Our Agreement [1]
Oke, ini adalah pemerasan. Jilly dipaksa menuruti kemauan Kenzo, menjadi asisten sementara untuk lelaki itu. Jika menolak, ada konsekuensi yang harus ditanggungnya. Jilly menunda niat untuk meninggalkan ruangan pria itu dan terpaksa kembali ke kursi yang tadi didudukinya, tepat di depan Kenzo.
Otaknya bekerja cepat, menimbang dan memilah-milah. Dia tak mengenal Kenzo dengan baik. Sehingga Jilly tak tahu apakah lelaki ini akan benar-benar mewujudkan ancamannya atau cuma sedang menggertak belaka. Kendati begitu, dia tak mau mengambil risiko. Dalam posisinya saat ini, Jilly dituntut untuk mengambil keputusan yang cerdas.
"Bapak memeras saya," simpulnya tanpa tedeng aling-aling. "Itu namanya curang dan sudah jelas bukan cara yang bagus untuk nyari asisten," kritiknya pedas tanpa basa-basi.
Jika diizinkan menangis karena putus asa menghadapi masalah keuangan yang tak terduga selama dua tahun ini, pastilah Jilly akan melakukannya. Sayang, air matanya sudah kering. Lagi pula, tak ada air mata yang bisa menyelamatkan perempuan itu.
Kenzo balas menatap Jilly dengan serius. "Iya, saya tau. Saya nggak akan mengelak. Tapi terpaksa karena saya memang seputus asa itu. Saat ini, saya betul-betul butuh bantuan. Kalau ada pilihan lain, saya juga nggak mau ngelakuin ini," akunya. "Dua bulan aja, Jill. Saya akan menyediakan insentif untuk kamu secara pribadi. Setelahnya, kamu bebas."
"Setelah memeras, kini Bapak malah menyogok," respons Jilly. "Kalau saya menolak, apa yang kira-kira akan terjadi? Bapak bakalan ngelaporin saya ke pihak HRD untuk tuduhan perbuatan membahayakan? Atau ke polisi?"
Kenzo yang biasanya berekspresi datar itu, tiba-tiba tersenyum. Sesaat, Jilly terpana. Selain memiliki gigi yang berderet rapi, lelaki ini ternyata ... hei, berlesung pipi! Saat Kenzo tersenyum, pria ini jauh lebih menawan dibanding biasa. Terkesan rileks dan tampak lebih muda. Lenyap sudah kesan pria kaku yang selama ini melekat di kepala Jilly. Ah, betapa sebuah senyuman saja bisa memberi efek seajaib itu.
"Entahlah, saya belum memikirkan detailnya. Yang pasti, saya akan membuatmu nggak bakalan lupa karena udah nolak permintaan saya," sahutnya santai. "Nggak masalah walau kamu bilang saya memeras dan menyogok. Toh, tujuannya untuk perusahaan. Bukan demi keuntungan saya pribadi."
Bagian yang terakhir ini ada benarnya. Jilly harus mengakui itu meski tak terlalu rela. Dia bersandar di kursi dengan kepala yang terasa riuh oleh berbagai pertimbangan. Perempuan itu bergidik membayangkan Kenzo membuat masalah tabrakan tadi malam menjadi panjang. Seakan masalah dalam hidupnya belum cukup memusingkan saja.
Meski itu baru ancaman demi membuat Kenzo mendapatkan asisten sementara, dan belum tentu benar-benar dilaksanakan, tetap saja membuat Jilly cemas. Perempuan itu tak bisa mengabaikan keringat dingin yang merembes dan melembapkan blusnya. Dia tak boleh gegabah dan harus memikirkan semuanya dengan kepala dingin. Karena andai masalah ini berbuntut panjang, Jilly akan sangat kesusahan. Mau tak mau, dia terbayang wajah putrinya.
"Kalau saya jadi asisten Bapak, kita harus bikin perjanjian dulu. Bukan cuma secara lisan, tapi harus ditandatangani di atas kertas bermeterai. Karena saya nggak mau ambil risiko dibohongi oleh Bapak," katanya tanpa takut.
Pupil mata Kenzo yang berwarna cokelat itu melebar. "Kertas bermeterai, ya?"
"Iya. Walau Bapak punya jabatan bagus di sini, saya nggak betul-betul mengenal Bapak. Saya nggak tau apakah Bapak orang yang menepati janji atau sebaliknya. Jadi, saya tetap harus berhati-hati. Saya harus mastiin kalau saya nggak akan menjadi pihak yang dirugikan," kata Jilly dengan berani.
Setelah kata-katanya tuntas, Jilly baru menyadari bahwa ucapannya barusan bisa dimasukkan ke dalam kategori "lancang". Namun, saat ini dia tak terlalu ambil pusing. Jilly cuma merespons ancaman Kenzo tadi.
"Oke. Poin-poin apa aja yang kamu mau?" sahut Kenzo, mengejutkan.
Jilly menelan ludah sebelum menjawab tanpa pikir panjang. "Tertulis jelas durasi perjanjian kita. Juga janji Bapak yang nggak akan menagih biaya perbaikan mobil." Perempuan itu berdeham, melawan perasaan tak nyaman yang meninju perutnya.
"Nggak masalah." Kenzo mengangguk.
"Dan yang terpenting, tertulis juga bahwa Bapak nggak akan memperpanjang masalah tabrakan kemarin. Satu lagi ...." Jilly terdiam sebentar. "Hmmm ... jangan lupa soal insentif yang Bapak janjikan tadi."
Kenzo menarik salah satu laci meja dan mengeluarkan selembar kertas dari sana. Pria itu menyodorkan benda tersebut ke arah Jilly, beserta sebuah pulpen. "Silakan tulis. Nanti saya minta office boy untuk beliin meterai karena di sini lagi nggak punya stok."
Jilly terpana. "Serius?"
"Iya, serius. Ada lagi yang mau dibahas secara khusus?"
Jilly berpikir cepat, memanfaatkan kesempatan yang ada. Lalu dengan berani dia berujar, "Pak, saya nggak keberatan ditegur. Diomelin pun nggak apa-apa. Tapi harus ada alasannya. Entah karena kerjaan saya yang nggak becus atau saya bikin kesalahan fatal. Bukan karena Bapak lagi bete."
"Kamu kira saya laki-laki sensitif yang suka marah nggak jelas? Kayaknya kamu terlalu banyak mendengar gosip nyeleneh tentang saya," keluh Kenzo. "Saya orang yang objektif."
"Itu masih perlu diperdebatkan. Karena ternyata Bapak juga tukang peras dan tukang sogok," komentar Jilly dengan suara jelas.
"Kan tadi saya udah bilang, ini terpaksa. Semua untuk kepentingan PT Adiraja Ekanusa, bukan demi memuaskan ego saya. Catat, ya. Ter-pak-sa."
Jilly berdeham, antara merasa bersalah dan juga keinginan untuk membuat Kenzo kesal karena sudah memaksanya menjadi asisten lelaki itu. Mungkin ini kesempatan satu-satunya untuk melontarkan banyak kalimat yang menunjukkan kekesalannya pada Kenzo. Sebab, saat ini dia masih menjadi bawahan dari Hans. Setelah Jilly menjadi asisten Kenzo, tentu situasinya akan berbeda.
"Ada lagi yang mau dikeluhkan?" tanya Kenzo.
"Saya nggak mengeluh, Pak." Jilly membela diri. "Saya rasa, bagusnya sejak awal udah dibahas semuanya supaya nggak ada yang kaget. Yang terpenting untuk saya, Bapak objektif. Dan jangan terlalu suka menyindir karena cuma bikin kesal."
Lelaki itu berdiri dari kursinya, tidak tampak tersinggung dengan kata-kata Jilly. "Oke, berarti kita udah sepakat, ya? Sementara kamu bikin surat perjanjian itu, saya mau makan siang dulu. Maaf, ya, saya nggak bisa ngajak kamu makan juga karena cuma beli satu porsi nasi tim ayam. Bukan karena saya bos yang pelit."
Pria ini cukup mengejutkan Jilly dalam berbagai cara. Kenzo tak sekaku atau sedingin yang dibisikkan para rekan sejawat Jilly. Galak? Itu yang masih belum pasti. Namun paling tidak, lelaki itu tak keberatan didebat. Tidak lantas bersuara tinggi demi membungkam lawan bicaranya. Bagi Jilly, ini adalah fakta yang cukup menarik.
Sepeninggal Kenzo yang menuju meja satu lagi dan menempati kursi yang ada di sana sambil makan siang, Jilly langsung menulis surat perjanjian sesuai kesepakatan mereka tadi. Perempuan itu menulis dengan cepat, merinci poin-poin yang tadi mereka sepakati.
Lagu : Can We Talk (Tevin Campbell)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top