~ Bintang dan Masa Lalu ~

Tales of Gods

| God of Sun and Maiden of Moon |
| Bintang dan Masa Lalu |

Mentari bersedia menemaniku sejenak sebelum dia menjelajah. Dia membiarkanku berada di pelukannya, seperti hari pertama aku tercipta. Rasa hangat menghias kegelapan bulan membuatku tenang, elusan pada rambut beriringan suara lembut yang melantun.

"Hm... Hm... Hm..." Mentari bersenandung pelan, berpadu dengan keheningan bulan. Sementara tubuhnya bergoyang perlahan sembari memelukku, teringat suasana saat dia dulu menimang.

Teringat kisah dua anak yang kini jadi kaki tangan Kematian, mereka tercipta langsung dalam keadaan sudah bisa berjalan dan bicara sendiri, sementara aku harus melalui tahap itu dengan belajar perlahan di bawah telapak tangan Mentari. Dia tidak pernah memberitahu mengapa selain bercerita bagaimana dia menjalani hidup sebagai pengasuh, jadi satu-satunya temanku selama ini.

Sudah lama kami biarkan waktu berlalu tanpa sepatah kata, membiarkan desiran angin berbisik–terasa tipis dan dingin, baru kusadari perbedaan itu saat mendarat ke bumi, merasakan embusan angin untuk pertama kalinya. Aku mengamati tanah luas tempat tinggalku di bulan, meski tidak ada banyak hal di sini layaknya tempat tinggal lain, aku merasakan ketenangan khas menyelimuti setiap butiran pasir semenjak belajar melangkah. Kawah-kawah bulan kini tampak begitu asing bagiku setelah menghabiskan waktu singkat di bumi, barangkali karena di sini tanpa adanya makhluk beragam rupa dan penuh warna. Membayangkan rasanya hidup di Bumi, ingin meresapi kehangatan sinar matahari, angin yang sepoi-sepoi, dan keramaian manusia.

Mengenang saat pertama kali turun ke bumi, telapak kaki merasakan sensasi berbeda dari saat aku selama ini melangkah. Ingat juga hari Mentari mengajari berjalan, begitu besar usahaku untuk meraih genggamannya, saat mencapai pun hadiahnya sekadar pelukan dan pujian. Saat ingat akan hari itu, betapa lama waktu telah berlalu, pada saat ini di mana aku tidak perlu lagi menggenggam jarinya setiap kali melangkah, maupun merentangkan tangan agar dapat meraih wajahnya, kini semua terasa berbeda. Aku bahkan merasa canggung saat dia merentangkan tangan, mengundangku ke pelukannya.

Pada pelukannya, aku pejamkan mata, merasakan kehangatan pelukan Mentari diselimuti ketenangan bulan, jauh dari hiruk pikuk dunia bawah sana. Saat pandanganku kembali terbuka, kutatap Mentari, langit gelap disinari bintang bersinar lembut menyelimuti wajah Mentari yang teduh.

Menyadari tatapanku, dia menunduk. "Raana sudah besar sekarang, ya." Mentari menceletuk, seakan membaca pikiranku. Matanya memandang ke arah tempatku menjelajah semalam–bumi. Di kejauhan, bumi memantulkan sinar layaknya permata biru di tengah kegelapan angkasa, mengingatkanku akan rumah temanku yang jauh. Entah kapan kami akan kembali ke sana, teman manusiaku barangkali sedang menunggu.

Aku masih duduk pada pelukannya, mempererat pelukan pada Bintang sembari memandang dengan canggung. Samira membahas peran Mentari dalam hidupku, kini setelah berpikir cukup lama aku yakin ikatan kami lebih dari persahabatan, lebih dekat ke jiwa dan darah.

Pernah aku bertanya, "Mentari, kamu ayahku?" Balasan dari dia juga lebih membingungkan. Aku ingat wajah Mentari tidak menunjukkan reaksi apa pun seakan tidak menduga pertanyaan itu, tatapannya kian sayu seakan menyembunyikan sesuatu dari senyumannya.

Setelah sedikit penjelasan dariku, ujungnya dia sendiri memberi balasan yang tidak sepenuhnya aku pahami. "Raana tercipta karenaku, dan aku yang memberi nama dan menjagamu hingga sekarang. Menurut Raana sendiri, bagaimana?"

Pada akhirnya, dia masih terlihat ragu yang mana juga mempengaruhi pandanganku. Meski dari lubuk hati kadang ingin memanggilnya "Ayah," rasanya masih belum mencapai tahap yang kurasa tepat untuk itu.

Sadar kalau aku cukup lama mengabaikan ucapannya, aku coba balas meski bingung bagaimana menanggapinya. "Raana... Sudah besar?"

Mentari kembali menunduk, menatapku dengan dengan senyuman, terdengar tawa tertahan darinya. "Kalau dibandingkan dulu."

Aku membayangkan wujudku saat bayi. Banyak kejadian samar terjadi, aku yakin Mentari pasti ada cerita pada setiap kejadian itu, hanya saja dia belum bercerita, barangkali menunggu aku sendiri yang meminta. Pandanganku jatuh ke Bintang di pelukanku, teman yang menemani sejak aku tercipta dalam pelukan Mentari.

"Nah, seperti Bintang dulu," ujar Mentari sembari menunjuk ke arahnya. "Jadi ingat dulu pernah punya teman." Pandangannya tertuju ke langit, matanya memantulkan cahaya bintang-bintang di atas sana, berkilauan di langit malam seperti permata menghias langit kelam bulan, kutebak dia sedang menerawang ke masa lalu.

"Kamu kenal Bintang sejak lama?" Aku bertanya selagi duduk dengan Bintang di pelukanku. Pandanganku justru jatuh pada hiasan berbentuk aneh pada pakaiannya–penyu dia sebut namanya–pada kerah baju, tampak berbeda dari pakaiannya yang sebagian besar mencerminkan kehidupannya di matahari sana.

Mentari kembali melirik ke bawah dan tersenyum padaku, melingkari diriku dengan lengan hingga kian erat di pelukannya. "Aku dulu memiliki teman yang sama." Dia membelai rambutku.

Aku mendekatkan Bintang padanya, sinarnya berpendar menyinari kami di tengah kegelapan bulan. "Maksudnya Mentari dari dulu kenal Bintang?" Bukankah dia baru ada saat awal aku diciptakan?"

Mentari kembali menyentuh satu sudut dari Bintang. "Bukan, aku dulu memiliki pendamping berupa benda kecil ini, jauh sebelum kamu lahir."

"Aku jadi penasaran." Aku pandang Bintang lalu Mentari secara bergantian. "Di mana dia sekarang?" tanyaku, merujuk pada teman yang Mentari miliki.

Selama ini, kulihat Mentari lebih sering menghabiskan waktu bersamaku atau seorang diri menjelajahi berbagai tempat. Aku pernah menemui teman baiknya, dia akui, yang tugasnya mengatur jiwa–si Kematian. Tidak beda jauh dari Mentari, dia memiliki dua entitas menemani kesehariannya. Ingat betul saat Mentari dulu menyuruhku untuk mengenalkan diri pada mereka selagi dia bicara pada temannya. Mereka menawarkan pertemanan terlepas dari perbedaan usia, hanya terlihat perbedaan secara fisik yang lebih muda serta pendek dariku. Namun, hanya itu teman yang kukenal dari Mentari, walau dia juga pernah membicarakan tentang dewa dan dewi lain, tidak pernah pula kulihat mereka secara langsung sepanjang sepuluh tahun hidup ini.

Mentari mengelus rambutku, matanya yang tidak memiliki pupil memantulkan diriku memeluk Bintang. "Jadi kamu."

Aku bingung. "Jadi aku?" Aku mengulang. "Aku dulu seperti Bintang?"

"Ya." Mentari mengangkatku hingga wajahku sejajar dengan pandangannya. "Kamu dulu hanyalah makhluk kecil dengan bentuk lucu, kamu tercipta atas restuku."

"Atas restumu?" Aku ingat Mentari pernah cerita tentang kelahiranku. Tidak seperti Zilla dan Deimos–anak buahnya Kematian–diri ini muncul dalam wujud seperti titik awal kebanyakan makhluk di bawah kami, berawal dari bayi hingga tumbuh perlahan jadi anak kecil.

"Kamu lahir atas permintaanku kepada-Nya." Dia dekatkan aku pada pelukannya kembali, seperti pada tahap awal kehidupanku. Dia sentuh lembut hidungku. "Aku mengharapkan pewaris, seperti dewa lainnya. Saat itu, aku diberkati cahaya kecil yang senantiasa menemani, meski tidak bicara, tiap saat aku habiskan untuk bercerita padamu."

"Aku dulu seperti cahaya?" Tidak pernah terkira jika aku dulu memiliki wujud berbeda dari saat ini. Kisah yang dituturkan Mentari dahulu hanya sekitar saat aku berwujud bayi.

"Ya, kamu dulu mirip sekali dengan Bintang, dulunya berbentuk seperti ini." Dia perlihatkan hiasan penyu pada dirinya. Matanya lalu tertuju Bintang yang selalu setia pada genggamanku. "Aku menunggu dengan sabar hingga tiba waktumu untuk mengubah wujud jadi bayi."

"Dari bentuk itu?" Aku mencoba mencerna setiap kata yang dia ucapkan. Saat Mentari mengiakan, kembali aku tanya dia. "Aku saat bayi seperti apa?"

Mentari tertawa pelan. "Hanya sekecil dua telapak tanganku." Dalam wujud manusia dewasa, dia perlihatkan satu telapak tangannya dan kubayangkan dua kali lipat, sangat kecil hingga dalam wujud asli Mentari, diri ini bisa saja lebih kecil dari separuh pahanya. "Aku lebih sering memakai wujud manusia selama menimangmu, itu saja sudah membuatku khawatir jika kamu remuk dalam pelukanku."

Aku pandang dia dalam diam, tidak pernah menyangka diri ini hidup lebih lama dari yang kuingat. Selama ini dia mengenang setiap kisahku, meski pada akhirnya aku mungkin tidak akan ingat.

Saat Mentari menurunkan aku ke tanah bulan, dia kembali mengelus rambutku. "Raana jaga diri, ya. Aku akan membawakan hadiah." Dia berpaling dan kembali melangkah menjauh, tubuhnya disinari sinar terang di tengah kegelapan bulan, bayangan Mentari tampak menari di atas permukaan bulan yang datar, mengikuti gerakan lembut lagi tenang, hingga perlahan menghilang bersama dengan kehangatan meliputi rembulan.

Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top