Our Agreement [2]
Jilly sempat berhenti menulis dan berpikir sejenak. Perempuan itu sedang mempertimbangkan dengan serius apakah dia perlu mengajukan satu pertanyaan pada Kenzo atau tidak. Ada kemungkinan jika pertanyaannya akan disalahpahami oleh pria yang memaksa untuk menjadi atasan Jilly itu.
"Pak, boleh tanya satu hal?" tanya Jilly, setelah Kenzo kembali duduk di hadapannya. Dia tak kuasa menahan rasa penasaran yang bergulung di dadanya.
"Mau tanya apa?"
Jilly meragu sejenak. "Nggg ... saya nggak mau Bapak salah paham dan mengira kalau saya ini ... matre. Tapi, sejak awal bagusnya semua serba jelas, kan? Saya—"
"Oh, itu! Soal insentif, kan?" tebak Kenzo dengan mudah. Lalu, pria itu menyebut angka yang membuat kekesalan Jilly sedikit terkikis. Kenzo ternyata cukup murah hati. "Tulis angkanya sekalian supaya saya nggak punya alasan untuk ingkar janji," sindir Kenzo yang dituruti Jilly dengan senang hati.
"Maaf, ya, Pak. Saya cuma pengin ngelurusin satu hal, karena nggak mau Bapak salah tanggap. Sebenarnya, soal insentif ini ... gimana ngomongnya, ya?" Jilly mengerutkan glabelanya. "Saya cuma nggak mau dianggap matre dan—"
"Kamu udah dua kali menyebut kata itu. Padahal, saya nggak nganggap kamu matre," Kenzo memotong. "Kayak yang kamu bilang tadi, saya cuma berusaha memadukan penyogokan dan pemerasan. Kalau pengin sesuatu, tentunya kita harus ngasih penawaran. Ada harga yang harus dibayar walau nggak melulu berkaitan dengan uang. Lagian, saya yang menawarkan, bukan kamu yang minta. Jadi, kamu boleh tidur dengan nyenyak karena saya nggak bilang kamu mata duitan."
Jilly mengulum senyum, merasa geli dengan ucapan pria itu. "Makasih, Pak." Lalu, dia menyodorkan kertas yang sudah dipenuhi tulisan tangan tegak dan rapi. "Silakan dibaca."
Kenzo menurut. Lelaki itu menunduk dan menekuri kertas berisi perjanjian keduanya. Sebenarnya, ini situasi yang aneh. Mungkin cuma Kenzo dan Jilly yang membuat perjanjian pribadi sebelum menjadi atasan dan bawahan. Jika lelaki ini mau, Kenzo cukup mendatangi bagian HRD untuk meminta penempatan Jilly sebagai asistennya untuk sementara.
"Oke. Kertas ini ditinggal saja dulu. Kalau udah ada meterai, baru saya tanda tangani. Setelahnya, kamu aja yang pegang."
Jilly mengerjap. Ini mirip mimpi. Dia sama sekali tak pernah membayangkan akan menjadi asisten Kenzo. Apalagi, pertemuan mereka yang memberi kesan tak mengenakkan itu bahkan belum berlalu dua puluh empat jam. Sekarang pria itu bahkan setuju membuat kesepakatan yang akan mengikat mereka.
"Saya permisi dulu, ya, Pak. Berarti Senin saya harus ngantor di sini?" Jilly mencari kejelasan. Perempuan itu berdiri dari tempat duduknya.
"Iya, Senin kamu udah mulai ngantor di sini. Nanti saya akan ngomong lagi sama Pak Hans. Sekadar info, beliau yang nentuin harinya." Kenzo meraih laptopnya.
Jilly akhirnya meninggalkan ruang kerja Kenzo. Lalu, perempuan itu melewati deretan kubikel Departemen Personalia dan Umum. Dia yakin, kedatangannya ke ruangan Kenzo hingga dua kali dalam kurun waktu satu jam akan menjadi berita yang cukup menghebohkan. Jilly berusaha untuk tak peduli walau tak sepenuhnya merasa nyaman. Dua tahun terakhir ini, dia dipaksa untuk makin terbiasa dengan gosip.
"Kamu dari mana? Keluar dari ruangan Pak Hans, malah nyelonong dan langsung ngilang," komentar Helen begitu melihat Jilly kembali duduk di kursinya.
Jilly menghela napas. Bagaimana dia harus menjelaskan masalah ini pada Helen? Di sisi lain, mustahil Jilly menyembunyikan fakta sesungguhnya di depan teman baiknya ini, kan? Karena itu, dengan suara rendah agar tak didengar orang lain, Jilly pun memutuskan untuk memberi tahu Helen.
"Hah? Mulai Senin kamu bakalan jadi asistennya Kenzo selama dua bulanan? Ini nggak bercanda, kan? Kamu nggak nge-prank aku?" Helen bereaksi heboh.
"Ssst, kecilin suaramu, Len!" pinta Jilly. "Kamu mau semua orang dengar, ya?"
"Maaf," respons Helen. "Tapi, nggak seharusnya kamu mau aja, Jill. Kamu harus mikir masak-masak sebelum bikin keputusan ini," kritiknya.
Jilly tersenyum sedih. Kondisinya dan Helen berbeda jauh. Helen berasal dari keluarga berkecukupan, suaminya pun sama mapannya. Mungkin temannya ini akan kesulitan memahami masalah keuangan yang membelit Jilly sejak dua tahun terakhir.
"Aku nggak mau masalah tabrakan kemarin malam malah jadi membesar, Len. Itu pertimbangan utamaku," sahut Jilly. Dan insentif tambahan yang berasal dari kantong Kenzo dengan jumlah yang lumayan. Namun, tentu saja dia tak melisankannya di depan Helen.
"Kamu beneran yakin, Jill?" Helen masih penasaran. "Kenzo itu monster, lho! Kamu bisa dikunyah sama dia. Masa, sih, kamu belum pernah dengar semua cerita horor tentang dia?"
Jilly tertawa geli. Tentu saja dia sudah mendengar segala gosip tentang Kenzo. Tadi malam, dia bahkan sudah memberi penilaian buruk untuk lelaki itu. Namun, setelah berinteraksi dengan Kenzo hari ini, Jilly makin yakin bahwa gosip-gosip di luar sana memang agak berlebihan.
"Sebelum dia mengunyahku, mungkin aku udah mencabiknya, Len." Kedua tangan Jilly berubah mirip cakar.
Helen tidak tertawa sama sekali. "Harusnya kamu tolak aja, Jill. Aku nggak mau kamu kesusahan setelah jadi asistennya Kenzo."
Jilly mengedipkan mata. "Aku bakalan baik-baik aja, kok! Percayalah!"
"Kalau kamu nggak betah, jangan diam aja. Ngomong sama Pak Hans supaya balik lagi ke sini," saran Helen. Tatapan yang ditujukan untuk Jilly tampak begitu serius.
"Iya, aku tau," sahut Jilly. "Ngobrolnya udahan dulu, ya? Aku harus ngeberesin semua kerjaanku supaya nggak harus pulang telat. Aku nggak mau ninggalin kerjaan yang belum beres," imbuhnya.
Jilly tenggelam dalam tumpukan pekerjaannya hingga punggungnya terasa pegal. Namun perempuan itu berjuang untuk tetap berkonsentrasi pada dokumen-dokumen yang harus diceknya. Dia tak boleh kehilangan fokus supaya tidak membuat kesalahan. Ketika tiba jam pulang kantor, Jilly meregangkan tubuh.
Hans kembali meminta Jilly ke ruangan lelaki itu. Saat perempuan itu memasuki ruang kerja bosnya, Hans langsung bertanya, "Kamu beneran mau jadi asistennya Kenzo, ya, Jill? Tadi dia nelepon saya."
Jilly mengangguk. Di depan Hans, dia tak bisa membahas tentang kesepakatannya dengan Kenzo. "Iya, Pak. Saya akan membantu Pak Kenzo sampai ada asisten baru. Perkiraan waktunya sekitar dua bulan. Nggak apa-apa, kan, Pak? Saya tetap bisa balik lagi ke sini, kan?"
Hans tertawa kecil seraya mengangguk. "Bisa, dong! Mana sanggup saya kehilangan pegawai rajin kayak kamu, Jill."
Kini, giliran Jilly yang terkekeh. "Makasih untuk pujiannya, ya, Pak. Bapak bikin punggung saya yang pegal karena kebanyakan membungkuk, langsung hilang."
Jilly dan Hans sempat berdiskusi tentang pengaturan pekerjaan sebelum perempuan itu berkantor di tempat yang sama dengan Kenzo. Mereka juga memilih pegawai yang akan mengurusi semua pekerjaan Jilly untuk sementara waktu.
Meski tidak nyaman karena harus pindah ke lantai empat dalam hitungan hari, Jilly berusaha memikirkan hal-hal positif yang akan didapatnya. Namun, mengapa yang dominan adalah perasaan bahwa hidupnya akan berubah?
Lagu : The Middle (Zedd, Maren Morris, Grey)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top