The Reason [1]
Pagi itu Kenzo terbangun dengan semangat yang lebih besar dibanding biasa. Karena hari ini dia akan mendapat asisten sementara. Kenzo benar-benar butuh bantuan karena pekerjaannya tertinggal. Kehadiran seorang asisten akan meringankan bebannya.
Dia memang membawahi bagian humas, kepegawaian, dan umum. Artinya, Kenzo bisa meminta bantuan salah satu karyawan untuk membantunya. Namun, tiap orang punya pekerjaan dan beban sendiri. Mereka memang sedang kekurangan orang karena ada beberapa pegawai yang dimutasi. Seperti Hanna, misalnya.
Sayang, dua asisten yang dimintai bantuan untuk sementara, menyerah di tengah jalan. Keduanya meminta untuk dikembalikan ke divisi sebelumnya meski Kenzo belum mendapatkan asisten permanen. Alasannya sama, merasa tidak bisa memberi kontribusi maksimal karena tak menguasai pekerjaan. Padahal itu adalah omong kosong.
"Selamat pagi, Ken," sapa seseorang saat Kenzo memasuki ruang makan untuk sarapan. Juliet sudah duduk sambil menyantap makanan. "Sebelum kamu nanya kenapa aku udah nongol di sini pagi-pagi, jawabannya simpel aja. Aku kangen mi goreng jawa bikinan Bude Tutik. Jadi, bukan karena nggak sopan atau semacamnya."
Kenzo seolah mendengar alarm imajiner berdengung di kepalanya. Juliet memang tinggal di sebelah rumahnya. Namun, bukan kebiasaan kakaknya muncul di kediaman Kenzo pagi-pagi. Apalagi ini hari kerja dan Juliet harus mengurus suaminya.
"Kata-katamu malah bikin curiga. Kenapa kamu udah ada di sini? Apa kamu lagi berantem sama Fadly?" Kenzo menyebut nama iparnya yang lebih muda dua tahun dibanding Juliet. "Pasti bukan sekadar gara-gara mi goreng jawa."
"Kami adalah pasangan yang paling pengertian satu sama lain. Nggak ada istilah berantem dalam hidup kami," sesumbar Juliet. Dia memasukkan mi sesendok penuh ke dalam mulut dan mengunyah makanannya dengan ekspresi yang membuat Kenzo mendadak lapar.
Lelaki itu menarik kursi yang berada tepat di depan kakaknya. Dia melihat ke sekeliling. "Bude mana?"
"Lagi ngecek Neo," sahut Juliet, menyebut nama keponakan mereka. "Tumben anak itu belum bangun sesiang ini."
"Tadi malam Neo memang tidur lebih lama dibanding biasa."
Ruang makan itu merangkap dapur. Kenzo menempati rumah berkamar empat itu sejak pindah ke kota mandiri bernama Mega Metro. Berlokasi di timur laut Jakarta, Mega Metro dibangun di area sekitar lima ratus hektar, sebagian merupakan lahan reklamasi. Hampir empat puluh persen lahan kota diperuntukkan bagi ruang terbuka hijau. Fasilitas publik pun tersedia lengkap. Mencerminkan makna dari frasa "kota mandiri".
Hingga lima tahun silam, kantor pusat PT Adiraja Ekanusa berada di wilayah Jakarta Barat. Lalu dipindahkan ke Mega Metro setelah kota mandiri itu selesai dibangun. Perusahaan tempat Kenzo bekerja itu bahkan mendirikan perumahan khusus bagi pegawai yang menginginkan, letaknya tak terlalu jauh dari kantor.
"Jules, kenapa pagi-pagi kamu ke sini? Ada masalah apa?" desak Kenzo. Dia tak percaya dengan alasan kakaknya barusan.
Juliet tertawa kecil. "Kamu terlalu mengenalku," ucapnya, bernada keluh.
Kenzo mengisi piringnya dengan mi goreng jawa. Lalu ditambah dengan emping goreng yang diambilnya dari dalam toples. Dia kembali beranjak dari kursi untuk mengambil gelas bersih dan mengisinya dengan air putih.
"Apa ada masalah sama Ava?" tanya Kenzo karena kakaknya tak juga bersuara.
"Kamu yang punya masalah. Bukan aku atau Ava, tapi kamu," tukas Juliet. Perempuan itu menjauhkan piringnya yang sudah licin.
"Kok aku?" Kenzo keheranan. Dia mulai mengunyah makanan yang memenuhi mulutnya. Dia mulai menebak-nebak apa yang dimaksud Juliet. Mendadak, satu nama seolah dilepaskan begitu saja dan memaku benaknya.
"Soal Karin," ucap Juliet akhirnya, sebelum Kenzo mengajukan pertanyaan apa pun. "Tadi malam kami ketemu di restoran. Karin bareng temannya, cewek. Iseng, aku nanya kenapa kamu nggak ikut. Karin bilang, kamu lagi ngambek."
Kenzo buru-buru meralat. "Aku nggak ngambek."
Sang kakak menyesap tehnya. "Aku dan Karin sempat ngobrol berdua sebelum pulang. Dia cerita kalau kamu marah dan pengin pisah. Padahal kalian ribut karena masalah sepele alias salah paham doang. Apa memang perlu sampai harus minta putus? Memangnya kamu ini anak remaja yang dikit-dikit merajuk?"
Kenzo memutar mata tapi tak berkomentar. Juliet adalah orang yang suka mencerocos. Percuma memberi penjelasan sebelum perempuan itu selesai menumpahkan semua unek-uneknya. Karena itu, dia cuma menjadi pendengar saat kakaknya mulai mengoceh. Kenzo memilih untuk berkonsentrasi pada makanannya.
"Kamu itu nggak bersyukur, deh! Udah ketemu perempuan kayak Karin, masih aja nggak puas. Memangnya kamu mau nyari pacar yang kayak gimana? Karin itu baik, perhatian sama semua orang, nggak neko-neko. Belum lagi kalau ngebahas penampilan fisiknya yang memang oke. Punya kerjaan dan karier yang bagus. Paket lengkap, pokoknya.
"Tapi, adikku yang sebentar lagi jadi bujang lapuk malah mirip remaja labil. Baperan. Bukannya makin serius pacaran, malah bersikap kayak anak-anak. Kamu rugi banget kalau ngelepasin Karin, lho! Mau nyari di mana perempuan kayak dia? Mungkin di hutan Amazon atau kutub utara sekalian."
Kenzo beranjak dari kursi. Dia membawa pirinya ke wastafel. Di belakangnya, Juliet mengkritik adiknya yang terkesan cuek meski mereka sedang membahas masalah penting yang berkaitan dengan hubungan asmara Kenzo.
Kepala Kenzo mulai terasa berputar. Kakaknya terlalu banyak mengucapkan kalimat pujian untuk Karin yang malah membuat Kenzo mual. Juliet memang selalu begitu. Sok tahu. Perempuan itu tak akan diam sebelum mendapatkan bukti bahwa opininya salah.
Ava tak jauh beda dengan si sulung. Seumur hidup Kenzo harus menghadapi Ava dan Juliet yang berada satu kubu dan selalu menyusahkannya. Hingga situasinya agak berubah sejak hampir lima tahun silam.
Namun, jika diminta memilih, Kenzo lebih suka harus bersusah payah menghadapi kedua saudarinya ketimbang situasi yang dihadapinya saat ini. Ketiadaan Ava di antara dirinya dan Juliet membuat lubang menganga yang tak bisa ditambal dengan apa pun. Rasanya begitu menyakitkan bagi Kenzo.
"Sudah selesai ngomelnya, Jules?" sindir Kenzo pada kakaknya. Saat Juliet tak menjawab, barulah pria itu kembali membuka mulut.
"Kamu mau aku gimana? Barusan aku nggak cuek. Aku justru berbaik hati ngasih kamu kesempatan untuk ngoceh panjang. Aku bahkan nggak protes dibilang kekanakan dan baperan. Itu hal bagus, kan?" elak Kenzo. Dia kembali duduk di depan kakaknya. Kenzo melirik arlojinya. Dia harus meninggalkan rumah paling telat lima belas menit lagi.
Lagu : You are The Reason (Calum Scott)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top