Chapter 5

Makan malam pun berlanjut dengan hangat sampai selesai. Namun, Gabriel sudah terlebih dahulu kembali ke kamarnya setelah memakan beberapa suap nasi. Valeri masih merasa keheranan, memikirkan kenapa gadis itu bertingkah seolah-olah Valeri adalah musuhnya.

"Profesor, apakah ada yang salah denganku?" Akhirnya Valeri bertanya pada Profesor Gloory karena dirinya tidak tahan dengan kecanggungan ini.

"Eh? Entahlah, coba kamu tanya padanya. Kamarnya di lantai dua sebelah kiri tangga, di situlah kamarnya," jelas Profesor singkat, Valeri melihat pria itu sedang berkutat dengan angka-angka rumit di atas secarik kertas.

"Oh, baiklah." Valeri berdiri dan langsung pergi ke lantai dua, mendekati sebuah pintu yang dimaksud. Tanpa pikir panjang, Valeri mengetuk pintu tersebut.

"Sebentar!" terdengar suara gadis yang cukup keras dari dalam kamar, tidak lama kemudian pintu kamar pun terbuka. Keluarlah seorang gadis dari dalam kamarnya.

"Ada ap...." Dia melihat ke arah sosok yang mengetuk pintu tadi, dan dengan sesegera mungkin ia menutupnya kembali dengan rapat, bahkan sampai menguncinya. Valeri semakin kebingungan dengan ulahnya, lalu ia kembali ke bawah.

"Dia selalu menghindar dariku," ujar Valeri seraya menuruni tangga.

"Sudahlah, biarkan saja. Kau sebaiknya segera tidur," ucap Mrs Gloory seraya berjalan mendekati Valeri. "Oh, iya. Kamarmu, mari aku antar." Mrs Gloory begitu antusias terhadap Valeri dari pertama mereka bertemu, tidak seperti anaknya yang selalu menghindarinya.

Mrs Gloory membimbing Valeri ke kamar yang sudah disiapkan untuknya. Kamarnya terasa nyaman dan penuh dengan kehangatan.

"Semoga kau bisa tidur dengan nyenyak, Harris. Besok hari yang penting untukmu. Selamat tidur," ucap Mrs Gloory seraya tersenyum ramah sebelum meninggalkan Valeri sendirian di kamarnya.

Valeri duduk sejenak di tepi ranjang, memikirkan berbagai kejadian yang terjadi hari ini. Dia merasa antara penasaran dan khawatir terkait sikap Gabriel. Namun, kelelahan akhirnya merayap dan menghantarkannya ke dalam dunia mimpi yang penuh misteri.

Valeri meratapi kebingungan di balik hilangnya uangnya sambil mengingat wajah Gabriel, gadis yang seolah menyembunyikan rahasia tak terduga. Hmm... sepertinya aku pernah melihatnya, tapi di mana ya? Ah! Mana mungkin, aku ini jarang keluar rumah, bagaimana bisa aku melihatnya di luar sana.

Terdiam sejenak, Valeri memandang keluar jendela kamarnya. Pikirannya melayang ke pertanyaan yang terus mengganjal. Uangku. entahlah, siapa pencurinya? Seingatku dia lari.

Terdiam lagi, matanya melotot seakan-akan mata itu akan melompat dari kelopak matanya. "Astaga!" Valeri hampir berteriak, tetapi dengan cepat menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya.

Dia pencurinya? Ya, persis seperti dia. Pikiran Valeri bermain seolah-olah menari dalam teka-teki yang hampir terpecahkan.

Tunggu, kenapa dia mencuri uang 10 trans itu dariku? Sepertinya aku harus mengikhlaskannya karena dia anak profesor dan Mrs Gloory yang telah baik sekali padaku. Valeri segera berbaring di tempat tidurnya dan mulai menutup matanya.

Sejenak ia berpikir, Bagaimana aku bisa bertanya padanya? Eh? entahlah. Hmm... apa benar-benar dia? Seingatku pria. Ah, entahlah, dan kemudian kembali tertidur dengan pemikiran yang masih rumit.

Esok harinya, saat mentari masih merah jambu di cakrawala, Valeri membuka mata dengan perlahan. Jam empat pagi, suatu waktu yang sering dianggap terlalu dini oleh kebanyakan orang, tetapi bagi Valeri, bangun pagi bukanlah pilihan.

Kebiasaannya ini diwarisi dari rutinitas kakaknya yang selalu dengan penuh semangat membangunkannya jam empat dini hari untuk memulai kegiatan membersihkan rumah. Tapi di sini, di tempat yang baru, Valeri terbangun tanpa bantuan dari kakaknya, dan suasana rumah yang tidak membutuhkan keteraturan seperti di rumahnya.

Dengan setengah terjaga, Valeri merenung sejenak di dalam kamar. Ia memutuskan untuk memeriksa barang-barang yang terdapat dalam tasnya, mencari sesuatu yang dapat menyibukkan dirinya. Beberapa alat tulis, beberapa buku, dan beberapa pakaian ganti terhampar di depannya. Dengan cermat, ia mengambil sepasang pakaian berwarna putih dan hitam dari dalam tasnya, merancang langkah awal hari ini.

Langkahnya yang ringan melintasi koridor rumah, memasuki kamar mandi yang sepi. Mandi yang segar membangkitkan semangatnya, memberikan semacam kecerahan untuk menghadapi hari yang penuh misteri di sekolah barunya. Valeri pun bergegas, siap untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi.

Tidak terasa waktu telah menunjukkan pukul 06.00, suara gemericik air dan bau wangi masakan pagi memenuhi rumah. Keluarga Gloory sudah bersiap untuk memulai hari baru. Mrs Gloory, yang memutuskan untuk membangunkan Valeri, terkejut saat menemukan Valeri sudah berdiri di kamar.

"Waktunya sarapan, Anak-anak!" teriak Mrs Gloory sambil membuka pintu kamar Valeri setelah mengetuknya beberapa kali. "Oh, kau sudah bangun, Sayang. Mari kita sarapan. Sebelum itu, sebaiknya kau mandi terlebih dahulu," serunya sambil tersenyum.

"Saya sudah mandi, Mrs Gloory." Valeri menjawab sambil tersenyum.

"Ah? anak rajin. Ayo kita sarapan kalau begitu. Aku sudah menyiapkan menu spesial pagi ini." Mrs Gloory menjelaskan sambil memimpin Valeri ke ruang makan.

Di ruang makan, meja sudah dipenuhi dengan hidangan yang menggoda selera. Ikan Tuna bakar, salad sayur lada hitam, dan berbagai hidangan lainnya menghiasi meja makan. Profesor Gloory dan Gabriel juga sudah duduk di sana. Gabriel terlihat enggan menatap Valeri.

"Sudah berkumpul semua rupanya," ucap Mrs Gloory sambil tersenyum. "Aku yakin semalam kau tidak mendengarkan. Nah, Gabriel, perkenalkan ini Harris. Dia akan menjadi teman pertamamu di sekolah." Mrs Gloory kembali memperkenalkan Valeri pada Gabriel, tetapi anak itu masih tetap menunduk, fokus pada makanannya. "Itu juga jika kau lulus seleksi," tambahnya dengan sedikit sentilan.

"Oke, mari kita sarapan. Pengumuman hasil seleksi akan berlangsung sekitar dua jam lagi, jadi kita harus menyegerakan," seru Profesor Gloory dengan antusias.

Semua orang mulai menyantap hidangan mereka masing-masing, termasuk Valeri dan Gabriel yang masih terlihat enggan berinteraksi satu sama lain.

Jam menunjukkan pukul 07:30 pagi. Di depan rumah, Profesor Gloory dengan penuh semangat mengajak Valeri dan Gabriel untuk menaiki mobil mewah berwarna hitam yang terparkir di garasi.

Dalam perjalanan menuju sekolah, ketegangan terasa di udara. Valeri duduk di belakang, memperhatikan pemandangan yang berlalu dengan pikirannya yang berkutat pada pengumuman hasil seleksi.

Gabriel duduk di depan, tetapi terpisah oleh sekat keheningan. Profesor Gloory, yang berada di kursi pengemudi, terus berkonsentrasi pada jalanan tanpa memulai percakapan apa pun. Hanya suara musik klasik yang monoton memecah keheningan di dalam mobil, menciptakan atmosfer yang semakin membosankan.

Valeri memandang keluar jendela dan melihat sekitar. Di sepanjang perjalanan, dia menoleh ke kanan dan ke kiri, mengenang kenangan atau mencoba menggambarkan perasaannya yang bertubi-tubi. Alunan musik klasik yang mengalir terasa seperti mengiringi perjalanan ke masa lalu.

Ketika tiba di sekolah, suasana semakin tegang. Banyak orang yang sudah berkumpul di halaman, beberapa bersama keluarganya, dan yang lain datang bersama teman-teman mereka. Profesor Gloory membuka pintu mobil, dan Valeri serta Gabriel keluar dari mobil, merasakan tekanan ekspektasi di udara. Profesor Gloory mengarahkan mereka ke halaman depan, membiarkan mereka berdua di antara kerumunan anak-anak yang penuh harap dan kekhawatiran.

Berdua, Valeri dan Gabriel berdiri di tengah-tengah ramainya halaman sekolah, tetapi terasa sepi. Tak ada kata yang terlontar di antara mereka, hanya senyap yang semakin memperumit suasana. Mereka saling diam, masing-masing terdiam dalam ketidakpastian, menunggu hasil seleksi yang akan segera diumumkan.

Sorak sorai pagi berkumandang di halaman sekolah Perfiersthy Academy Boarding School. Sinar matahari pagi yang hangat menyinari setiap sudut, menciptakan aura harapan dan ketegangan yang menyelimuti atmosfer pagi itu.

Sejumlah calon peserta didik yang mendaftar di sekolah tersebut telah berkumpul di halaman, wajah-wajah penuh antusias dan juga kekhawatiran. Mereka tahu bahwa saat itu adalah penentu masa depan mereka di sekolah prestisius ini.

Tiba-tiba, sebuah pengumuman menggelegar melalui pengeras suara, menghentikan setiap percakapan dan mengundang perhatian semua orang di halaman. Suara itu memanggil seluruh calon peserta didik untuk berkumpul di Aula Utama, sebuah tempat yang penuh misteri karena sejauh ini mereka hanya melihatnya dari kejauhan.

Instruksi tegas menyatakan bahwa hanya calon peserta didik yang boleh masuk ke aula, dan orang tua atau pengantar dilarang masuk. Hal ini menimbulkan getaran ketegangan di kalangan mereka, karena saat itu adalah momen tunggu hasil seleksi yang sangat dinanti-nantikan.

Suasana di halaman berubah tegang seiring dengan langkah-langkah para calon peserta didik yang memasuki Aula Utama. Semua mata tertuju pada pintu masuk aula, menantikan pengumuman yang akan mengubah nasib mereka.

Meskipun sorak sorai dan semangat beradu, namun kekhawatiran dan rasa penasaran mendominasi pikiran para calon peserta didik. Semoga, ketika pintu aula itu terbuka, mereka akan mendengar berita baik yang mengantar mereka ke pintu gerbang masa depan yang cerah.

Sejenak sebelum melangkah ke Aula Besar, raut wajah para calon peserta didik mencerminkan kegelisahan dan haru. Mereka berdiri di antara dua dunia, antara masa lalu yang akrab dengan orang-orang yang mereka kenal dan masa depan yang penuh ketidakpastian di Perfiersthy Academy Boarding School. Beberapa dari mereka berpamitan kepada orang tua, saudara, atau teman-teman yang datang mengantar, memohon doa dan dukungan untuk langkah pertama mereka di dunia sekolah yang baru.

"Bu, Ayah, doakan aku, ya!" ucap seorang siswi dengan mata berkaca-kaca, merangkul orang tuanya erat sebelum memasuki aula. Senyum sayu melintas di wajah mereka sebelum perpisahan yang sementara.

Sementara itu, di sisi lain, Valeri dan Gabriel melalui momen itu dengan penuh ketegangan. Meskipun belum mengenal satu sama lain dengan baik, mereka merasakan kekhawatiran yang sama tentang apa yang menanti mereka di sekolah baru ini.

"Semoga aku bisa melalui ini dengan baik," gumamnya pada dirinya sendiri.

Ketika semua berpamitan dan doa terucap, langkah kaki mereka membawa melintasi pintu Aula Utama yang terbuka lebar, tempat penantian hasil seleksi dan takdir mereka.

Di dalam aula, suara gaduh dan bisikan-bisikan menciptakan lapisan ketegangan yang semakin terasa. Pandangan Valeri dan Gabriel saling bertemu, menyiratkan rasa kebingungan dan kecemasan. Seakan mendengar isi hati satu sama lain, mereka saling menganggukkan kepala dengan senyuman kecil.

"Dunia baru, ya?" ujar Valeri, mencoba mencairkan keheningan.

Gabriel mengangguk pelan.

Seiring langkah kaki mereka mendekati bangku di Aula Besar, takdir mereka pun mulai terkuak di hadapan mata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top