Rumour Has It
"Apa kita saling kenal?" tanya Kenzo dengan mata disipitkan.
Pertanyaan itu membuat Jilly Ludmilla menelan ludah. Perempuan berumur dua puluh delapan tahun itu mengutuki diri sendiri. Tak seharusnya dia menyebut nama lengkap Kenzo. Jilly menyadari posisinya. Alangkah bagusnya jika dia berpura-pura tak mengenal pria itu.
"Kita satu kantor, Pak," gumam Jilly dengan suara pelan, tak punya pilihan lain.
Lelaki itu balik bertanya dengan nada tak yakin. "Satu kantor? Kamu juga bekerja di PT Adiraja Ekanusa? Kok saya nggak pernah ngelihat kamu, ya?" Kenzo tak menyembunyikan bahwa dirinya tak memercayai ucapan Jilly. Kedua alis pria itu berkerut dan nyaris menyatu.
"Kita satu kantor, tapi bekerja di lantai yang berbeda," ungkap Jilly.
Seharusnya dia tak membuka identitas yang sebenarnya tak terlalu penting dalam kasus ini. Toh, Kenzo yang terkenal disiplin dan nyaris tak pernah meninggalkan ruangannya kecuali untuk rapat, ke kamar mandi, atau sudah jadwalnya pulang kantor, tidak akan mengenalinya. Karena memang mereka asing satu sama lain.
Tepatnya, Jilly tahu lumayan banyak hal tentang Kenzo, umumnya berasal dari gosip. Sesekali mereka pernah berada di lift yang sama atau berpapasan saat Kenzo datang ke ruangan Hans Zahir, atasan langsung keduanya. Hanya itu saja "interaksi" di antara mereka.
"Jadi, apa manfaatnya posisi kita sebagai rekan sekantor dengan kejadian hari ini?" Kenzo bersuara lagi dengan nada datar.
"Nggak ada, Pak," aku Jilly dengan perasaan malu yang membuat kulit wajahnya seolah melepuh oleh hawa panas. "Maaf, Pak. Abaikan saja kata-kata saya tadi."
"Jangan panggil 'Pak', karena kita nggak lagi berada di kantor. Lagian, kamu bukan bawahan saya," Kenzo mengingatkan. "Selain itu, saya juga belum tua-tua banget sampai harus dipanggil 'Bapak'."
Jilly ingin mengajukan protes bahwa panggilan itu tak melulu berkaitan dengan status mereka di kantor atau usia. Melainkan juga sapaan hormat atas nama sopan santun. Namun, Jilly menelan kata-katanya karena tak mau menambah masalah baru.
Sementara itu, Kenzo mulai mencurahkan perhatian pada bagian belakang mobilnya yang penyok karena tabrakan tadi. Lelaki itu sempat agak membungkuk.
"Apa rencanamu dengan mobil saya yang rusak lumayan parah ini?" Kenzo membuka mulut lagi. Lelaki itu konsisten bersuara datar, tapi justru membuat tengkuk Jilly terasa dingin.
Pandangan Jilly terarah pada bagian belakang SUV Kenzo yang penyok cukup parah. Lalu, fokusnya beralih pada bagian depan mobil yang dikendarainya tadi. Meski sesama SUV, tapi tentu saja kendaraan milik ibunda Jilly itu jauh lebih tua. Bahkan mungkin seharusnya sudah menjadi penghuni museum.
"Saya nggak punya asuransi. Tapi saya akan mengganti semua biaya perbaikan mobil Bapak." Dia menatap Kenzo. "Sekali lagi, saya minta maaf, ya, Pak. Saya yang salah."
Kenzo menukas, "Memang kamu yang salah. Kenapa bisa-bisanya menabrak mobil orang dari belakang? Kamu lagi melamun atau apa? Atau rabun? Karena saya sudah parkir sekitar satu menit. Bukan tiba-tiba nyelonong dan bikin kamu kaget."
Ya Tuhan! Hari ini Jilly membuktikan salah satu gosip yang begitu gencar beredar sejak Kenzo bekerja sekantor dengannya setahun silam. Bahwa laki-laki satu ini memang sangat jago melontarkan kalimat sarkastis yang membuat lawan bicaranya mati kutu.
"Maaf, Pak. Saya nggak berhati-hati," ulang Jilly sembari menekan rasa jengkel. "Saya berkantor di lantai dua, Pak. Saya salah satu staf Pak Hans Zahir. Setelah mobil Bapak diperbaiki, bisa kirimi saya tagihannya. Saya nggak akan ingkar janji."
Kenzo menyipitkan mata. "Apa buktinya kamu memang stafnya Pak Hans dan nggak bermaksud kabur begitu aja?"
"Saya nggak berniat kabur. Saya bertanggung jawab karena udah menabrak Bapak," sergah Jilly. Meski kesal bukan main mendengar tuduhan dari Kenzo, dia harus menahan diri. Sebab, saat ini posisinya lemah karena memang Jilly yang melakukan kesalahan begitu parah. Bagaimana bisa dia yang seharusnya menginjak rem malah menekan pedal gas?
"Kamu tadi nggak dengar pertanyaan saya? Apa buktinya kamu memang stafnya Pak Hans?" ulang Kenzo.
Tanpa bicara, Jilly berbalik. Dia berjalan ke arah pintu pengemudi, membukanya untuk mengambil ponselnya yang tergeletak di dasbor. Begitu dia menegakkan tubuh dan berbalik, Jilly menahan kesiap karena tahu-tahu sudah berhadapan dengan Kenzo. Mereka cuma berjarak sekitar dua langkah. Lelaki ini tampaknya mengekorinya. Mungkin takut jika Jilly kabur.
"Saya akan nelepon Pak Hans," kata Jilly setelah bisa menguasai diri. Lalu, dia melangkah ke kiri agar bisa bergerak leluasa. Barusan Jilly merasa terperangkap dengan Kenzo berdiri menjulang di depan perempuan itu dan punggungnya menempel di pintu mobil.
Saat itu sudah hampir pukul sepuluh malam. Bukan waktu ideal untuk menelepon seseorang, apalagi atasan. Akan tetapi, tampaknya Jilly tak punya pilihan. Dia pun tak mau berdebat dengan Kenzo. Yang mungkin patut disyukuri, Hans adalah bos idaman yang sangat pengertian. Jilly berdoa semoga kali ini atasannya tidak marah karena dikontak selarut ini.
"Halo, Jill. Kenapa kamu menelepon jam segini? Ada masalah?" sapa Hans setelah dering ketiga. Jilly lega sekali mendengar suara atasannya. Dia mulai mencerocos untuk memberi penjelasan.
"Malam, Pak. Mohon maaf banget karena saya terpaksa mengganggu Bapak jam segini. Barusan ada sedikit insiden. Saya yang ceroboh karena sampai nabrak mobil yang lagi parkir. Nggak ada yang luka, sih. Tapi, kondisi mobil lumayan parah penyoknya, Pak. Pemilik mobilnya Pak Kenzo Zachary, Kepala Bagian Departemen Personalia dan Umum. Pak Kenzo kayaknya nggak percaya kalau saya ini salah satu staf Bapak. Saya ...."
Jilly mendadak berhenti karena Kenzo lagi-lagi sudah berdiri di depannya dengan tangan kanan menengadah. "Biar saya aja yang ngomong sama Pak Hans. Karena kalau kamu yang terus ngoceh, Pak Hans akan mengira kalau saya si penjahatnya."
Meski enggan, Jilly terpaksa menyerahkan ponselnya pada pria itu. Kenzo buru-buru menempelkan benda itu ke telinga kanannya dan mulai bicara dengan nada ramah. Lelaki itu menjauh, seolah cemas Jilly akan menguping.
Di belakang punggung lebar Kenzo, Jilly mencebik ke arah lelaki itu. "Pantas aja asistennya nggak ada yang betah. Galak banget orangnya, persis kayak gosip yang beredar di kantor selama ini," omelnya dengan suara pelan.
Sesaat kemudian, perempuan itu mengernyit. Dia sudah memberi penilaian yang tak objektif. Jika mereka bertukar posisi, Jilly mungkin akan mengomel bermenit-menit karena mobilnya ditabrak dari belakang. Respons Kenzo tak separah itu. Kendati laki-laki itu tak menyembunyikan kekesalannya.
Mencoba menenangkan diri, Jilly menghela napas. "Ya Tuhan, semoga masalah ini nggak sampai berbuntut panjang dan ngaruh sama kerjaan," doanya dengan sungguh-sungguh.
Jilly tak berani membayangkan jika yang terjadi adalah sebaliknya. Saat ini, pekerjaan menjadi salah satu hal terpenting dalam hidupnya. Jika Jilly sampai dipecat, maka dunianya benar-benar berada di ambang kiamat. Bagaimana dia harus membereskan semua masalah finansial yang membelit itu?
Perempuan itu bersandar di pintu mobil dengan tangan terlipat di dada. Dia sedang membuat perkiraan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk mereparasi kedua mobil. Terutama kendaraan milik Kenzo yang pastinya menelan biaya lebih besar.
Jilly menarik napas. Artinya, Jilly harus menyiapkan pengeluaran tambahan yang semestinya tak terjadi andai dia lebih berhati-hati. Entah apa yang membuatnya sampai begitu ceroboh. Namun nasi sudah menjadi bubur. Tak ada gunanya menyesali yang sudah telanjur terjadi.
"Wahai Kenzo Zachary, semoga hatimu melembut dan nggak nyusahin hidupku," ucap Jilly sambil menatap Kenzo yang masih bicara di telepon.
Jilly dan Kenzo bekerja di PT Adiraja Ekanusa, sebuah perusahaan yang memproduksi makanan instan. Mulai dari mi, sup, hingga sereal. Menurut sebuah majalah keuangan terkenal, PT Adiraja Ekanusa yang berdiri sejak tahun 1977 termasuk salah satu perusahaan yang paling pesat perkembangannya dalam kurun waktu satu dekade terakhir.
PT Adiraja Ekanusa beroperasi di sebuah gedung berlantai lima. Jilly sendiri bekerja di lantai dua. Sedangkan Kenzo berkantor di lantai empat. Pria itu baru pindah setahun silam dari kantor cabang Surabaya. Sejak awal, Kenzo sudah menjadi buah bibir terutama bagi para karyawati PT Adiraja Ekanusa.
Awalnya karena tampangnya yang memang lebih dari sekadar enak dilihat. Apalagi ditunjang dengan tubuh menjulang yang proporsional. Tinggi lelaki itu minimal seratus delapan puluh sentimeter. Tak sedikit rekan sejawat Jilly yang menjadi pengagum lelaki itu meski kabarnya Kenzo sudah memiliki pacar.
Namun, belakangan pesona fisik Kenzo mulai luntur saat tersebar berita tentang sikap lelaki itu. Konon, Kenzo adalah seorang penuntut yang bersikap galak pada bawahannya. Terutama pada asisten-asistennya.
"Kenzo itu galaknya setengah mati. Selain itu, standarnya juga tinggi. Kalau asistennya punya salah atau kerjaannya nggak memuaskan, langsung diomeli. Bahkan ada yang bilang sampai dimaki-maki segala."
Itu bunyi salah satu gosip menghebohkan tentang Kenzo Zachary.
Asisten pertamanya bernama Hanna, tak memiliki keluhan tentang bosnya. Malah cenderung melontarkan pujian untuk Kenzo. Namun situasinya berbeda setelah Hanna pindah dan posisinya digantikan orang lain. Dalam waktu singkat, dua asisten yang pernah dipekerjakan Kenzo menyerah dan minta dimutasi kembali ke posisi awal mereka.
"Oke, Pak Hans udah mastiin kalau kamu memang salah satu stafnya." Kenzo kembali seraya menyerahkan ponsel Jilly. "Masalah mobil, besok aja kita bahas lagi. Karena saya masih punya urusan lain yang lebih penting."
"Oke, Pak." Jilly menarik napas. Dia lumayan lega karena kata-kata pria itu. Artinya Jilly bisa pulang dan tak lagi menghadapi pria berwajah datar dengan tatapan tajam itu.
"Jangan panggil 'Pak'! Kecuali kalau nanti kita ketemu di kantor," sergah Kenzo. Lelaki itu berbalik tanpa basa-basi dan mulai berjalan ke arah supermarket yang buka hingga tengah malam itu. Namun, beberapa detik kemudian, pria itu memutar tubuh dan kembali menghadap ke arah Jilly.
"Sebentar! Saya nggak tau nama kamu. Kalau besok saya nyari kamu di lantai dua, harus ngomong apa? Nggak mungkin bilang mau nyari cewek ceroboh yang nabrak mobil saya, kan?" Kening pria itu dipenuhi kerut.
Jilly menahan rasa kesalnya. Namun dia tetap menjawab dengan sopan, "Nama saya Jilly, Pak ... eh ... Kenzo."
"Siapa? Jelly?"
Jilly tak yakin apakah Kenzo bercanda, ingin membuatnya kesal, atau memang tidak mendengar dengan jelas. Perempuan itu hanya menjawab, "Jilly. Nama saya Jil-ly."
"Oke. Jilly."
Lelaki itu akhirnya benar-benar menjauh, meninggalkan Jilly yang mendadak terserang migrain misterius. Perempuan itu bisa menebak alasannya. Selain penambahan pengeluaran yang angkanya pasti cukup signifikan, ada poin lain yang lebih mengganggu. Korban kecerobohannya adalah Kenzo Zachary.
Jilly tak pernah benar-benar memercayai gosip yang beredar di kantornya, bahwa Kenzo adalah pria menyebalkan yang banyak menuntut dan tukang kritik nomor wahid. Akan tetapi, hari ini dia membuktikan sendiri bahwa rumor tersebut sama sekali tidak berlebihan. Minimal untuk kategori "menyebalkan".
"Ya Tuhan, tolong carikan jalan keluar yang nggak bikin hidupku makin menderita," desah Jilly.
Setelah itu, Jilly buru-buru kembali ke mobil. Sambil mulai menyetir, perempuan itu berdoa sungguh-sungguh. Semoga tidak ada lagi insiden yang tak perlu di perjalanan pulang menuju rumahnya. Jilly menyetir dengan sangat hati-hati karena tak mau mengulangi kesalahannya.
Tadi, entah bagaimana, meski otaknya memerintahkan untuk menginjak rem, kakinya justru menekan pedal gas. Jilly yang tadinya ingin menyetir pulang karena sudah selesai berbelanja, malah panik dan menabrak mobil yang berada di depannya.
Perempuan itu menggaruk punggung bawahnya yang gatal dengan tangan kiri. Saat itulah Jilly menyadari bahwa dirinya berkeringat dingin dan membuat kausnya terasa lembap. Astaga! Kenzo sudah memberi kesan menakutkan yang membuat Jilly gentar.
"Mobilnya kenapa, Kak?" tanya Isabel alias Abel, adik Jilly satu-satunya, saat perempuan itu memarkir mobilnya di halaman rumah. Abel sedang duduk di teras rumah bersama pacarnya, Erizal.
"Aku nabrak kucing garong," sahut Jilly, asal-asalan. Perempuan itu membuka pintu tengah mobilnya untuk mengeluarkan dua tas kain berukuran besar yang berisi barang belanjaan. Seharusnya, saat ini dia bersantai di rumah kalau saja tadi tidak lupa berbelanja sepulang dari kantor.
"Kucing garongnya segede apa sampai mobil Mama penyok gitu?" Abel tertawa geli. Gadis itu tahu-tahu sudah berada di sebelah kakaknya, siap membantu Jilly.
"Segede gorila," respons Jilly.
"Serius, Kak?"
"Nggak, cuma bercanda. Hari ini aku cuma agak naas," komentar Jilly tanpa menjelaskan detail. Dia menggeleng saat Abel ingin mengambil alih salah satu tas kain. "Silakan lanjut pacarannya, Bel. Aku bisa bawa semuanya, kok!"
Diam-diam, Jilly menahan tawa. Dia baru saja menyamakan Kenzo yang ganteng itu dengan gorila. Pria itu menyebalkan, tapi menawan. Tak ada yang bisa membantah itu. Kenzo memiliki rambut gelap dan tebal, hidung bangir, mata tajam, dagu berbelah, serta tulang pipi yang bagus. Kulitnya kuning langsat.
Jilly masuk ke rumah setelah menyapa Erizal dengan sopan. Entah kenapa, dia tak merasa sreg dengan lelaki yang memacari adiknya sejak empat bulan terakhir. Padahal, Erizal selalu bersikap ramah. Namun, Jilly selalu merasa bahwa lelaki itu tak seperti kesan yang diperlihatkannya. Tentu saja opininya itu masih perlu diperdebatkan.
Perempuan itu memasuki ruang tamu yang juga merangkap ruang keluarga. Ada ibunya, Indy, yang sedang menonton televisi. Di sebelah Indy, duduk seorang gadis cilik berusia hampir empat tahun. Keduanya menoleh ke arah pintu saat menyadari ada yang datang.
"Mama!" si bocah melompat dari sofa dan langsung melesat ke arah Jilly.
Lagu : Rumour Has It (Adele)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top