Chapter 10
Setelah selesai menyantap makan malam, ketiganya memutuskan untuk pergi ke lorong antara gedung kesatu dan gedung kedua, tempat yang dikenal sebagai 'tembok ajaib'.
Sebuah tempat yang selalu menyimpan misteri di balik setiap dindingnya. Mereka merasa penasaran dengan apa yang mungkin terjadi di sana, terutama setelah peristiwa aneh yang mereka alami sebelumnya.
Saat mereka tiba, lorong tersebut ramai dengan siswa yang berlalu-lalang, menyisakan sedikit waktu senggang sebelum masuk ke jam pelajaran berikutnya.
Valeri, Cester, dan Ken berdiri tegak di dekat area yang sebelumnya menghadirkan tembok yang terbuka layaknya pintu misterius. Namun, kini tempat itu terlihat seperti biasa, tanpa pertanda apa pun.
"Mungkin salah," komentar Ken, mencoba meredakan rasa penasaran mereka.
"Mungkin saja, tapi aku yakin di sinilah tempatnya," seru Valeri dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, matanya mencari-cari petunjuk di sekelilingnya, mencoba mengungkap misteri yang tersembunyi.
Suasana misterius semakin terasa, dan keingintahuan mereka pun semakin memuncak, menantang mereka untuk mengungkap rahasia di balik 'tembok ajaib' ini. Namun, hal itu terhamburkan dengan dentingan bel yang berbunyi nyaring menandakan jam pelajaran terakhir segera di mulai.
Valeri, Cester, dan Ken berjalan cepat bak penguin menuju rumah tanaman yang terletak di sisi kiri gedung kedelapan sekolah. Hembusan angin sepoi-sepoi terasa di wajah mereka, sementara langit senja memberikan nuansa dramatis pada situasi yang mendesak.
Sesampainya di sana, mereka melihat para siswa lainnya telah berkumpul di dalam ruangan. Profesor Kibitzer sudah menunggu, buku-buku terbuka, siap untuk memulai pelajaran.
Matahari hampir tenggelam, menandakan bahwa mereka terlambat. Panik melanda Valeri, dan ekspresi wajahnya mencerminkan kecemasan.
"Astaga, kita terlambat...!!" teriaknya, suaranya terbawa angin senja.
"Bolos saja," saran Cester, mencoba menemukan jalan pintas.
"Seratus poin akan dikurangi bagi SCNT dari masing-masing kita jika kita bolos, dan kita juga akan mendapat detensi dari Profesor Blung karena tidak mengikuti jam pelajaran. Maukah kalian itu?" Valeri memberikan argumentasi tegas, memutuskan opsi untuk membolos.
"Lalu apa yang akan kita lakukan? Kita terlambat!" tanya Cester, mencari solusi dalam kepanikan.
"Ingat kata pepatah, 'Better late than never.' Ingat itu!" Valeri memberikan semangat dan memimpin langkah mereka menuju pintu ruangan.
"Ayo kita masuk, sebelum kita terlambat lebih lama." Mereka bertiga mengambil napas dalam, Valeri mengetuk pintu dengan cepat dan memasuki ruangan.
Situasi di dalam ruangan menjadi tegang, dan tatapan tajam semua siswa menyoroti Valeri, Cester, dan Ken saat mereka berusaha memasuki kelas dengan sebaik mungkin. Suasana hening dan gelap memperumit langkah mereka, tetapi ketiganya berhasil melewati rintangan tersebut dengan berani.
Langkah-langkah mereka yang tegas menciptakan keheningan yang lebih intens, memicu keingintahuan dan bisikan-bisikan di antara teman-teman sekelas.
"Maaf kami terlambat," ucap Valeri, suaranya rendah, dan diikuti oleh Ken dan Cester yang melangkah dengan langkah ketakutan. Mereka berdiri di depan Profesor Kibitzer, menanti sanksi yang akan diberikan.
"Minus tiga puluh point untuk SCNT," desis Profesor Kibitzer dengan tegas, menyulut ketegangan di antara siswa-siswa yang hadir.
Valeri, Cester, dan Ken merasa tertunduk malu di hadapan para siswa tahun pertama dari SCNT dan SOCL. Beberapa orang dari SOCL mulai berbisik-bisik tentang mereka bertiga, dan Valeri yakin itu bukan pembahasan positif.
Namun, selang tiga puluh menit, tiga siswa dari SOCL tiba terburu-buru, memasuki ruangan tanpa mengetuk pintu atau memberi salam kepada Profesor Kibitzer. Nona dan Qhial, begitu tergesa-gesa mereka langsung berlari menuju tempat duduk yang kosong. Tanpa permisi.
"150 point dikurangi dari asrama SOCL! Tidak sopan!" bentak Profesor Kibitzer dengan wajah yang penuh amarah, merespon tindakan tiga siswa tersebut.
Pandangan siswa SOCL yang lain terlihat sangat malu di hadapan siswa SCNT, menciptakan suasana yang penuh drama dan ketegangan di kelas.
"Baiklah, kita lanjutkan pelajaran. Di depan saya terdapat beberapa tanaman, tetapi ada satu tanaman yang menarik perhatian saya yaitu... yang ini." Profesor Kibitzer menunjuk tanaman yang berada di tengah ruangan.
Valeri dengan sigap mengacungkan tangannya, menunjukkan kesiapannya untuk menjawab pertanyaan.
"Ya, siapa namamu, Nak?" tanya Profesor Kibitzer.
"Valeri Harrison," jawab Valeri.
"Apa yang kamu ketahui tentang tanaman ini?" Profesor Kibitzer menantangnya.
Valeri menarik nafas panjang sebelum menjawab, berusaha menjaga ketenangan dan kepercayaan dirinya.
"Pulcherrimi... Spesies Colores mille-pulcherrimi, adalah Bunga Seribu Warna yang dilindungi. Bunga ini sangat cantik, tetapi sayangnya tidak memiliki aroma, dan mereka juga merupakan obat untuk beberapa jenis penyakit serius." Valeri menjelaskan dengan yakin.
"Ya, benar sekali! Colores mille-pulcherrimi adalah salah satu tanaman yang dilindungi, spesiesnya hanya tinggal 30 di dunia. Tanaman ini biasanya dijadikan tanaman hias."
"Mereka bisa hidup dalam iklim dan cuaca apa pun. Selain itu, Pulcherrimi juga memiliki banyak manfaat, seperti menyembuhkan hilang ingatan, buta warna, dyslexia, dan lain-lain."
"Namun sayangnya, kini tanaman Pulcherrimi hampir punah karena kurangnya minat dalam membudidayakannya, mengingat untuk melakukannya membutuhkan biaya yang sangat besar. Bahkan, sekolah kita hanya memiliki satu tanaman ini saja." Profesor Kibitzer menjelaskan dengan detail.
"Baiklah, lima puluh poin untuk asrama SCNT!" seru Profesor Kibitzer.
Aplaus dan tepuk tangan meriah menggema di kelas, beberapa siswa SCNT bahkan memberikan jempol sebagai bentuk penghargaan pada Valeri.
Setelah pelajaran Botani berlangsung dengan menyenangkan dan kesan positif tentang Profesor Kibitzer, suasana hati Valeri dan teman-teman langsung membaik. Waktu berjalan dengan cepat, dan ketika lonceng berbunyi menandakan berakhirnya pelajaran, mereka bersiap-siap untuk menuju Aula Besar untuk makan malam.
"Boleh bergabung?" tanya Gabriel saat mereka tiba di Aula Besar, menunjukkan niat baik untuk bergabung dengan Valeri dan teman-teman lainnya.
"Tentu saja, silahkan duduk," seru Valeri ramah.
Gabriel mengambil tempat di samping Valeri, sementara Cester dan Ken duduk di hadapan mereka. Tidak ada lagi kecanggungan di antara mereka; Gabriel sepertinya sudah merasa lebih nyaman dengan kehadiran mereka.
Namun, suasana tiba-tiba berubah ketika suara dari meja SOCL memecah keheningan. Sebuah sindiran terdengar, mencoba merendahkan Valeri dan teman-temannya.
"Makan tuh point! Sok pintar!" teriak seseorang dari meja SOCL.
"Apakah kau merasa anak itu menyindir kita?" tanya Cester pada Valeri, Ken, dan Gabriel.
Valeri dan Gabriel memutar kepala ke belakang, melihat sekelompok siswa SOCL yang memandang mereka dengan tatapan tajam.
"Lihat saja, kita baru berada di sini kurang dari satu hari dan kita sudah mendapatkan haters? Bagus!" ujar Gabriel dengan sikap santai.
"Kenapa? Menurutku tidak." tanggapan Valeri yang mencoba menoleh untuk yang kedua kalinya, tetapi tatapan sinis dari siswa SOCL tetap tak berubah.
"Justru bagus kita dapat memiliki pembenci seperti mereka. Lagi pula, mereka tidak merugikan kita, dan selama itu tidak merugikan kita, ya... abaikan saja," kata Valeri dengan senyuman yakin, mencoba menenangkan ketiga temannya.
Terlihat bahwa Gabriel, Cester, dan Ken mulai mengerti bahwa tantangan pertama mereka di Perfiersthy Academy tidak akan mudah, tetapi mereka berempat bersiap untuk menghadapinya dengan kepala tegak.
Setelah Profesor Kearrymouelart memberikan pidato singkat, aroma lezat dari makanan di depan mereka mulai menyebarkan ke segala penjuru aula besar. Namun, tidak seperti umumnya, Cester tetap sibuk dengan komentarnya sendiri.
"Bagus ceramahnya sebentar," ucap Cester dengan nada santai sambil menyantap makanannya.
Namun, sepertinya komentarnya tak mendapatkan perhatian dari yang lain. Semua siswa asyik dengan makanan masing-masing, seolah dunia di sekitar mereka hanyalah makanan yang terhidang di depan mereka.
Makanan yang disajikan begitu beragam, tetapi semuanya memiliki kesamaan dalam kemasan yang seragam. Wadah dari kertas yang menyerupai nasi kotak sudah tersedia di atas meja sejak mereka belum tiba di aula besar. Kemasan yang praktis dan rapi memudahkan mereka untuk menikmati makanan tanpa repot.
Sementara Cester mencoba untuk menarik perhatian teman-temannya dengan komentar kocaknya, tetapi tampaknya suasana di aula besar lebih fokus pada nikmatnya makanan yang disajikan.
Bagi mereka, makan malam setelah sehari penuh pelajaran adalah waktu yang dinantikan, dan aroma sedap serta citarasa makanan itu membuat mereka lupa sejenak tentang segala aktivitas dan peristiwa yang baru saja terjadi.
Cester, meskipun tanpa perhatian dari teman-temannya, tidak berhenti dengan komentarnya yang menggelitik. Dengan nada yang berusaha lebih keras, dia mencoba lagi, kali ini dengan lelucon yang lebih menggelitik.
"Hai, apakah ada sosis di sini, atau itu hanya ilusi saja?" ucap Cester sambil mengangkat sepotong makanan yang berbentuk seperti sosis dari piringnya.
Namun, kali ini reaksinya berbeda. Beberapa teman sekelasnya tertawa kecil, dan bahkan Profesor Kearrymouelart pun melemparkan senyuman padanya. Sedikit demi sedikit, suasana makan malam di aula besar menjadi lebih ceria.
Sementara itu, Valeri, Ken, dan Gabriel pun berbincang-bincang ringan di antara suapan mereka. Mereka membahas pelajaran hari itu, berbagi kesan, dan tertawa bersama. Meski hari pertama penuh dengan kejadian menarik dan tantangan, makan malam ini menjadi momen untuk bersantai dan menikmati kebersamaan.
Setelah makan dan berbincang sebelum istirahat tepatnya pukul delapan malam. Valeri, Cester, Ken dan Gabriel beranjak dari tempat duduknya lalu berjalan keluar dari aula besar dengan tergesa-gesa.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Gabriel dengan tatapan curiga.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top