernah kami kedatangan tamu yang seperti ini, terlebih jika perihal melindungi desa kami. Rasanya janggal ketika seseorang hendak melakukan suatu kebaikan padaku secepat ini, terlebih kesannya seperti ingin melakukannya dengan cuma-cuma. Seakan ada niat terselubung.
Beberapa saat berlalu dalam keheningan, akhirnya Bibi menceritakan beberapa pengalaman seputar desa ini, walau dia menutup-nutupi keburukan sifat alami penghuni desa ini.
"Desa ini sudah lama diserang beragam penyakit, kamu mungkin harus membersihkan diri segera setelah meninggalkan tempat ini," saran Bibi.
Pria itu hanya mengiakan tanpa bertanya. Pria yang aneh, sungguh. Dia tidak menyentuh satu pun makanan, dia bahkan mengaku tidak akan kelelahan melawan iblis yang bisa menghabisi sepuluh pria dalam sekejap mata. Dari matanya, dapat kulihat sorot berbeda, seakan dia bukan manusia.
"Tuan, kamu tidak mau istirahat sebentar?" tawar Bibi.
"Aku hargai kebaikanmu. Terima kasih." Kali ini, dia terima tawaran Bibi meski suaranya masih terkesan datar dan kaku. "Aku senang dapat mengenal kalian." Dia berucap sambil tersenyum, entah kenapa membuatku merasa aneh.
"Sama-sama." Bibi tersenyum. Dia lalu menatapku. "Samir, antar dia ke kamar tamu!"
Sesuai titahnya, aku antar pria yang bernama Kaan ini menuju kamar tempat klien Bibi biasa menginap. Isinya sangat sederhana, terdiri dari satu kasur besar yang lumayan empuk dan lampu tidur. Tidak pernah aku menebak pasti apa yang dilakukan Bibi terhadap para klien yang terdiri dari pria semua, barangkali menginap sembari membahas sesuatu yang penting.
Kaan tidak berkomentar, dia masuk lalu duduk di kasurnya. Tak lama, dia menatapku tanpa senyuman lagi. "Terima kasih."
Aku mengiakan lalu menutup pintu.
***
"Ma ... Ma!"
Dini hari sudah terbangun akibat seruan Samira yang tiba-tiba rewel. Adik kecilku rupanya kelaparan dan menuntut untuk disusui. Aku yang kamarnya berada di sebelah Bibi dan Samira, beranjak dari kasur lalu menengok mereka. Dapat kudengar tangisan Samira pecah detik itu juga.
Samira menangis lagi, bahkan ketika Bibi mencoba menyusui pun tidak juga meredakan tangisnya. Adikku sampai menjauhkan wajahnya dari tadi.
"Duh, Samir, dibantu, ya. Jaga Samira selagi aku merapikan kasurnya dulu." Bibi menyerahkan Samira kepadaku dan bergerak menuju kasurnya. Barangkali Samira lebih rewel malam ini karena suasana berbeda. Sprai dan selimut yang tadinya membalut tubuh Samira berhamburan.
Aku pun menggendong Samira, tangisnya belum juga reda. Bahkan dapat kurasakan dia menendang tanganku dengan kasar. Namun, aku berusaha bersabar mengingat Samira masih belum berakal. Bibi merapikan kembali kasur yang selimutnya sudah tercecer. Begitu selesai, dia kembali memeluk Samira dan mencoba menimangnya.
Ajaibnya, adik kecilku langsung diam. Namun, matanya tertuju ke arah lain. Tepatnya ke pintu kamar. Seakan melihat sesuatu yang sukses membuatnya lupa akan kesedihannya barusan. Begitu aku mengikuti arah pandangnya, nyaris saja diri ini menjerit saking kagetnya.
Kaan. Tamu misterius kami.
Dia berdiri di depan tanpa menunjukkan sikap lelah maupun mengantuk akibat terbangun dini hari. Memang sebentar lagi matahari akan terbit, tapi rasanya sayang kalau tidak tidur lagi.
"Ada apa?" Suaranya yang berat kembali membuatku merinding. Wajar kalau dia mendengar tangisan Samira hingga terbangun.
"Ah, maaf menganggu tidurnya," balas Bibi. "Ini, anaknya memang–"
"Tidak apa," potongnya. "Aku kira kalian dalam masalah."
Samira terkikik melihat tamu kami. Tangannya terus melambai ke arahnya.
Bibi rupanya menyadari gelagat Samira. "Ah, Samira pasti ingin bermain, nih." Dia tersenyum malu.
Samira membalas dengan terkikik seakan setuju.
Dapat kulihat mata kelabu tamu ini memancarkan aura janggal namun dirasa aman di saat yang sama. "Pastikan anakmu tidak keluar rumah. Aku dapat merasakan kedatangan mereka."
Ucapan Kaan sukses membuat Bibi memeluk Samira lebih erat, dia bahkan sempat merangkulku, bukti dia sungguh ingin memastikan kami tidak berada jauh darinya.
"Memangnya apa saja tandanya?" tanyaku.
"Aku dapat merasakan," ujar Kaan selagi matanya menyusuri kamar ini. "Kau mungkin juga bisa. Pastinya, jangan keluar rumah hari ini sampai aku berhasil menangkap iblis itu."
"Ada berapa?" tanya Bibi.
Kaan mengangkat satu jari telunjuk, memberitahu jumlahnya. "Itu bukan yang mudah bagi kalian."
Kami diam tanda membenarkan. Tidak lama, tamu misterius itu menjauh.
***
Atas sarannya, aku tidur di kamar yang sama dengan Bibi dan Samira. Kami bertiga memutuskan untuk tidur dan bangun jika pria misterius itu membangunkan. Setidaknya itu yang dijanjikan oleh pria itu.
Aku berbaring di sisi Samira, gadis kecil itu entah bagaimana begitu tenang dalam lelapnya. Padahal di saat seperti ini, ketika mentari mulai menampakkan diri, dia yang paling semangat untuk bermain. Namun, kini kami semua tampak seperti terlelap layaknya tidur di malam hari.
Krek ... Krek ...
Dapat kudengar suara kaki menyentuh lantai rumah yang terbuat dari kayu ini. Begitu pelan seakan mengendap-endap. Aku yang tidak nyaman langsung membuka mata.
Kulihat Bibi tengah duduk menatap tajam ke arah pintu. Dia jelas gemetar. Aku dekati dia dengan merangkak, mencoba mengurangi suara.
Bibi berbisik dengan suara bergetar. "Sepertinya itu yang dia maksud."
Aku tahu "dia" yang dimaksud itu tidak lain adalah tamu misterius ini. Aku tahu, langkah kaki di dalam rumah terdengar janggal kali ini. Bahkan tamu misterius itu tidak berjalan seperti itu. Kesannya seperti sesuatu yang berat dan besar tengah berjalan menyusuri tempat ini. Apa gerangan?
Krik!
Bibi mendekapku dan gemetar begitu mendengar bunyi kayu seakan patah. Aku memeluk dia dan berusaha menenangkan, meski di sisi lain suasana hati juga tidak kalah kalutnya.
Duk! Duk!
Bibi menjerit tertahan, dia menarikku ke belakang begitu mendengar suara pintu diketuk dengan keras seperti akan didobrak.
Di saat yang sama, terdengar jerit tangis Samira yang dilanda ketakutan seperti kami.
"Samira." Bibi bergerak mendekap putrinya, berusaha menenangkan anaknya yang menangis.
Krak!
Pintu terbuka lebar, menampilkan sosok menyerupai manusia tapi dilengkapi dengan mata merah menyala tanpa pupil serta sepasang tanduk pendek di kening, tangannya terdapat cakar tajam serta badan yang besarnya melebihi lelaki yang kutahu. Kini dia berada di atasku, menahan diriku agar tidak kabur.
"Samir!" seru Bibi.
Makhluk itu menggeram, tetesan air liur membasahi rahang hingga lantai rumah kami. Bunyi geramannya disertai suara Bibi yang menahan tangis sementara Samira tengah menjerit. Aku terpaku menyaksikan makhluk mengerikan itu di atasku, siap memangsa saat itu juga.
Aku tidak sanggup menjerit, ketika makhluk itu memamerkan geliginya yang tajam, dia dekatkan ke wajahku. Aku menutup mata, siap menjemput ajal.
"Samir!" jerit Bibi dengan suara bergetar.
Saat itulah kudengar suara daging besar yang dipotong. Terdengar janggal tapi di saat yang sama membuatku memberanikan diri untuk menatap ke atas.
Kepala yang besar jatuh di sampingnya, beriringan dengan tubuh besar yang digulingkan ke samping. Begitu benda besar itu disingkirkan, terlihat sosok penyelamat kami.
"Kaan!" seru Bibi.
Dia membantuku berdiri. "Kau terluka?"
Aku yang masih terkejut hanya bisa menjawab dengan pelan. "Ti ... tidak."
Dia kemudian menatap mayat makhluk yang baru saja dipenggal. "Ini iblis yang kumaksud. Aku berniat memancingnya keluar dari sini, tapi dia sepertinya lebih tertarik dengan bau anak kecil."
"Maksudmu Samira?" tanyaku.
"Iblis suka daging yang masih segar," ujarnya. Tanpa bicara lebih, dia langsung menarik mayat iblis itu. "Aku akan membawanya."
"Eh, mau ke mana?" tanya Bibi.
"Membakar jasadnya." Kaan pergi sambil menyeret tubuh iblis itu beserta kepalanya yang terlepas. Dia menariknya dengan mudah seakan tiada beban. Menunjukkan betapa kuatnya pria ini. Aku hampir tidak percaya melihat ada sosok seperti dia dalam hidupku.
Kaan melempar mayat iblis itu ke tanah luar, membiarkan sinar matahari membakarnya seketika. Aku terpana menyaksikan makhluk mengerikan tadi kini menjelma menjadi abu yang dengan mudahnya tersapu angin. Bibi pun menyusul sambil menggendong Samira yang masih mendekapnya erat, gadis kecil itu jelas masih ketakutan akibat kejadian tadi.
Suasana desa menjadi heboh ketika melihat Kaan melempar mayat iblis dan membakarnya langsung dengan sinar matahari. Namun, sesuai dengan apa yang aku bayangkan, reaksi mereka jauh dari kebaikan.
"Penyihir! Dia pasti yang membawa wabah ke negeri ini!" Salah seorang tetanggaku menunjuk Kaan.
"Mana buktinya?" tantang Bibi. "Jangan asal tuduh! Kalau dia tidak bertindak, kalian semua akan mati konyol."
"Mana mungkin makhluk seperti dia mau masuk ke sini tanpa alasan dan tiba-tiba saja membunuh sesuatu?" balas tetanggaku. "Kau kira bisa membawa orang aneh ke desa ini?"
"Aku menangkap iblis demi kebaikanmu juga," ujar Kaan dengan nada tegas. "Kau sepertinya sesuai dengan ucapan temanku."
"Apa?" Tetanggaku mengangkat sebelah alis, dia tentu bingung dengan maksudnya.
Kaan tidak membalasnya selain dengan tatapan mata sinis. Dia berpaling pada kami dan kembali bicara dengan nada datar. "Aku akan kembali ke tempatku berasal. Jaga diri kalian."
"Terima kasih atas segalanya." Bibi membalas ucapannya.
Dia mengiakan sebelum akhirnya melangkah menjauh, meninggalkan kami semua dalam keheningan.
Dalam bab ini sebenarnya mau singkat aja ceritanya karena maunya cerpen aja gitu. Sama sayang banget ini cerita dari 2022 belum publish, jadi mau aku tambahi jejak digital dulu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top