The Reason [2]

"Sialan!" omel Juliet. "Aku cuma nggak pengin kamu gagal lagi, Ken." Dia menatap sang adik dengan sungguh-sungguh. "Ini aku nanya serius. Kuulangi lagi, kamu mau nyari pacar yang kayak gimana? Masa iya Karin masih dianggap banyak kekurangannya?"

"Sebelum kujawab, ada satu pertanyaan buatmu. Kamu udah selesai nuduh ini-itu, kan? Sekarang, siap untuk dengar semua penjelasanku?" Kenzo setengah menyindir. Kakaknya malah mencebik.

"Oke," jawab Juliet.

"Gini, Jules. Aku juga nggak pengin gagal. Satu tahun kami pacaran. Itu bukan waktu yang pendek, kan? Kalau sejak awal aku cuma berniat iseng doang, ngapain harus menjalani sampai setahun? Itu sama aja buang-buang waktu kalau akhirnya sampai di titik ini." Kenzo angkat bicara.

"Buang-buang waktu gimana?" desak Juliet. "Kok kamu jadi kayak nyesal gitu, sih?"

"Memang," aku Kenzo. "Kalau tau kami beda prinsip, harusnya aku dan Karin nggak pernah pacaran. Kayak kubilang tadi, cuma buang-buang waktu." Lelaki itu menghela napas. "Katanya mau dengerin penjelasanku. Tapi tetap aja banyak nanya ini-itu."

"Karena kamu jelasinnya sepotong-sepotong, bikin aku penasaran," tangkis Juliet. Alis perempuan itu berkerut. "Beda prinsipnya separah apa? Apa nggak bisa dijembatani sama sekali? Atau, kamunya doang yang pengin dipahami dan dimengerti tapi cuek sama keinginan Karin? Karena laki-laki seringnya kayak gitu. Egois."

"Dugaanmu salah semua. Fitnah itu. Lagian, biasanya malah cewek yang pengin dimengerti ini-itunya," balas Kenzo, agak sewot. "Beda prinsipnya parah banget kalau buatku. Tapi nggak tau juga kalau buat orang lain. Ini karena nilai-nilai yang dianut, sih. Udah beberapa bulan ini aku menimbang-nimbang sampai akhirnya benar-benar yakin kalau udah pengin nikah. Rabu yang lalu aku udah melamar Karin. Aku—"

"Hah? Kamu udah melamar Karin?" Juliet bereaksi heboh. "Tapi, kenapa sekarang kamu malah ngambek?"

"Bisa, nggak, kamu kasih aku kesempatan untuk jelasin semuanya dan nggak nanya melulu?" Kenzo menunjuk ke arah jam tangannya. "Aku harus berangkat ke kantor."

"Oke." Juliet mengalah. "Silakan jelasin apa yang terjadi dari versimu."

"Yang terjadi adalah, Karin nolak lamaranku. Dia ngaku belum kepikiran untuk menikah. Karin bahkan bilang kalau dia nggak pernah beneran tertarik untuk berumah tangga. Jadi, kurasa jalan terbaik untuk kami adalah pisah. Ngapain kami tetap pacaran? Toh, Karin nggak pengin nikah. Artinya buang-buang waktu, kan?"

Juliet tampak tercengang. "Kejadiannya kayak gitu?" tanyanya.

"Aku lebih suka kami putus. Bukan karena ngambek setelah lamaranku ditolak. Kayak kubilang tadi, tujuan kami yang beda itu nggak ada jalan tengahnya. Jadi, untuk apa dilanjutkan? Nantinya aku malahan bisa makin cinta, kan? Ujung-ujungnya patah hati karena Karin nggak pengin nikah. Bukannya itu namanya nyari penyakit?"

Juliet merespons, "Iya, sih."

"Tapi Karin ngasih alternatif yang menurutnya adalah 'jalan keluar' untuk kami berdua." Kenzo membuat tanda petik di udara. "Karin nggak mau nikah. Dia lebih suka tinggal serumah aja. Alasannya, untuk ngelihat sejauh mana kecocokan kami. Kalau ternyata di tengah jalan nggak klop, pisahnya gampang dan nggak ribet. Gitulah kira-kira."

"Hah? Dia ngajak kumpul kebo?" Suara Juliet meninggi.

"Hush! Jangan sampai ada tetangga yang datang ke sini karena teriakanmu barusan," sergah Kenzo, sedikit berlebihan. "Itulah kenyataannya, Jules. Jadi, aku nggak lagi ngambek. Kami pisah. Bukan temporer, tapi selamanya."

Juliet bersandar di kursinya dengan tangan terlipat di dada. Mimiknya menunjukkan bahwa perempuan itu terlalu kaget dengan berita yang baru didengar dari sang adik.

"Aku nggak mengira kalau situasinya seserius itu."

Kenzo akhirnya berdiri dari kursinya setelah menghabiskan air putih. "Itu caramu minta maaf?" sindirnya. "Baiklah, kumaafin. Sekarang, aku harus segera berangkat ke kantor."

Sepuluh menit kemudian, Kenzo sudah berada di jalan raya. Ada plus dan minusnya tinggal bertetangga dengan saudara yang suka ikut campur. Jika butuh bantuan, Kenzo tahu kakaknya bisa diandalkan. Di sisi lain, Juliet tak keberatan untuk ingin tahu tentang urusan pribadi sang adik.

"Obrolan kita ini cuma bikin pagiku jadi memburuk," komentar Kenzo sebelum meninggalkan kakaknya. "Lain kali, jangan langsung main tuduh ini-itu sebelum tau duduk persoalannya. Itu kebiasaan jelekmu yang harus diubah. Ngoceh terus nggak ada remnya."

"Aku cuma cemas sama kamu, Ken. Nggak ada maksud jelek. Kukira kamu ngambek karena masalah lain. Tapi, kalau memang gitu duduk persoalannya, ceritanya beda. Aku ada di pihakmu," Juliet membela diri.

Dua tahun silam, Juliet pindah ke Mega Metro setelah menikah. Bukan cuma karena mengikuti suaminya yang tinggal dan bekerja di sana. Melainkan juga karena perempuan itu pun mendapat pekerjaan baru. Juliet bekerja di sebuah perusahaan pengembang sebagai tenaga akunting. Dia meninggalkan pekerjaan lamanya di Surabaya.

Juliet berkali-kali memengaruhi Kenzo untuk ikut pindah ke Mega Metro. Namun, tentu saja dia harus berpikir panjang karena tak mungkin meninggalkan pekerjaan begitu saja. Mencari pekerjaan baru sama sekali bukan opsi bagi Kenzo. Dia sempat mempertimbangkan dengan serius untuk mengajukan permohonan mutasi.

"Ayolah, Ken! Masa kamu sendirian di Surabaya? Mending pindah ke sini, supaya kita bisa berkumpul lagi. Apalagi rumah di sebelahku mau dijual dan belum laku. Bayangin kalau kita bisa tinggal tetanggaan. Pasti asyik, kan?"

Tanpa terduga, atasan Kenzo di Surabaya menawari pria itu kenaikan jabatan. Syaratnya dia harus bersedia pindah ke kantor pusat di Mega Metro. Tentu saja Kenzo menyambar kesempatan itu tanpa pikir dua kali. Dia memang lebih memilih tinggal di dekat saudaranya jika itu memang memungkinkan.

Sementara Juliet membantunya mengurus pembelian rumah. Semua urusan menjadi lebih mudah. Jika dipikir lagi, kadang Kenzo takjub bagaimana Tuhan mengatur segalanya dalam urutan waktu yang begitu tepat.

Seperti hari biasa, Kenzo tiba sekitar pukul delapan pagi. Halaman parkir masih agak lengang. Kenzo langsung menuju lantai empat. Dia sempat mengira akan melihat Jilly begitu memasuki ruang kerjanya. Nyatanya Kenzo salah. Bayangan perempuan itu sama sekali tak terlihat. Padahal pegawai lain sudah mulai berdatangan.

Hingga sepuluh menit kemudian, Kenzo bertanya-tanya sendiri. Apakah Jilly membatalkan kesepakatan mereka secara sepihak dan menolak menjadi asistennya? Jika iya, apa yang harus dilakukan Kenzo untuk membalas perempuan yang sudah ingkar janji itu?


Lagu : This Ain't A Love Song (Bon Jovi)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top