Memories [2]
Refleks, Jilly melirik ke arah Indy dan mendapati wajah ibunya tampak pucat. Dia paham kecemasan macam apa yang sedang dirasakan Indy. Di detik yang sama, gambaran akan melihat wajah yang sangat mirip dengan suaminya, meremas jantung perempuan itu. Seingat Jilly, dia hanya pernah bertemu tiga kali dengan Bram.
"Kalian boleh dibilang nggak betul-betul saling kenal. Cuma ketemu beberapa kali doang, kan? Bram agak beda dibanding Arlo. Bram itu bisa dibilang lebih transparan dalam hal membangkang, nggak pakai basa-basi. Beda sama Arlo. Terutama soal pekerjaan. Bram jelas-jelas menolak kerja bareng Bapak. Sementara Arlo cara menolaknya jauh lebih halus." Lula tertawa pelan. "Bram lebih betah keliling Asia ketimbang di Indonesia. Dia bahkan sempat lumayan lama tinggal di pedalaman Nepal dan China, tempat yang nggak terjangkau teknologi. Tapi mau gimana lagi, memang itu maunya. Ibu nggak bisa melarang."
Jilly tidak tahu bagaimana harus merespons. Dia canggung membicarakan tentang Bram, saudara kembar suaminya yang tidak pernah benar-benar dikenal Jilly secara pribadi.
"Bu, Jilly bisa bosan kalau terus-terusan ngomongin Bram. Katanya mau ke sini untuk ngelihat Zia," sela Prita. Jilly bersyukur karena iparnya adalah orang yang pengertian. Di masa lalu, Prita membuat penyesuaian Jilly di keluarga Rachman jadi lebih mudah. Jika saja tak ada Prita, Jilly pasti kesulitan merasa nyaman berada di tengah keluarga almarhum suaminya.
"Iya, kamu kok udah lama nggak ngajak Zia ke rumah? Tadi pagi Ibu tiba-tiba rindu banget sama dia, makanya ke sini. Tapi Bapak ada urusan sampai siang. Jadi terpaksa menunggu." Lula memeluk Zia yang sedang memainkan gelang di tangan kanan sang nenek.
Setelahnya, hati Jilly dipenuhi kehangatan melihat Lula dan Irsan menghujani cucu mereka dengan ciuman dan pelukan, bergantian. Dia tidak bisa menafikan bahwa keduanya teramat menyayangi Zia. Terutama setelah tragedi merenggut keriangan dalam hidup mereka. Zia, sebagai cucu satu-satunya, mendapat banyak perhatian dan prioritas dari keduanya.
Lula adalah tipikal ibu mertua yang banyak tuntutan. Berusia lima puluh sembilan tahun, perempuan itu punya standar tinggi yang sulit untuk dipuaskan. Termasuk oleh Jilly. Di matanya, ketiga anaknya adalah orang-orang sempurna yang pantas mendapatkan pasangan yang memenuhi standar tertentu. Mungkin itulah sebabnya Prita hingga kini masih nyaman sendiri meski usianya sebaya dengan Jilly.
Sementara Irsan adalah tipe ayah mertua penyabar yang tidak banyak bicara tapi dipenuhi kasih sayang. Lelaki itu memilih untuk menghindari konflik sebisa mungkin. Irsan banyak memberikan dukungan untuk Jilly ketika Lula berseberangan dengannya.
"Kamu pilihan Arlo, Jill. Jadi, pasti kamu yang terbaik buat anak Bapak. Kalau Ibu sedikit keras, maklumi aja, ya? Nggak ada ibu yang rela melepas anak laki-lakinya menikah. Mereka nggak pernah siap jadi nomor dua di mata putranya," hibur Irsan dengan nada gurau, saat Jilly dan Arlo akan menikah.
Sejak awal, Lula memang tidak menutupi pendapatnya bahwa dia kurang sreg dengan pasangan yang dipilih Arlo. Jilly tidak menutup mata, dia memang bukan perempuan sempurna yang bisa membuat calon mertua merasa bangga. Latar belakang keluarganya cukup rumit.
Ibunya pernah menikah dua kali, itu dianggap "cacat" bagi orang-orang tertentu. Belum lagi kondisi ekonomi mereka yang biasa-biasa saja. Berbeda dengan keluarga Rachman yang berkecukupan. Jika orang-orang mengira bahwa masalah kesuksesan ekonomi tak lagi menjadi persoalan serius di masa kini, itu opini yang sangat keliru. Uang, di zaman semodern apa pun, tetap saja mampu menciptakan jurang yang tak akan terjembatani. Bahkan oleh cinta yang menggebu-gebu.
Selain itu, Jilly dan adiknya memiliki ayah yang berbeda. Ayah kandung Abel sempat dipenjara karena kasus penggelapan pajak sebelum bercerai dengan Indy. Lelaki itu meninggal tak lama setelah keluar dari penjara. Tak lama setelah Arlo meninggal, Indy memilih berkarier sebagai konsultan keuangan yang bekerja di rumah. Dia melakukan itu agar bisa menjaga Zia selama Jilly bekerja. Meski Jilly pernah menyarankan agar mereka memakai jasa pengasuh, ibunya menolak karena menurut Indy hanya membuang-buang uang. Hingga saat ini, Jilly setuju dengan opini ibunya.
"Kalau nyari perempuan yang pintar masak, aku bakalan nikahin koki," ucap Arlo di masa lalu. "Aku juga nggak butuh perempuan dengan karier hebat atau mantan Putri Indonesia. Aku cuma butuh kamu, Jill. Buatku, kamu adalah orang yang kubutuhkan."
"Astaga, aku bisa pingsan kalau kamu ngerayu melulu," respons Jilly sebelum mencium bibir Arlo.
Mungkin, salah satu kelebihannya yang paling membuatnya percaya diri adalah terkait dengan putrinya. Jilly yakin bahwa dirinya adalah seorang ibu yang baik. Zia tumbuh sebagai anak yang cerdas, lumayan bisa mengendalikan diri untuk ukuran anak empat tahun. Putri tersayangnya tidak pernah menjerit-jerit di keramaian karena menginginkan sesuatu atau sengaja mencari perhatian.
Zia memang tak terlalu gampang akrab pada orang lain dan cenderung menjaga jarak pada orang yang baru dikenalnya. Namun penyesuaian dirinya tergolong bagus. Jika sudah merasa nyaman dengan seseorang, Zia akan menunjukkan keramahan dan rasa percaya dirinya.
Sadar jika jalan yang harus mereka tempuh terlalu terjal, Jilly sempat ingin mundur dari kehidupan Arlo selamanya. Karena dia tidak sanggup membayangkan hidup dengan mertua yang terang-terangan tidak menyukainya. Cintanya pada Arlo akan disimpan atau dimusnahkan saja. Yang mana pun asal tak memberi Jilly penderitaan. Mungkin dengan begitu mereka lebih bahagia nantinya.
"Aku nggak mau kita pisah gara-gara Ibu, Jill. Apa pun yang terjadi, kita pasti bisa menikah kayak rencana awal. Aku akan ngomong sama Ibu," janji Arlo. "Yang penting, kamu sabar menunggu. Oke?"
Lalu, entah apa yang diucapkan Arlo hingga akhirnya Lula bersedia mengalah. Perempuan itu membiarkan si sulung menikahi kekasih yang dicintainya. Meski mata Lula begitu awas, memperhatikan tindak-tanduk Jilly dengan saksama. Perempuan itu juga menuntut sang menantu supaya bisa dianggap sebagai pasangan yang pantas untuk Arlo. Tuntutan yang kadang membuat Jilly merasa lelah sekaligus tak berdaya.
"Mama, aku mau susu." Suara Zia membubarkan benak Jilly yang riuh.
"Tunggu sebentar, ya. Mama bikinin dulu."
Jilly buru-buru bangkit dari sofa untuk memenuhi permintaan putrinya. Di dapur, perempuan itu mendapati Abel sedang mencuci piring kotor. Adiknya sudah mandi. Jilly menyeringai saat tatapan mereka saling bertabrakan. Abel tidak pernah nyaman berada di tengah keluarga Rachman, seperti halnya Indy.
"Kalian ke mana aja?" Jilly membuka lemari bagian atas untuk mengambil botol susu yang sudah disterilkan.
"Cuma main ke rumah Ruby." Abel menyebut nama sahabatnya yang juga dekat dengan Jilly dan Indy. Kedua kakak beradik itu sempat mengobrol ringan saat Jilly membuatkan susu untuk putrinya. Setelah itu, dia buru-buru kembali ke ruang tamu dan menyodorkan botol susu pada Zia.
"Kapan kamu mau membawa Zia ke rumah, Jill? Kalian udah lumayan lama nggak datang. Menginaplah sesekali, jangan cuma mampir sebentar. Atau, kalau kamu punya waktu, pagi-pagi bisa mampir ke rumah untuk nganterin Zia. Dijemput lagi pas kamu pulang dari kantor." Lula mengelus rambut cucunya. Kepala Zia berada di pangkuan neneknya selama di menyusu. "Ibu sering banget kangen sama anak ini."
"Iya, nanti akan saya usahain, Bu," Jilly menjawab patuh. Dia tidak mengajukan alasan apa pun yang malah bisa menjadi bumerang.
"Zia ini cucu Ibu satu-satunya. Ibu pengin dekat sama Zia. Hubungan kita nggak akan terputus cuma karena Arlo sekarang udah nggak ada."
Kata-kata itu menyentuh hati Jilly. Perasaan bersalahnya menerjang tanpa bisa dikendalikan. Dia memang menjaga jarak dengan sengaja. Ketidaknyamanannya berada di dekat Lula membuat Jilly menjauhkan Zia dari keluarga ayahnya juga. Dia tidak benar-benar menyadari impak dari keputusannya.
Akan tetapi, di detik itu, Jilly tahu kekeliruannya. Zia tidak seharusnya menjadi korban. Darah keluarga Rachman mengalir deras di tubuh anak itu. Jilly semestinya memberi keleluasan pada putrinya untuk berada dalam pelukan kakek dan neneknya.
"Iya, Bu. Nanti saya bakalan lebih sering ngajak Zia main ke rumah. Kami akan menginap juga," janji Jilly sungguh-sungguh.
"Kamu jangan terlalu sibuk bekerja, ya, Jill. Ibu sudah bilang berkali-kali, kamu harus lebih fokus mengurus Zia. Kalaupun berhenti bekerja, Ibu dan Bapak masih bisa membiayai kalian. Kamu dan Zia bisa tinggal di rumah Ibu kalau mau. Jangan diam aja kalau butuh sesuatu. Kamu nggak perlu gengsi atau apa."
Itu usul klise yang sudah diulang-ulang lebih dari dua juta kali. Dulu, emosi Jilly sering terpicu jika mendengar kalimat senada. Karena orang-orang tak tahu apa yang sudah dialaminya selama ini. Namun, tak bisa dimungkiri bahwa pengalaman memang guru yang sempurna. Di depan Lula, Jilly sudah belajar banyak untuk mengelola energi negatifnya sedemikian rupa.
Dia dan Arlo Faizal Rachman menikah hampir lima tahun silam. Kala itu, Jilly baru lulus kuliah dan mulai menapak karier di PT Adiraja Ekanusa. Di usia dua puluh empat tahun, perempuan itu menjadi ibu. Jilly dan Arlo membangun keluarga seperti impiannya.
Selama pernikahan itu, Jilly yakin kebahagiaannya sudah maksimal. Arlo adalah suami yang pengertian dan sabar. Di tahun pertama, mereka memang tergolong sering cekcok. Penyesuaian sebagai pasangan hidup memang tidak mudah. Namun, mereka bisa melaluinya.
Lagu : House of Memories [Panic! At The Disco)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top