Chapter 8

Valeri menatap tajam ke arah Gabriel, yang duduk sendiri dengan tatapan yang mendalam. Ken dan Cester masih terperangah dengan keputusan Gabriel untuk pindah tempat duduk begitu cepat setelah makan.

"Hei, menurutmu dia normal?" tanya Ken pada Valeri, mencoba mencari pemahaman tentang perilaku misterius Gabriel.

Valeri menyipitkan mata sejenak, lalu berkata, "Entahlah, aku pikir dia sehat-sehat saja. Lagipula, ini hari pertamanya di sekolah, jadi mungkin dia belum memiliki teman."

Cester, yang selalu sok tahu, ikut campur. "Mungkin dia hanya sedang merenung atau memikirkan sesuatu. Biasa, anak baru memang agak kaku di awal."

Sambil tetap memperhatikan Gabriel, Valeri menyambung, "Dia anaknya Profesor Gloory."

Kedua temannya langsung menoleh ke arah Valeri, kagum dan heran. "Profesor Gloory, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan?" tanya Cester, mencoba memastikan informasi.

"Berapa banyak Profesor Gloory lagi yang kita ketahui?" Valeri menyela dengan nada sinis.

"Entahlah, sepertinya hanya dia," jawab Cester dengan wajah canggung.

Tiba-tiba, Valeri berdiri dan meninggalkan mereka di tempat. Ken dan Cester saling pandang sebelum bersama-sama berdiri dan menyusul Valeri menuju pintu keluar aula.

"Mau kemana kau?" tanya Ken, mencoba menyelipkan canda.

Tanpa menjawab, Valeri melangkah dengan mantap menuju ke pintu keluar, membuat Ken dan Cester bergegas menyusulnya.

Mereka memiliki tujuan yang sama: mencari Profesor Madlyn untuk mendapatkan jadwal pelajaran siswa tahun pertama di asrama SCNT. Di belakang mereka, Gabriel masih terdiam, memancarkan aura misterius yang semakin membingungkan.

Tiga puluh menit menjelang lonceng berbunyi, kegelapan mulai menyelimuti koridor antara gedung pertama dan kedua. Mereka bertiga, Valeri, Ken, dan Cester, merasa kelelahan dan mulai merasakan penat setelah mencari Profesor Madlyn tanpa hasil.

"Ke mana, sih, Beliau?" geram Cester, menendang tembok di depannya dengan frustrasi, lalu bersandar cemberut.

Sementara ia berbicara, pandangannya secara otomatis tertuju pada tembok yang baru saja ia tendang. Tiba-tiba, "Di sini, apakah hanya aku yang merasa aneh? Atau kah...,"

"Ya, Cester, kita semua melihatnya," potong Valeri ketika Cester melihat tembok di depannya tiba-tiba terbuka seperti pintu.

"Sebaiknya kita pergi." Ken bergidig dan mulai melangkahkan kakinya menjauh.

"Tidak! Kita harus masuk," ujar Valeri dengan tegas, menarik tangan Ken yang hendak pergi. "Agar kita tahu."

"Jam pelajaran pertama tinggal tiga puluh menit lagi, dan kita belum menemukan jadwal pelajaran atau memilih mata pelajaran minat," jelas Ken, mencoba memberi pemahaman.

Ia sempat melirik ke arah lorong gelap yang seolah-olah tanpa ujung. Kengerian mulai menyelimuti dirinya. Bulu kuduknya sudah beridi sedari tadi.

Mendengar itu, Valeri berpikir sejenak sebelum akhirnya mengiyakan pernyataan Ken. "Ya sudah, lain kali saja kita masuk ke dalam sini," kata Valeri pada teman-temannya.

Ketiganya meninggalkan tembok misterius tersebut dalam keadaan terbuka. Tidak ada siapa pun di sana, suasana lorong sangat sepi.

Profesor Madlyn seperti menguji kesabaran mereka dengan kemampuan menghilangnya yang luar biasa. Sepuluh menit menjelang jam pelajaran pertama, mereka akhirnya menemukannya di aula besar, sedang duduk santai bersama Gabriel di kursi meja SCNT, tengah asyik dalam percakapan.

"Itu dia!" teriak Cester, lebih dari sekadar lega menemukan profesor yang sulit dicari itu. Mereka bergegas mendekati meja tempat Profesor Madlyn duduk bersama Gabriel.

"Kami mencari Anda, Profesor," kata Ken, napasnya berat akibat rasa kekhawatiran dan kelelahan mereka.

"Sejak tadi saya di sini, bahkan tidak meninggalkan aula sama sekali," jelaskan Profesor Madlyn, mengungkapkan bahwa keberadaannya selama ini sudah di ruangan yang sama.

Setelah memberikan penjelasan singkat, Profesor Madlyn memberikan secarik kertas tebal pada Valeri, Ken, dan Cester. "Ini jadwal pelajaran kalian bertiga. Sebaiknya kalian segera pergi ke pelajaran pertama. Untuk memilih jadwal mata pelajaran minat, bisa dilakukan seusai jam pelajaran pertama, karena jam pertama kalian bertemu dengan pelajaran wajib yang harus diikuti, mau tidak mau."

Namun, kejutan tak berhenti di situ. Dengan hampir bersamaan, tiga teman tersebut terkaget saat melihat mata pelajaran yang pertama.

"Matematika!" seru mereka bersamaan, dengan rasa tak percaya di wajah mereka. Ketiganya terbelalak.

"Kenapa? Ayo cepat. Nanti kalian terlambat. Oh, ya. Gabriel, kau ikut dengan mereka. Ruangan Matematika ada di gedung keempat di lantai dua. Ayo cepat, kalian hanya memiliki waktu tujuh menit," pesan Profesor Madlyn sambil memberikan petunjuk lokasi ruang kelas Matematika.

Tanpa banyak bicara, mereka bergegas meninggalkan aula besar menuju gedung keempat dengan Gabriel yang bergabung. Tantangan pertama mereka di asrama SCNT belum usai, dan kehadiran Matematika sebagai pelajaran pertama menjadi ujian pertama bagi mereka di dunia sekolah baru ini.

Keempatnya keluar dari aula dengan langkah cepat, bersemangat untuk menemukan gedung keempat. Nomor gedung yang besar dan angka romawi memudahkan mereka menemukan lokasinya dari kejauhan. Asrama SCNT berhadapan dengan gedung pertama, kedua, dan ketiga, sementara asrama SOCL dan LNGE berada di sebelahnya.

Dengan keberanian dan semangat baru, mereka menyusuri lorong-lorong yang memisahkan asrama SCNT dari gedung pertama, dua, dan tiga. Mereka menghindari lapangan olahraga sesuai aturan sekolah nomor empat, yang melarang berlari-larian di lorong, aula, dan ruangan.

"Kita harus cepat, tapi kita tidak boleh berlari. Profesor Blung katanya mengerikan," kata Cester dengan serius, mengingat peringatan kakak tingkat di asrama SCNT.

Mereka berjalan cepat seperti penguin yang tergesa-gesa, mencoba mematuhi aturan tanpa kehilangan semangat. Perjalanan menuju gedung keempat menjadi petualangan tersendiri, di mana setiap tikungan lorong dapat menghadirkan kejutan.

Sesampainya di gedung keempat, mereka menyusuri lorong-lorongnya dengan cermat, mencari ruang kelas Matematika. Gabriel, yang sejauh ini masih terdiam, ikut serta dalam langkah cepat mereka. Setiap langkah mereka diiringi dengan detik-detik ketegangan menjelang pelajaran pertama di Perfiersthy Academy.

Sesampainya di depan pintu kelas, keempatnya merasa hening. Tidak terdengar suara Profesor Gloory atau suara siswa yang berisik. Tanpa ragu, mereka masuk ke dalam ruangan dengan langkah mantap, memotong kesunyian dengan kehadiran mereka.

Dalam sekejap, mereka berusaha mencari tempat duduk yang kosong. Sialnya, hanya empat kursi tersisa di bagian belakang kelas, dan mereka segera mengambil tempat masing-masing. Pandangan mereka bertemu sejenak, mencerminkan antusiasme dan ketegangan yang sama.

Kelas ini menjadi unik karena siswa dari tiga asrama yang berbeda dipersatukan dalam satu ruangan untuk mata pelajaran wajib. Dengan berbagai wajah yang beragam, mereka duduk bersama, menanti pelajaran Matematika yang akan dimulai.

Sementara mereka menyesuaikan posisi duduk, lonceng yang terdengar cukup keras memecah keheningan. Belum genap satu menit setelah lonceng berbunyi, pintu kelas terbuka dengan mantap, mengungkap sosok Profesor Gloory yang tampil dengan sikap tenang dan penuh kepercayaan.

"Selamat pagi, siswa-siswa Perfiersthy Academy," sapa Profesor Gloory dengan senyum ramah. "Saya Profesor Gloory, dan kita akan memulai pelajaran Matematika kita hari ini."

Semua siswa memperhatikan dengan seksama, menyadari bahwa petualangan baru di Perfiersthy Academy baru saja dimulai.

"Baiklah, sebelum memasuki materi bab satu, kalian harus mengambil buku materi untuk kelas satu di perpustakaan. Silakan," perintah Profesor Gloory pada seluruh siswa dengan suara tegasnya.

"Dipercepat, ya, karena kita hanya belajar materi bab satu ini dengan waktu terbatas, dan itu harus selesai hari ini. Kita ditegaskan untuk latihan-latihan agar bisa memantapkannya pada pertemuan berikutnya," tambah Profesor Gloory, memberikan peringatan serius. "Kalian punya dua puluh menit dari sekarang!"

Seiring perkataannya yang terakhir, Profesor Gloory berteriak, menyuarakan tenggat waktu yang ketat. Siswa-siswi pun bergegas berdiri, dan ruangan kelas seketika menjadi riuh dengan suara kursi yang ditarik, tas yang diangkat, dan langkah-langkah cepat.

Meski beberapa siswa mematuhi peraturan dengan berjalan cepat, ada juga yang terburu-buru melewati batas yang ditetapkan. Beberapa siswa menunjukkan ketergesaan mereka dengan melanggar aturan, berlari-larian menuju perpustakaan tanpa mempedulikan peringatan Profesor Gloory.

Di antara keramaian itu, Valeri, Ken, Cester, dan Gabriel, berusaha untuk memanfaatkan waktu yang ada dengan cerdas. Mereka membaur dengan kerumunan siswa yang bergerak cepat, menyusuri lorong-lorong menuju perpustakaan, merasa semakin tertantang untuk menyelesaikan tugas yang diberikan dalam batas waktu yang ketat.

Saat pintu Perpustakaan terbuka, keempatnya langsung bergegas menuju jajaran buku matematika yang tersusun rapi di rak-rak.

Dalam keadaan tergesa-gesa, tangan mereka bergerak lincah memilih buku yang sesuai dengan kelas satu. Ken dengan cepat menyambar satu buku, Cester menyusul, dan Gabriel dengan tenang mengambilnya. Namun, ketika Valeri mencoba mengambilnya, dia menyadari bahwa buku-buku matematika kelas satu hampir habis.

"Sial," gumam Valeri, meraba-raba rak yang tersisa.

Akhirnya, ia menemukan satu ekor buku yang tampak kurang beruntung karena tak memiliki sampul. "Yah, lebih baik daripada tidak ada," pikirnya sambil menggenggam buku tersebut.

Setelah mereka mengambil buku-buku, semuanya melangkah menuju meja pustakawan untuk mencatatkan nama mereka. Suasana di sana cukup ramai, dengan siswa-siswa yang saling bersiul dan berbicara tentang pelajaran hari ini.

Valeri, sebagai yang terakhir, melihat buku-bukunya diurutkan dengan rapi dan dipinjamkan pada teman-temannya. Dengan senyum, ia menyusun kata-kata di buku dengan cermat, merasa semakin bersemangat untuk menaklukkan materi matematika.

Ketika waktu hampir habis, mereka kembali ke kelas dengan langkah yang lebih santai. Pelajaran matematika hari ini sudah menanti dengan segala tantangan. Begitu tiba di kelas, Profesor Gloory menatap jam di dinding dengan serius.

"Hanya tersisa dua menit, cepat duduk!" perintahnya tegas, membuat siswa-siswa bergerak lebih cepat lagi untuk menempati tempat duduk masing-masing.

Dengan napas tersengal-sengal, Valeri dan teman-temannya berhasil mengambil tempat sesaat sebelum Profesor Gloory memulai pelajaran.

"Dapatdipastikan ini akan menjadi pelajaran yang tak terlupakan," bisik Valeri kepadateman-temannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top