First Impression

Kenzo Zachary berlutut tanpa ragu. Dia mengabaikan suara kesiap yang berasal dari bibir Karin, perempuan yang sudah dipacarinya setahun terakhir. Tangan kanan pria itu terulur ke arah sang kekasih. Sebuah kotak beledu berwarna biru berada di genggaman Kenzo dengan posisi terbuka. Isinya sebuah cincin berlian berbentuk persegi.

"Maukah kamu menikah sama aku, Rin?" tanya Kenzo tanpa berbelit-belit.

Dia agak mendongak untuk menatap Karin. Perempuan itu jelas-jelas terkejut. Ditandai dengan telapak tangan kanan yang menutupi mulutnya. Senyum Kenzo mengembang. Perempuan ini pasti tak mengira jika hari ini akan dilamar saat mereka makan malam.

"Ayo, Mbak, jangan lama-lama ngejawabnya. Tinggal bilang 'iya' aja," komentar entah siapa. Kenzo tidak yakin apakah pengunjung restoran atau salah satu pramusaji yang membuka mulut, memberi dukungan untuknya.

"Ken, kamu nggak bilang kalau hari ini akan melamarku." Karin akhirnya bersuara setelah membisu beberapa detik. Tatapan mata perempuan itu sempat berhenti pada cincin berlian yang sudah dipilih Kenzo dengan hati-hati itu.

Lutut kanan Kenzo yang menekan lantai mulai terasa kurang nyaman. "Kalau aku bilang, itu namanya bukan kejutan, Sayang."

Kenzo mendengar ada yang bertepuk tangan dan menyemangati dirinya. Ada juga yang memberi dorongan pada Karin untuk segera memberikan jawaban. Kenzo yang optimis Karin takkan menolak sehingga nekat melamar kekasihnya di tempat umum, menunggu dengan sabar.

"Maukah kamu menikah sama aku, Rin?" ulang Kenzo. Lalu dia mengimbuhi dengan kalimat klise yang selalu digunakan oleh para pencinta. "Menghabiskan sisa hidup kita berdua, dalam suka dan duka?"

Karin akhirnya melakukan sesuatu. Perempuan itu bangkit dari kursinya. Bukannya menjawab pertanyaan dari sang kekasih atau mengulurkan tangan kirinya, perempuan itu malah menarik lengan Kenzo sambil memandang sekilas ke sekeliling.

"Ken, bisa nggak kalau kamu duduk lagi? Jangan berlutut terus, nggak enak karena dilihatin orang-orang," gumam Karin dengan suara lirih. "Aku nggak mau kita jadi tontonan."

Seketika, seolah ada pedang es yang menusuk dada Kenzo. Dia mengerjap hingga tiga kali sebelum menuruti keinginan Karin. Mendadak, semua optimisme yang dimiliki lelaki itu menguap. Ditatapnya Karin yang sudah kembali ke kursinya dan berekspresi datar. Sementara suara-suara yang tadi mendukung mereka sudah tak terdengar.

Selama beberapa saat hanya ada kebisuan yang membuat Kenzo merinding. Namun, karena pria berusia tiga puluh dua tahun itu bukan tipikal orang yang suka menunda-nunda, dia kembali mengulangi pertanyaannya. Kali ini dengan suara pelan agar hanya Karin yang bisa mendengar ucapannya.

"Aku minta maaf, Ken. Aku cinta sama kamu, tapi saat ini belum terpikir untuk menikah. Aku masih pengin berkonsentrasi pada karierku. Kamu tau sendiri, aku sedang bersaing ketat untuk naik jabatan."

Jawaban Karin itu sudah lebih dari cukup. Perempuan itu baru saja menegaskan isi hati dan opininya. Bahwa Kenzo bukanlah hal terpenting dalam hidup Karin. Pekerjaan selalu menjadi nomor satu bagi Karin.

Kenzo tak mendengar kalimat selanjutnya yang diucapkan sang kekasih. Karin masih bicara panjang. Sementara kepala Kenzo seolah berputar. Namun, pria itu menyadari satu hal dengan pahit, bahwa Karin menolak ajakannya untuk menikah.

Ini momen yang sama sekali tak terduga akan dialami Kenzo. Dia bukan orang yang gegabah dan terburu-buru mengambil keputusan. Lelaki itu sudah mempertimbangkan segalanya dengan matang sebelum memutuskan melamar Karin.

Jika boleh jujur, meminta seseorang menjadi istrinya di tempat umum dan disaksikan banyak mata, kurang cocok dengan sifat Kenzo. Dia lebih suka segala hal yang sifatnya pribadi. Namun, karena terdorong ingin menyenangkan Karin yang pernah berujar ingin dilamar di depan umum, Kenzo pun menyesuaikan diri. Dia bahkan tak memiliki keraguan bahwa Karin akan menerima ajakan Kenzo untuk berumah tangga.

"Oke, aku sudah mengerti," tukas Kenzo. Dia menutup kotak perhiasan yang sudah disiapkan sejak dua minggu lalu itu dan memasukkannya ke dalam saku jasnya. Pria itu tersenyum kaku.

"Ken, jangan marah! Aku benar-benar minta maaf karena belum siap melangkah ke sana. Aku masih pengin—"

"Aku nggak marah, Rin," sergah Kenzo dengan nada datar. "Tapi, kurasa kita nggak bisa tetap seperti biasa. Dalam arti, tetap berpacaran dan menganggap kejadian hari ini sebagai intermeso doang."

Karin memucat. "Maksudmu?"

"Yang terbaik untuk kita berdua adalah pisah. Karena tujuan kita udah beda banget. Kamu masih pengin fokus sama karier, sementara aku sebaliknya. Jadi, kita nggak perlu buang-buang waktu lagi." Kenzo berdeham, menekan perasaan sakit yang mengiris dadanya. "Makasih untuk segalanya, ya, Rin. Kuharap kamu menemukan apa yang kamu inginkan."

Setelah kalimatnya tergenapi, Kenzo berdiri dari tempat duduknya. Diabaikannya suara dari bibir Karin yang menyerukan nama lelaki itu. Kenzo menuju meja kasir untuk membayar semua pesanan mereka. Karin menyusulnya.

Perempuan itu berdiri di sebelah kiri Kenzo, menunggu hingga pria itu selesai melakukan transaksi. Tak sekali pun Kenzo menoleh. Dia butuh waktu untuk menenangkan diri. Lelaki itu mendapati dua orang pramusaji berbisik-bisik sambil mencuri pandang ke arah dirinya dan Karin. Lamarannya yang ditolak tadi tampaknya sudah cukup membuat heboh.

"Ken, jangan pulang dulu! Kita harus bicara," ucap Karin sambil mengekori Kenzo yang sudah melangkah menuju pintu keluar.

"Nggak ada lagi yang perlu dibahas, Rin," respons Kenzo.

Namun dia akhirnya berhenti saat Karin menarik lengannya. Saat itu, mereka baru saja menginjakkan kaki di halaman restoran. Kenzo berbalik sehingga berhadapan dengan perempuan yang baru saja menjadi mantan kekasihnya.

"Kenapa kamu bersikap kekanakan begini, sih? Aku cuma belum mau menikah sekarang, tapi bukan berarti kita bakalan putus karena itu," kritik Karin. Perempuan itu menatap Kenzo dengan serius.

"Aku nggak kekanakan, Rin. Aku realistis. Kamu belum tertarik menikah. Jadi, untuk apa hubungan kita diteruskan? Toh, saat ini kita punya skala prioritas yang beda banget. Sebelum perasaanku sama kamu makin kuat, lebih baik kita berhenti dari sekarang."

Karin menggeleng. "Aku punya jalan keluar yang jauh lebih baik untuk kita, Ken. Sebenarnya, aku udah terpikir mau ngomongin soal ini dari kemarin. Tapi, rasanya belum ketemu momen yang pas." Perempuan itu tersenyum pada Kenzo. "Nah, karena kamu tadi udah melamarku, kayaknya ini saat yang tepat untuk membahas apa yang kumaksud tadi."

"Jalan keluar apa yang kamu maksud?" balas Kenzo tanpa semangat.

"Nggak enak ngomong di sini. Mending kita ke apartemenku saja. Karena ini masalah pribadi yang nggak bisa dibahas sambil berdiri di halaman restoran kayak begini, Ken." Suara Karin dipenuhi nada membujuk. Perempuan itu juga meraih tangan kanan Kenzo dan meremasnya dengan lembut.

Sebelum Kenzo merespons, Karin sudah menghela pria itu menuju mobil. Tadi mereka sepakat untuk bertemu di restoran. Kenzo mengendarai mobilnya, sementara Karin datang dengan menumpang taksi karena sedan milik Karin sedang berada di bengkel.

Kenzo menimbang-nimbang sejenak sebelum membuat keputusan. Jika harus mampir ke apartemen Karin, Kenzo harus mengambil jalan memutar saat ingin pulang. Efeknya, sudah pasti dia akan menghabiskan waktu di jalan lebih lama dari seharusnya. Belum lagi waktu yang akan dihabiskannya di apartemen Karin.

"Rin, aku nggak bisa ikut ke apartemenmu," putus Kenzo. Lelaki itu berhenti. "Ini sudah terlalu malam. Kayak yang tadi siang kubilang di telepon, aku nggak bisa mengantarmu pulang malam ini. Entah kamu menerima lamaranku atau nggak," imbuhnya.

Karin mendesah pelan, tapi akhirnya membuka mulut. "Jalan keluar yang kumaksud justru lebih bagus ketimbang menikah. Paling nggak, untuk saat ini. Anggap aja ini semacam uji coba untuk ngelihat sendiri sejauh mana kecocokan kita sebelum akhirnya jadi suami istri."

Kenzo masih belum paham maksud Karin. Alisnya terangkat, membentuk kerut di glabela. "Uji cobanya seperti apa?"

"Tinggal serumah."

Kenzo terbatuk mendengar kata-kata Karin yang mengejutkan itu. Dikiranya perempuan itu bercanda. Namun, Kenzo salah besar.

"Tinggal serumah itu pilihan yang paling masuk akal untuk kita sekarang ini, Ken. Jujur, aku nggak pernah betul-betul membayangkan diriku jadi istri seseorang. Karena buatku pernikahan itu ikatan yang ... terlalu serius. Pengecualian karena cinta sama kamu, aku bersedia mempertimbangkan opsi itu. Menikah, maksudku.

"Tapi, sebelum sampai ke sana, aku nggak berani gegabah dalam mengambil keputusan. Aku lebih suka untuk ngelihat dulu sejauh mana kecocokan kita kalau nanti beneran menikah. Karena buatku menikah itu cuma sekali seumur hidup."

Andai saat itu ada petir yang tiba-tiba menyambar meski cuaca sedang hangat dan langit dipenuhi bintang, Kenzo takkan sekaget ini. Sekarang dia benar-benar memahami alasan Karin menolak lamarannya. Bukan sekadar karena perempuan itu ingin fokus pada kariernya.

"Kamu lebih suka kita tinggal serumah ketimbang jadi suami istri?" Kenzo memastikan bahwa dirinya tak salah dengar. Anggukan Karin adalah penegas. Suhu tubuh Kenzo seketika berubah. Jika memang memungkinkan, nyaris mendekati titik beku.

Lelaki itu tiba-tiba teringat obrolan mereka di masa lalu, sekitar tiga bulan silam. "Ada yang mau kutanya, Rin. Kamu masih ingat waktu kita lagi makan beberapa bulan lalu, terus ada laki-laki yang melamar pacarnya. Waktu itu kamu bilang kalau pengin dilamar dengan cara kayak begitu. Dan itu yang kulakukan sekarang. Tapi, yang mau kutanyakan masalah lain."

"Mau tanya apa?"

"Kalau kamu nggak berniat menikah, kenapa waktu itu malah bilang pengin dilamar kayak begitu?" desak Kenzo.

Perempuan itu mengedikkan bahu. "Entahlah! Aku cuma asal bicara. Mungkin karena terbawa suasana."

Kenzo menelan ludah sambil mengangguk. Ternyata dia yang terlalu serius menanggapi kata-kata Karin. "Oke. Aku paham sekarang."

"Jadi, gimana? Kamu setuju kita tinggal serumah, Ken?" tanya Karin dengan mata berbinar. "Itu lebih baik untuk kita. Percayalah!"

Lelaki itu tak langsung menjawab. Sebenarnya, saat ini dia berada dalam fase kaget yang luar biasa. Sehingga sulit bagi Kenzo untuk berpikir dengan jernih. Dia seakan-akan berada di balik kabut tebal yang memusingkan.

Jangan salah paham! Kenzo sama sekali tak mempertimbangkan usul dari Karin barusan. Dia hanya terlalu terkejut dan sedang berjuang untuk mencerna kenyataan yang sedang terbentang di depan matanya.

"Ken, kok malah ngelamun, sih?" Karin meremas lengan kanan Kenzo.

Pria itu mengerjap, tersadar bahwa dia sudah membuang waktu terlalu banyak. Tanpa pikir panjang, dia pun berujar, "Untuk yang satu ini, kita betul-betul berbeda pendapat. Bukannya sok bermoral. Tapi, aku nggak tertarik untuk hidup serumah tanpa ikatan apa pun denganmu, Rin. Aku cinta sama kamu, tapi nggak pengin kita cuma tinggal seatap."

Kenzo berhenti. Mendadak, dia merasa sesak napas. Namun di sisi lain, rasa sakit yang tadi menyilet dada Kenzo justru berkurang tanpa terduga. Entah kenapa.

"Aku harus pulang sekarang. Sekali lagi, mohon maaf karena aku nggak bisa mengantarmu." Kenzo tak sanggup berbasa-basi lebih banyak lagi. Dia buru-buru meninggalkan Karin dengan langkah-langkah panjang.

"Kenzo!" panggil Karin. Perempuan itu mengadang langkahnya sehingga Kenzo pun terpaksa berhenti. "Kamu nggak bisa pergi begitu aja. Kita belum selesai bicara, Ken."

"Justru sebaliknya. Semuanya udah jelas, Rin."

"Udah jelas apanya? Kamu nggak mempertimbangkan usulku sama sekali. Iya, kan? Kamu langsung mengambil keputusan begitu aja," protes Karin.

"Aku nggak butuh waktu untuk mempertimbangkan ini-itu, Rin. Aku memang nggak tertarik sama sekali." Kenzo bicara dengan nada tegas.

"Kamu lagi marah. Makanya nggak bisa mikirin sisi positif dari usulku tadi. Cobalah untuk memikirkan semuanya baik-baik, Ken. Jangan langsung menolak. Oke?"

"Maaf, Rin. Aku betul-betul nggak tertarik," ulang Kenzo. "Aku pulang dulu, ya? Selamat malam."

Kali ini, Kenzo tak membiarkan Karin mengadang langkahnya. Dia berjalan cepat dan berpura-pura tuli saat Karin memanggil namanya. Kenzo malah mempercepat langkah agar bisa segera tiba di mobilnya. Setelah itu, tanpa memperhatikan di mana Karin berada, Kenzo segera menyalakan mesin dan meninggalkan tempat parkir restoran itu.

Ponselnya berbunyi tak lama kemudian. Awalnya Kenzo mengira Karin yang mengontaknya. Ternyata bukan. Si penelepon adalah Tutik, perempuan yang sudah bekerja dengan keluarga Kenzo sejak belasan tahun silam.

"Iya, Bude. Ada apa?" tanya Kenzo tanpa basa-basi. Dia mendengarkan dengan saksama kata-kata perempuan berusia paruh baya itu. Sebelum mengakhiri panggilan telepon itu, Kenzo menyanggupi permintaan Tutik untuk mampir ke supermarket dan membeli beberapa barang yang mereka butuhkan.

Sekitar dua puluh menit kemudian, Kenzo menepikan mobil dan memasuki tempat parkir sebuah supermarket. Setelah mematikan mesin mobil, dia membuka jas dan melemparkan benda itu ke jok belakang. Hari ini dia bahkan sengaja membawa jas ke kantor untuk momen istimewa itu.

Kenzo sedang menggulung lengan kemejanya dan berniat segera keluar dari mobil saat tiba-tiba terdengar suara benturan. Lalu diikuti guncangan yang membuat lelaki itu mencengkeram setir dengan panik.

Setelah menyadari bahwa mobilnya baru saja ditabrak dari arah belakang, kepanikan Kenzo berubah menjadi kemarahan. Dia buru-buru keluar dari mobil, siap berkonfrontasi dengan orang yang sudah menabraknya.

"Maaf, saya kurang hati-hati sampai bisa menabrak mobil Anda. Tadi saya baru ...."

Perempuan jangkung yang barusan bicara mendadak berhenti dengan ekspresi yang terlihat aneh sekaligus mengganggu. Kenzo menatap orang yang sudah menabrak mobilnya dengan kening berkerut. Dia baru saja hendak membuka mulut saat perempuan itu mendahuluinya dan mulai mencerocos.

"Pak Kenzo Zachary? Saya yang salah karena menyetir nggak hati-hati. Semua biaya kerusakan akan saya tanggung. Tapi, saya minta tolong supaya masalah ini jangan sampai berlanjut, ya, Pak? Entah ke polisi atau ke perusahaan. Saya akan bertanggung jawab untuk semuanya."


Song : First Impression (Duran Duran)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top