Chapter 9
Saat bel berdentang, memecah keheningan koridor, Valeri, Ken, dan Cester langsung bergegas menuju lorong gedung empat. Mereka dihadapkan dengan tiga pilihan mata pelajaran peminatan: Ekonomi, Sejarah, dan Seni. Dalam waktu tiga puluh menit, mereka harus mencoret dua mata pelajaran untuk pelajaran berikutnya.
"Ekonomi?" kata Valeri, mengerlingkan mata ke arah Ken.
"Kurasa baru tadi kita belajar menghitung, sekarang menghitung lagi?" ujar Ken, tampak ragu. Matanya melirik ke arah opsi mata pelajaran.
"Kita harus mencoret dua dari tiga pilihan dan langsung pergi ke ruangan," seru Valeri. "Dan ingat. Kita tidak boleh mencontek dalam hal ini."
Dengan kata-kata itu, mereka saling membelakangi, masing-masing membawa pulpen di tangan. Proses pemilihan menjadi momen tegang, karena keputusan mereka akan mempengaruhi mata pelajaran yang harus dihadapi selama satu tahun ke depan.
Di tengah-tengah lorong yang sepi, suara pulpen menyentuh kertas, menciptakan deru keputusan. Mereka serius dan fokus mencoret, sementara ketegangan terasa di udara. Setiap coretan membawa makna dan konsekuensi yang belum tentu dapat diukur dalam tiga puluh menit waktu yang diberikan.
Setelah beberapa menit berlalu, Valeri memutuskan untuk mencoret mata pelajaran Ekonomi dan Sejarah. Ken memilih mencoret Ekonomi dan Seni, sementara Cester memutuskan untuk memfokuskan diri pada Seni.
Setelah proses mencoret selesai, mereka berbalik badan dan menyajikan hasil coretan mereka satu sama lain. Valeri tersenyum puas, sedangkan Ken menunjukkan ekspresi cemberutnya yang khas.
"Sial, aku yang berbeda," ucap Ken sambil menggelengkan kepala.
"Sejujurnya, aku belum siap menerima pelajaran sejarah setelah matematika," kata Valeri dengan semangat, mencoba membuat suasana lebih ringan.
"Ya benar, itu akan sangat membosankan," tambah Cester, menunjukkan ekspresi yang seolah telah merasakan pahitnya pelajaran sejarah. "Dan aku sudah membayangkan betapa banyak tugas setelah mengikuti pelajaran tersebut," lanjutnya dengan nada serius.
Mereka tertawa sebentar, mengalihkan beban ketegangan. Namun, ketika bel berikutnya berdentang, mengumumkan sisa waktu yang tersisa, mereka sadar bahwa perjalanan pembelajaran mereka di Perfiersthy Academy baru saja dimulai. Dengan mata pelajaran yang baru dipilih, mereka pun bergegas menuju kelas masing-masing, membawa pengalaman baru dalam perjalanan mereka mencari pengetahuan.
Ke tiga teman itu berjalan bersama menuju gedung nomor enam, suasana kebersamaan terasa hangat di antara mereka. Namun, Valeri dan Cester akhirnya harus berpisah dengan Ken, ia melanjutkan perjalanannya ke gedung nomor delapan.
Mereka berdua melangkah dengan langkah mantap menuju tujuan mereka. Saat memasuki gedung nomor delapan, atmosfer berubah, dan ketegangan terasa di udara. Pelajaran seni membawa mereka bertemu lagi dengan beberapa siswa asrama LNGE, yang kali ini lebih sedikit.
Di antara mereka terlihat satu kelompok yang begitu mencolok, tampak membawa aura ketidaksetujuan. Moll Anderson, Anna Neverstun, Daniel Guart, dan Stephynie, membentuk geng yang terkenal membenci anak-anak dari asrama SCNT. Bahkan di hari pertama mereka bersekolah ini.
Mereka adalah anak-anak yang penuh dengan cemburu sosial, terutama terhadap Valeri, Gabriel, dan Andien, karena keberhasilan mereka mendapatkan nilai tertinggi pada ujian masuk sekolah.
Sejak saat itu, ketidakpuasan dan hasrat untuk masuk ke asrama SCNT membakar semangat mereka, tetapi kenyataan tidak berpihak pada mereka.
Valeri dan Cester menyadari tatapan tajam dari kelompok tersebut, tetapi mereka memutuskan untuk mengabaikannya dan fokus pada pelajaran seni yang menanti.
Meski kehadiran geng tersebut menambah warna pada perjalanan mereka di Perfiersthy Academy, Valeri dan Cester bertekad untuk tidak terpengaruh dan tetap bersemangat menjalani setiap tantangan yang muncul.
Moll menyeringai, menciptakan aura yang semakin tegang di ruangan seni yang begitu sepi. "Anak-anak sok pintar ini membuntuti kita!" sindirnya, suaranya menusuk seperti jarum di udara yang terhimpit.
Di ruangan seni yang seharusnya penuh kreativitas, anak-anak dari asrama SCNT hanya bisa dihitung dengan jari. Ketidaksetujuan di antara dua asrama ini membawa ketegangan yang membuat atmosfer semakin panas.
"Apa maumu? Wonder-son!" Cester membalas sindiran dengan nada yang tajam, merujuk pada permainan kata-kata dengan nama Moll Anderson, menciptakan sebutan 'Wonder-son', yang artinya anak aneh.
Namun, Valeri segera mengambil tindakan. "Sudah tidak perlu dibalas. Kau mau nilai asrama kita dikurangi lima puluh point hanya karena saling menyindir yang sama sekali tidak ada gunanya?" tegur Valeri, mencoba menenangkan semangat Cester yang penuh nafsu untuk melawan.
Di tengah gemuruh kata-kata yang terhambur di ruangan seni itu, suasana semakin tegang. Tatapan tajam dan kata-kata menusuk seperti pedang yang bersiul di udara, menciptakan ketidaknyamanan di antara kedua kelompok siswa.
Dengan suasana yang begitu tegang, semua menunggu untuk melihat apakah kata-kata akan berubah menjadi tindakan ataukah mereka bisa mengatasi ketegangan tersebut dengan bijak.
Bel berdering untuk kedua kalinya, mengirimkan isyarat bahwa jam pelajaran seni telah dimulai. Di luar jendela, terlihat Profesor Lane, guru mata pelajaran seni, dengan langkah mantap menuju ruang kelas. Suasana ruangan yang awalnya riuh rendah seketika menjadi hening saat pintu terbuka.
Semua mata tertuju pada Profesor Lane, guru yang memiliki reputasi paling kritis dalam hal disiplin di Perfiersthy Academy. Mengenakan baju berwarna ungu tua, dia memberikan kesan yang begitu teguh dan galak.
"Baiklah. Kita mulai pelajaran." Pembukaan Profesor Lane terdengar tidak begitu bersahabat, bahkan tanpa memberikan pengenalan diri sedikit pun.
Ruangan terasa semakin hening, dan siswa-siswa berusaha menyamakan napas mereka dengan aturan yang keras.
"Pada bab pertama ini kita akan mempelajari tentang Kritik Seni—." Profesor Lane menghentikan kalimatnya sejenak, menciptakan ketegangan di udara.
"Apa pun yang saya ucapkan tentang pelajaran ini, kalian harus menulisnya di buku masing-masing. Akan saya periksa nanti, saya tidak akan menulis di papan tulis!" lanjutnya dengan tegas, meninggalkan kesan bahwa setiap kata yang keluar dari mulutnya sangat penting.
Ucapan kakak tingkat tentang Profesor Lane ternyata tidak berlebihan. Di hadapan mereka, mereka memiliki guru yang sangat serius dan tak kompromi dalam hal pembelajaran seni.
Dengan suasana yang tegang, siswa-siswa mencoba menyesuaikan diri dengan ketatnya aturan yang diberlakukan oleh Profesor Lane, si penilai yang penuh misteri dalam dunia seni.
"Kritik seni adalah kegiatan menanggapi karya seni untuk menunjukkan kelebihan dan kekurangan suatu karya seni. Keterangan mengenai... YANG DUDUK DI BELAKANG MOHON PERHATIANNYA!" Profesor Lane dengan tegas memotong penjelasannya, mengetahui bahwa Valeri sedang ngobrol dengan Cester di belakang, meski tanpa suara yang terlalu mencolok.
Sesaat, suasana ruangan tergantung di udara.
"Tiga puluh point dikurangi untuk asrama...." Profesor Lane membiarkan kalimatnya menggantung, matanya menerawang sejenak ke arah Valeri dan Cester, mencoba mengidentifikasi mereka. "SCNT!"
Ketegangan terasa semakin intens, dan suasana menjadi lebih dingin ketika Profesor Lane melanjutkan pelajaran tanpa ampun. Meski beberapa siswa mencoba untuk fokus, kehadiran gurunya yang keras membuat atmosfer tetap tegang.
"Baiklah, kita lanjutkan." Kata-kata Profesor Lane terdengar dingin, dan pelajaran berlanjut hingga bel berdentang menandakan akhir jam pelajaran.
Semua murid segera meluncur keluar dengan tugas yang diberikan Profesor Lane yang lebih berat dari sebelumnya.
Di luar kelas, suasana masih sarat dengan ketegangan. Cester menoleh pada Valeri dengan ekspresi penyesalan. "Valeri, bunuh saja aku," ucapnya dengan nada hampir putus asa.
Ia merasakan beban tugas dan penurunan point yang baru saja mereka dapatkan. Helaan napas berat mencerminkan rasa kecewa yang begitu mendalam.
"Huh, begitu banyak tugas dalam satu hari." Valeri pun tak ayal melepas nafas berat, merasa lelah, dan ia menyandarkan tubuhnya di tembok depan gedung keenam.
Tatapan kosongnya melintas ke arah bentangan rumput hijau di lapangan sekolah, merenungi sebentar sebelum Ken keluar dari ruang kelasnya.
Ken muncul tak lama kemudian dengan ekspresi wajah yang tak jauh beda dengan Cester sebelumnya. Ia bergabung dengan Valeri dan Cester yang telah menunggu di depannya.
"Benar katamu, Cester. Banyak sekali tugas!" ujar Ken, mencoba menahan rasa kesalnya.
"Kau pikir kita tidak? Sama kita juga," seru Cester, kekecewaan terpancar dari matanya. "Apalagi gurunya yang seperti itu, mematikan! Kau tau? Aku lebih baik menghilang ketika pelajaran seni berlangsung daripada harus bertemu dengan guru yang hanya melihat mukanya saja sudah membuatku muak."
Cester mengoceh dengan berbagai perasaan campur aduk, dari kesal hingga kecewa, menciptakan suasana yang semakin terasa berat.
"Sudahlah, lagipula sudah terlanjur, mari kita ke Aula Besar," Valeri mencoba untuk memecah keheningan dan mengalihkan perhatian dari ketegangan.
Mereka bertiga melangkah dengan santai menuju Aula Besar, menikmati terik matahari yang menyapu langit sekolah mereka.
Saat melewati gedung ketiga, Valeri memergoki Gabriel yang tengah sendirian, terduduk dengan buku 'Bank' di tangannya. Nampaknya, Gabriel memilih untuk tidak mencoret mata pelajaran ekonomi setelah menghadapi angka-angka dalam marathon enam jam pelajaran yang melelahkan.
"Kau tidak mencoret Ekonomi?" Valeri bertanya, matanya penuh dengan keingintahuan.
"Tidak, kenapa?" balas Gabriel, mata terus fokus pada halamannya.
"Eh? tidak ada, tapi serius, tidak pusingkah kau setelah bermain angka seharian?" tanya Valeri dengan ekspresi heran.
"Tidak, Ekonomi tidak selalu tentang berhitung seperti Matematika. Bahkan, sewaktu-waktu Matematika-pun tidak selalu berhitung terus-menerus," jawab Gabriel dengan enteng.
"'Tidak akan ada tugas pada mata pelajaran ini,' begitu kata Profesor Kilik." Gabriel tersenyum manis, sementara Valeri, Cester, dan Ken masih mencerna informasi tersebut dengan pandangan terkejut.
"Serius?" ucap Cester, mencoba memahami.
"Serius, kami punya perjanjian itu," jawab Gabriel. "Baiklah, aku pergi." Gabriel bangkit dari tempat duduknya, melangkah dengan gaya santai menuju Aula Besar.
"Eh, kalian tidak lapar, ya?" teriak Gabriel dari kejauhan, menciptakan momen lucu dan menghancurkan keheningan di antara mereka.
Tidak butuh waktu lama, Valeri, Cester, dan Ken bergegas menuju Aula Besar menyusul Gabriel, di mana aroma harum makanan segera menyambut mereka begitu melangkah masuk. Suasana Aula begitu hidup dengan tawa dan obrolan antar-siswa, menciptakan pemandangan yang ramai dan penuh semangat.
Mereka langsung bergabung dalam keramaian, mengambil tempat duduk di meja yang tersedia jajaran asrama SCNT. Menu makanan yang beragam terpampang di depan mereka, memikat selera mereka yang telah lelah setelah sehari penuh pelajaran dan tugas.
"Terlihat enak sekali," ujar Valeri sambil memandang deretan hidangan di depannya.
Cester tertawa, "Ayo makan, aku lapar sekali!"
Mereka pun segera menyantap hidangan mereka dengan penuh selera. Percakapan ringan antar-teman, tawa, dan aroma makanan yang menggoda mengisi ruangan.
Saat mereka menikmati makan malam mereka, sesekali tertangkap oleh keceriaan yang melingkupi aula besar, menciptakan momen yang penuh semangat dan kenangan di awal tahun mereka di Perfiersthy Academy.
"Mari lupakan persoalan tugas di hari pertama ini untuk sementara waktu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top